Penyembelihan Hewan Kurban

Menjelang Hari Raya Idul Adha, permintaan dan kebutuhan daging ternak meningkat tajam. Pemotongan ataupun penyembelihan hewan yang akan digunakan untuk qurban hendaknya dengan terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan daging ASUH ( Aman Sehat Utuh dan Halal ). Pemeriksaan terhadap ternak juga untuk mewaspadai berbagai penyakit ternak menular yang bersifat zoonosis. Pemeriksaan yang dilakukan berupa pemeriksaan hewan sebelum dipotong atau yang disebut pemeriksaan antemortem dan juga pemeriksaan sesudah hewan dipotong, yang disebut pemeriksaan postmortem.

Idealnya setelah ternak dinyatakan sehat, berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan dokter hewan ataupun paramedis kesehatan hewan ( dibawah pengawasan dokter hewan ), kemudian barulah ternak layak dijadikan hewan kurban. Hewan yang akan dipotong harus tidak cacat, yang dimaksud cacat disini adalah cacat fisik seperti pincang, buta, ataupun mengalami kerusakan telinga. Kemudian ternak juga harus cukup umur, Untuk ternak kambing/domba bisa dilihat dari gigi, bila sudah berumur lebih dari 1 tahun, maka ditandai dengan tumbuhnya sepasang gigi tetap. Untuk ternak sapi/kerbau pemeriksaan lewat gigi untuk mengetahui umur juga bisa dilakukan, bila berumur diatas 2 tahun, maka akan ditandai tumbuhnya sepasang gigi tetap. Ternak yang akan dipotong juga harus tidak kurus, jantan, tidak dikebiri, buah zakar ( testis ) masih komplit dan letaknya simetris.
SYARAT PETUGAS PENYEMBELIH 
  • Laki-laki muslim dewasa (baligh)
  • Sehat jasmani dan rohani
  • Memiliki pengetahuan dan ketrampilan teknis penyembelihan yang halal, baik dan benar.
SYARAT PERALATAN
  • Pisau yang digunakan harus tajam, cukup panjang, bersih dan tidak berkarat.
  • Alas plastik, wadah, telenan/alas potong, pisau dan seluruh peralatan untuk daging dan jeroan harus selalu bersih dan dijaga kebersihannya.

SYARAT SARANA
  • Kandang penampungan sementara harus bersih, kering dan terlindung dari panas dan hujan. Tersedia pakan dan air minum yang cukup.
  • Tempat penyembelihan harus kering dan terpisah dari sarana umum.
  • Lubang penampungan darah  berukuran minimal 0,5 m x 0,5 m x 0,5 m untuk tiap 10 ekor kambing/domba atau 0,5 m x 0,5 x 1 m untuk tiap 10 ekor sapi
  • Tersedia air bersih untuk minum hewan, mencuci peralatan dan membersihkan jeroan
  • Tersedia tempat yang bersih dan terlindung panas/hujan untuk penanganan daging dan harus terpisah dengan tempat penganan jeroan dan   selaulu menjaga kebersihan

PERLAKUAN HEWAN SEBELUM DI SEMBELIH
  • Pemeriksaan kesehatan hewan sebelum penyembelihan atau pemeriksaan antemotem dilaksanakan oleh dokter hewan atau paramedis kesehatan hewan. Hanya hewan yang dinyatakan sehat yang boleh boleh
  • Hewan diperlakukan secara baik dan wajar dengan memperhatikan azas kesejahteraan hewan, agar hewan tidak stres, tersiksa, terluka dan sakit,
  • Hewan diistirahatkan dikandang penampungan sementara minimum 3 (tiga) hari sebelum disembelih.
  • Hewan diberi pakan dan minum yang cukup.
  • Saat penyembelihan hewan direbahkan ditempat penyembelihan secara hati-hati (tidak dengan cara paksa dan kasar) agar hewan tidak stres, takut, tersiksa dan tersakiti atau luka serta tidak menimbulkan resiko  bagi  penyembelih

TATA CARA PENYEMBELIHAN HALAL
Penyembelihan dilakukan menurut syariat islam, serta memperhatikan persyaratan teknis hygiene dan sanitasi, yaitu:
  • Hewan direbahkan pada bagian sisi kiri dengan kepala menghadap kearah kiblat.
  • Membaca basmallah ketika akan menyembelih.
  • Hewan disembelihan di lehernya dengan sekali gerakan tanpa mengangkat pisau dari leher dengan memutus/memotong 3 (tiga) saluran yaitu:
  • Saluran nafas (trakea/hulqum)
  • Saluran makanan (oesophagus/mar’i)
  • Pembuluh darah (wadajain)
  • Proses selanjutnya (pemisahan kepala, pemisahan kaki mulai dari karpus/tarsus sampai kuku, pengulitan dan seterusnya) dilakukan setelah hewan benar-benar mati.
  • Hewan yang telah disembelih digantung pada kedua kaki belakangnya agar darah keluar sempurna, mencegah pencemaran kuman.
  • Saluran makanan (esopfagus) dan usus bagian belakang (rectum) atau anus diikat dengan tali agar isi lambung dan usus tidak keluar dan tidak mencemari daging.
  • Isi (organ) rongga dada dan rongga perut dikeluarkan secara hati-hati. Jeroan merah (hati, jantung, paru-paru, limpa, ginjal, lidah) dan jeroan hijau (lambung, usus, esophagus dan lemak)harus dipisahkan (tidak dicampur). Kemudian jeroan dicuci/dibersihkan dengan air bersih dan limbah cucian tidak boleh dibuang pada selokan, parit atau sungai.
  • Pemeriksaan kesehatan daging (karkas), jeroan dan kepala setelah penyembelihan atau pemeriksaan postmortem dilaksanakan oleh dokter hewan atau paramedis. Hanya daging dan jeroan yang dinyatakan sehat yang boleh konsumsi atau dibagikan kepada yang berhak.
  • Daging segera di pindahkan atau disimpan ditempat khusus yang bersih untuk penangan lebih lanjut.


PENANGANAN DAGING QURBAN YANG HIGIENIS
  • Petugas yang menangani daging harus senantiasa menjaga kebersihan (badan, tempat dan pakaian).
  • Tangan harus selalu dicuci dengan air bersih sebelum dan sesudah menangani daging .
  • Peralatan harus juga selalu bersih dan dijaga kebersihannya dari pencemaran kotoran (baik kotoran tangan, organ pencernaan maupun lingkungan).
  • Daging harus selalu terpisah dengan jeroan (jangan dicampur atau disatukan) waktu memotong-motong jadi bagian yang lebih kecil.
  • Bagikan potongan daging dalam kantong/wadah yang bersih dan terpisah dari jeroan (daging dan jeroan dibungkus dengan plastik yang berbeda). Usahakan daging dan jeroan tidak dibiarkan tersimpan pada suhu ruang/kamar (25-300C) lebih dari 4 jam. Daging dan jeroan harus disimpan pada lemari pendingin (suhu di bawah 40C) atau dibekukan.

sumber : www.pojok-vet.com

Pelabuhan Laut Kuala Tungkal

for english version please click here

Pernahkah guru sejarah anda menyebutkan tentang keberadaan suatu kerajaan bernama Yavadesh atau Javadeh di Nusantara kita ini?

Kalau nama kerajaan ini baru pertama anda dengar, mungkin ada baiknya anda menyisakan sedikit sel memori pada organ otak anda untuk dapat menambahkannya, dan kemudian mengingatnya sebagai penggalan cerita kehebatan Nusantara kita.

Adalah suatu sistem pemerintahan yang pada jaman dulu pernah berjalan di atas sistem sosial yang ada, terus berjalan dan bahkan pernah mengalami jaman keemasannya sampai dengan dunia mencatatnya. Menurut temuan dari catatan yang ada, kerajaan itu berdiri sebelum tahun 671 M. Pencapaiannya sangatlah spektakuler. Sampai dengan daratan Negara tetangga, yaitu sampai dengan daratam negara Thailand adalah luasan daratan yang mereka kuasai. Seorang perancis bernama George Coedes, yang melalui publikasinya dalam bahasa Indonesia dan Belanda di tahun 1920, mengenalkan keberadaan kerajaan itu. Avalokitecvara (sebuah arca), Candi Kaew, Candi Gumpung adalah hasil kebudayaan yang mereka telurkan. Bahkan mereka memiliki peran dalam pembangunan Candi Borobudur. Penanda keberadaan mereka yang paling khas adalah Candi Muara Takus, yang disebutkan sebagai daerah pusat pemerintahan mereka.

Candi Muaro Jambi, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi (sumber : detik jambi )
Kerajaan itu adalah Sriwijaya

Kerajaan maritim terbesar di sejarah Nusantara kita, dan bahkan kerajaan terbesar setelah majapahit. Kekuatannya dalam mengontrol aktivitas maritim sudah mereka buktikan. Dengan berpusat di sekitar Provinsi Jambi (karena sampai dengan sekarang belum di ketemukan letak persis Pusat Pemerintahan Kerajaan Sriwijaya), kerajaan Sriwijaya merevitalisasi diri, memperluas wilayah, menjadi satu kerajaan yang mendominasi wilayah maritim strategis.


Propinsi Jambi

Jambi secara resmi menjadi Propinsi pada tahun 1958 berdasarkan Undang-Undang No. 61 tahun 1958 tanggal 25 Juni 1958. Propinsi Jambi terletak antara 0º 45¹ 2º 45¹ LS dan 101º 0¹ - 104º 55 BT, terletak ditengah pulau sumatera membujur sepanjang pantai timur sampai barat, dengan luas wilayah keseluruhan 53.435.72 Km². Propinsi Jambi secara geografis berbatasan sebelah utara dengan Propinsi Riau, sebelah timur Laut Cina Selatan, sebelah selatan Propinsi Sumatera Selatan dan sebelah barat Propinsi Sumatera Barat yang terdiri dari 9 Kabupaten dan 2 Kotamadya dengan jumlah penduduk 2.742.196 jiwa. Letak geografis propinsi Jambi sangat strategis dengan segitiga SIBAJO (Singapura, Batam dan Johor Malaysia) merupakan peluang terhadap lalu lintas perdagangan baik antar area maupun antar negara.  Selain itu, Propinsi Jambi juga termasuk dalam kawasan segi tiga pertumbuhan Indonesia-Malaysia-Singapore (IMS-GT) dan Indonesia-Malaysia-Thailand (IMT-GT). Jarak tempuh Jambi ke Singapura jalur laut melalui Batam dengan menggunakan kapal cepat (jet-foil) ditempuh ± 5 jam.
 Apabila kita review kembali peta jalur perdagangan kerajaan Sriwijaya, kemudian kita kombinasikan dengan peta sumatera, di tambah lagi dengan peta propinsi Jambi, akan terlihat bahwa wilayah laut dari Propinsi Jambi memegang peran yang penting dalam jalur maritim perekonomian dunia.

Dalam menghadapi perkembangan tata dunia yang baru, termasuk sistem perkonomian dunia yang baru, dimana perdagangan antar negara tidak lagi dapat di batasi dengan penetapan tarif impor atau ekspor (Non Tariff Barrier Trade),

Kebijakan pemerintah dalam melindungi sumber daya tumbuhan dan hewan telah di atur dalam UU No. 16 Tahun 1992, UU No.18 Tahun 2009, dan PP No.82 Tahun 2000.

Institusi karantina pertanian, Badan Karantina Pertanian beserta Unit Pelaksana Teknisnya berperan aktif dalam mencegah masuk dan berkembangnya hama dan penyakit karantina hewan dan tumbuhan dari dan di dalam wilayah negara Republik Indonesia. Akan tetapi, penanganan pencegahan penyebaran hama dan penyakit karantina tidak semata-mata dibebankan kepada istansi karantina pertanian sebagai benteng terdepan pertanian Indonesia, namun peranan pemerintah daerah dan masyarakat umum juga sangat penting demi terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati hewani. Peranan pemerintah daerah (dalam hal ini kabupaten dan propinsi) sangatlah penting, terutama kaitannya dengan pencegahan dan pengendalian penyakit hewan menular yang mendapatkan prioritas daerah maupun yang sifatnya endemis dan sporadis.


Kuala Tungkal



Kuala Tungkal adalah sebuah kota kecil, sebuah kota yang secara jalur darat bukanlah suatu kota yang strategis. Di Ibu Kota Kabupaten Tanjung Jabung Barat inilah jalur darat akan terhenti dan berganti dengan jalur maritim. Tapi di Kuala Tungkal inilah jalur darat berawal. Barang yang masuk dari luar negeri atau Batam, dimulai jalur distribusinya dari kota ini. Kota ini pernah mengalami jaman keemasan, yakni pada saat pelabuhan laut Kuala Tungkal masih terbuka untuk segala kegiatan ekspor/impor utuk semua komoditas. Namun, setelah terbit SKB dari 3 Menteri tentang pelarangan terhadap beberapa komoditas untuk keluar masuk melaui pelabuhan ini, gerak cepat ekonomi sedikit mengendur, hanya terbatas pada komoditas yang tidak di ijinkan. Sampai dengan sekarang ini, komoditas pertanian terus saja menunjukkan grafik yang stabil, dengan sedikit bagian dari grafik tersebut yang naik menjulang, jauh lebih tinggi daripada bulan bulan yang lainnya.

Kota ini bernuansa agamis, Islami tepatnya. Berbasis pada satu Pondok Pesantren,  Kuala Tungkal menunjukkan kharakteristiknya. Banyak surau, banyak kegiatan kegiatan Islami. Saat memasuki waktu shalat, satu persatu surau menghentak dengan suara adzan, menimbulkan suasana syahdu. Satu hal yang penulis ingat, dan rasanya akan terus penulis ingat seumur hidup, adlah pada saat jam 5 sore hampir semua toko dan pasar tutup, baru kemudian buka lagi pada jam 7 malam, setelah selesai melaksanakan Ibadah Sholat Maghrib dan Isya’. Sungguh suatu nuansa yang berbeda dengan kota lain yang penulis pernah jumpai.


Wilayah Kerja Pelabuhan Laut Kuala Tungkal

Dahulu kala,  sebelum penyatuan 2 organisasi perkarantinaan, yaitu Karantina Hewan dan Karantina Tumbuhan, berdiri 2 pos karantina, yaitu Karantina Hewan dan Tumbuhan. Namun setelah penyatuan dan dengan berdirinya Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kuala Tungkal tetap memiliki 2 organisasi perkarantinaan. Berbeda dengan sebelumnya, organisasi perkarantinaan yang ada sekarang adalah Wilayah Kerja Pelabuhan Laut Kuala Tungkal yang merupakan kepanjangan tangan dari Balai Karantina Pertanian Kelas 1 Jambi dan Karantina Ikan.

media pembawa di atas alat angkut
Seiring dengan berjalannya waktu, menyadari pentingnya letak Pelabuhan Laut Kuala Tungkal, kami, sebagai kepanjangan tangan dari Badan Karantina Pertanian terus berbenah diri. Kreativitas dalam berimprovisasi untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi Karantina terus kami lakukan. Delapan P yang menjadi prosedur tetap perkarantinaan adalah garis merah kami dalam bekerja.

Untuk Kesejahteraan Bangsa Indonesia

Mad Cow / B S E / Penyakit Sapi Gila

sumber : www.sussex.ac.uk

Penyakit sapi gila (mad cow) atau Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) adalah salah satu penyakit pada otak sapi yang tergolong dalam kelompok penyakit Transmissible Spongiform yang mempunyai keunikan tersendiri, karena penyakit ini disebabkan bukan oleh mikroorganisme seperti virus atau bakteri namun oleh prion (proteinaceous infectious) yaitu sejenis protein (tanpa asam nukleat) yang bersifat infeksius, tidak normal yang mengubah jaringan syaraf. Prion abnormal menyebabkan kerusakan otak yang mematikan. (Anonim, 2005 )

Secara normal, protein prion dihasilkan oleh tubuh (disingkat PrPc / cellular PrP). Gejala yang ditimbulkan penyakit prion tergantung dari kehadiran PrP yang dijumpai di dalam jaringan tubuh, sedangkan isoform dari protein prion yang infeksius penyebab TSE disebut Prion Scrapie (PrPsc), adapun bentuk PrPc dan PrPSc sama, bobot molekul sama, sekuensnya juga sama. Perbedaan yang paling menonjol dari kedua protein prion tersebut adalah bahwa PrPSc tahan terhadap proteinase K suatu enzim yang dapat memdegradasi protein, sedangkan PrPc (ahelix) tidak tahan. Pencampuran antara PrPc (dalam bentuk normal) dengan PrPsc (dalam bentuk infeksius = abnormal) akan menimbulkan keadaan yang abnormal atau terjadinya ‘infeksi prion’. Setiap kali penyerangan PrPsc terhadap PrPc akan terjadi penciutan, serta setiap penciutan akan terjadilah vakuolisasi dari jaringan. (Anonim, 2004) dan (Sitepoe, 2000)


DISTRIBUSI DI DUNIA

Amerika Serikat sejak 23 Desember 2003 menemukan bukti pertama adanya penyakit sapi gila di Washington, yang berasal dari Kanada (Anonim, 2003)
Pada pertengahan 1980an ribuan sapi mengalami BSE diberbagai Negara Eropa. Antara lain Perancis, Portugal, Irlandia,dan Swislandia, sedang yang terbanyak terdapat di negara Inggris. Kejadian – penyakit di Mal Malvinas ( As ), Oman, German, Kanada, Italy dan Denmark diyakini hanya diderita pada sapi – sapi yang di import dari Inggris. (Subronto, 2003)

KEJADIAN DI INDONESIA

BSE di Indonesia merupakan penyakit eksotik, Apabila ada kecurigaan ke arah BSE, tiap dokter hewan yang menangani harus segera melaporkan kepada Dinas Peteranakan, dan segera meminta bantuan profesional dark laboratorium Diagnostik terdekat. Bagi pengusaha pabrik pakan ternak, bahan makanan yang berasal dari lemak, tulang, jerohan, syaraf dan sebagainya, harus benar – benar memperoleh izin importasinya dari instansi berwenang. Meskipun kaitan antara BSE dengan penyakit oleh prion pada manisia belim diketahui benar, pemasukan bahan makanan , daging, susu, atau produk lain harus dilakukan secara hati- hati, dan melalui pengawasan ketat (Subronto, 2003)
Di Indonesia belum pernah dijumpai penyakit ini tetapi Indonesia mengimport berbagai jenis bahan sebagai pembawa penyakit ini berupa ; bahan makanan, bahan pakan obat-obatan, kosmetika, hewan hidup, bahan-bahan diagnostik, dan organ tubuh untuk transplantasi, dll. (Anonim, 2004)


KEJADIAN PADA HEWAN

Patogenesis
Wabah penyakit prion pada manusia dan hewan tampaknya akibat perubahan pola hidup karena ego dan ambisi manusia untuk menghasilkan lebih banyak protein hewani (daging dan susu), karenanya ruminansia yang secara alami adalah pemakan tumbuh-tumbuhan dipaksa menjadi karnivora (sapi dipaksa untuk makan MBM / meat borne meal atau pakan yang berasal dari lambung kelenjar / perut dari hewan lain), yang merupakan suatu praktik kanibalisme secara tidak langsung. (Anonim, 2004)
Penularan dari domba ke sapi terjadi secara per os melalui makanan. Sisa-sisa makanan hasil pemotongan domba ( tulang, jerohan, dsb) yang diproses dan diberikan sebagai makanan penguat pada anak sapi perah yang diduga sebagai sumber penularan pada sapi. (Soeharsono, 2000)
Ketika di tubuh sapi, prion mengendap di otak, selanjutnya prion akan mengumpulkan prion lainnya sampai berbentuk seperti spons. BSE muncul pada sapi karena sapi mengkonsumsi tepung daging dan tulang sapi. Konsumsi ini membuat penyimpangan protein pada sapi yang pada dasarnya adalah sebagai hewan pemakan rumput (herbivora). (Anonim, 2005)
Perubahan histopatologis dan perubahan molekuler dari susunan syaraf pusat menunjukkan sifat yang karakteristik. Dijumpai adanya vakoulisasi pada neuron dari substansi abu-abu (grey matter). Di sinilah pembentukan vakuolisasi yang paling menonjol. Pada neuron perikarya juga terjadi pembentukan vakuolisasi pada grey matter merupakan bentuk vakuolisasi yang terbanyak dijumpai. Hipertropi dari astrosit sering menemani pembentukan vakuolisasi. Adanya serebral amiloidosis merupakan gambaran normal dijumpai pada penyakit sapi gila. Banyaknya vakuola dijumpai paling banyak pada medula oblongata disusul pada otak tengah, talamus, hipotalamus dan area septal. (Sitepoe, 2000)

Gejala Klinik
Gejala klinik penyakit sapi gila pada umumnya merupakan kombinasi antara gejala neurologis dan gejala umum lainnya.
Gejala neurologis dibedakan menjadi:
  • Perubahan mental: ketakutan, kegelisahan, dan mudah terkejut apabila diganggu.
  • Perubahan sikap: ataksia, tremor, dan kadang-kadang tidak dapat bangun apabila terjatuh .
  • Perubahan sensasi (hiperastesia): khususnya rangsangan rabaan dan rangsangan suara.
Tanda-tanda yang berkaitan dengan gejala umum lainnya ialah: kehilangan berat badan dan kondisi tubuh serta penurunan produksi susu, sedangkan nafsu makan masih terus dipertahankan. (Sitepoe, 2000)

Masa Inkubasi
Masa inkubasi Transmissible Encelophaty (transmisi antarspesies) yang slow degeneration pada sistem syaraf pusat domba selama 2-4 tahun, sapi selama 3-6 tahun dan gejala kliniknya muncul dalam beberapa bulan. BSE menyerang sapi berumur 3-5 tahun dengan gejala penurunan produksi susu, gemetar/kejang-kejang dan TSE (Transmissible Encelophaty) dibagi menjadi tiga fase yaitu:
  • Fase I : level infeksi yang sangat rendah
  • Fase II : peningkatan konsentrasi prion di otak, sumsum tulang (inkubasi 6 bulan)
  • Fase III : kematian pada manusia dengan inkubasi 20 bulan sampai 16 tahun. (Anonim, 2004)


KEJADIAN PADA MANUSIA

Patogenesis
Penularan BSE kepada manusia terjadi melalui konsumsi daging sapi yang terinfeksi yang kemudian menyerang jaringan syaraf manusia dalam bentuk varian Creutzfeldt Jakob Disease (vCJD). Manusia yang terkena vCJD akan kehilangan kekuatannya, pertumbuhan badannya praktis terhenti. Penyakit ini cepat atau lambat akan merambat ke otak kemudian membuat otak manusia tidak lagi utuh, berubah seperti spons atau busa kursi yang bolong-bolong.( Panton, 2004)

Terdapat tiga jenis tipe penyakit CJD pada manusia yaitu:
  1. Classical CJD: jarang terjadi, degenerasi neuron fatal pada manusia, terjadi transmisi melalui hewan-hewan laboratorium (animal TSE), Sporadic CJD menyebabkan dementia, Hereditary CJD menyebabkan insomnia fatal dan mutasi PrP gen, Latrogenis CJD pengobatan growth hormone dan pembedahan.
  2. Varian CJD (tahun 1996) karena konsumsi produk hewan penderita BSE, dengan gejala klinis depresi, kontraksi otot involunter, inkoordinasi.
  3. Gerstmann-Straussler-Scheinker (GSS) menyebabkan inkoordinasi otot, dementia dan kematian dalam 2 sampai 6 tahun. Penyakit Kuru karena kanibalisasi di Papua Nugini (penanganan dan memakan otak manusia), dengan inkubasi 3 bulan sampai 30 tahun dan akhirnya mati. .(omega, 2003)
Penyakit CJD bukanlah penyakit yang baru, sudah lama diketahui orang, namun selama ini diketahui bahwa CJD pada manusia (CJD klasik) umumnya menyerang pada usia 40-90 tahun (diduga tergolong penyakit selinitas), bersifat sporadis 85-90%, dan onset penyakit antara 4-12 bulan sebelum kematian timbul dan tidak dipredisposisi oleh jenis kelamin.( omega, 2003). Seiring dengan perjalanan waktu, ternyata ditemukan adanya suatu variasi dari CJD (perubahan neuropatologik yang atipikal) yang sebelumnya tidak pernah ditemukan pada kasus-kasus umum CJD di USA, Australia dan Jepang. Pada kasus varian baru dari CJD (vCJD) ini, usia orang yang terkena ternyata sangat muda yaitu 16, 18, 19, 26, 28, 29, 31, dan 39 tahun. Setelah ditelusuri dan dilakukan pengujian terhadap transmisi agen penyebab, ternyata diketahui dan diduga kuat bahwa vCJD disebabkan oleh prion yang berasal dari BSE (penyebab BSE dan vCJD adalah causa penyakit yang sama) ( Anonim, 2004 )
Dari hasil observasi mengindikasikan bahwa prion dapat menyebar melalui pakan tercemar, dimana mekanisma infeksi ini berasal dari prion yang melakukan penetrasi pada sel usus dan bereplikasi.(ironside and will, 1999)
Selain menular dari hewan ke manusia, mad cow bisa juga menular dari manusia ke manusia bila orang sehat mendapatkan transplantasi organ dari orang yang mengalami BSE. Sampai saat ini di Indonesia belum ditemukan adanya kasus BSE baik pada sapi maupun pada manusia. Namun demikian penyakit ini harus tetap diwaspadai karena ada kemungkinan akan masuk ke Indonesia melalui peredaran daging secara ilegal. (Panton, 2004)

Gejala Klinis
Seseorang yang telah terinfeksi dengan penyakit ini akan memperlihatkan gejala klinis awal berupa sakit kepala, ketidakseimbangan refleks berjalan, gangguan penglihatan (mata kabur), dan vertigo. Juga gangguan mental berupa hilang ingatan dan perubahan mood (bisa menjadi kalem, marah atau romantis). Gejala ini muncul berkisar dua tahun sampai sepuluh tahun setelah seseorang mengkonsumsi daging sapi gila. Dalam tahap lanjut gejala tersebut berkembang menjadi tidak bisa mendengar dan tidak bisa berbicara. Sayangnya, sampai sekarang belum ditemukan obat maupun vaksin yang mampu mencegah penyakit tersebut.(Panton, 2004). Gejala klinis yang tampak adalah degenerasi neurologik seperti ataxia (serupa dengan gejala Penyakit Alzaimer atau Parkinson), tremor, kelelahan, ngantuk, kerusakan daya ingat, perubahan tingkah laku, vertigo, kemunduran mental yang sangat cepat diikuti dengan dementia, gangguan motorik (bagian kepala/leher, pundak sampai gluteus lumbal sensitive terhadap rangsangan suara, cahaya dan sentuhan), dan gambaran spesifik dari elektro encephalogram (EEG) dan perubahan patologinya adalah terbentuk amyloidplaque di otak cerebral (terlihat berlubang-lubang). (Anonim,2004)


DIAGNOSA BSE

Diagnosis adanya prion yang berasal dari CSF (Serebrospinal Fluid/cairan serebrospinal) pada otak manusia atau hewan yang telah mati dan melalui EEG (Electro Encephalogram) atau tonsil biopsy pada manusia atau hewan yang masih hidup, dapat pula diketahui juga melalui gejala klinis, identifikasi agen, histopatologi otak (brain slices) adanya kerusakan otak yang berlubang kecil, jumlah deposit prion yang semakin meningkat dalam 8-12 bulan dengan immunohistochemistry dan Prionic Check Test untuk mendeteksi BSE spesific Prion Protein pada 15.000 ekor hewan per tahun (dilakukan di Inggris), uji biologi dari sumsum tulang hewan yang terinfeksi yang berumur 14 sampai 22 bulan lalu diinjeksi intra-ocular hewan sehat (kambing, tikus, mencit, hamster). Lalu dapat diidentifikasi dengan cara Western Blotting (antibody novel dikembangkan dari prionic 27-30 kDa lalu direaksikan dengan antigen PrPSc dari otak) atau Gel Electrophoresis ( Anonim, 2004).
Umumnya didasarkan atas pemeriksaan histopatologi, yaitu ditemukannya perubahan pada otak yang dikenal sebagai Spongiform Enchepalopathy. Pada pasien yang masih hidup diagnosis histopatologi dilakukan dengan cara biopsi jaringan otak atau tonsil. Di samping itu ada teknik disebut Magnetic Resonance Imaging yang menggambarkan kelainan otak. Agen penyebab BSE tidak menimbulkan antibodi sehingga tidak dapat dilakukan pemeriksaan serologi sewaktu hewan masih hidup.

Specimen
1. Otak
2. Sumsum tulang belakang
3. Mata
4. Limpa
5. Produk turunan atau jaringan yang terkena prion
6. Limpoglandula
7. Tonsil
8. Jeroan
9. Plasenta


Isolasi dan Identifikasi
Pembuatan preparat histopatologi.

Patologi Anatomi
Secara umum pada otak terlihat seperti spons atau karet busa (spongiform enchephalopathy).
Pada manusia, pada pasien yang mengalami kematian yang cepat, otak tidak mengalami perubahan makroskopis. Sedangkan pada penderita pada kematian yang lambat menunjukkan perubahan penurunan berat otak. Dengan mikroskopik elektron, terjadi perubahan otak dalam 3 tingkatan, yaitu :
  1. Disebut perubahan Spongiform atau mulai pembentukan vakuola berbentuk bulat atau lonjong dengan ukuran paling kecil 1μm dan paling besar 50μm.
  2. Sel-sel neuron mulai menghilang, kadang-kadang sukar dideteksi apabila kematian cepat terjadi.
  3. Hilangnya sel-sel neuron diikuti dengan proliferasi astrosit.

Pemeriksaan cairan serebrospinal terdapat neuron enolase yang spesifik dijumpai di dalam cairan serebrospinal yang digunakan untuk mendiagnosis penyakit. (Sitepoe, 2000)


PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN

Pencegahan adalah cara terbaik bagi penyakit Prion karena hingga kini belum ada obat untuk mengatasinya. Walaupun beberapa cara pengobatan sedang diusahakan, namun umumnya adalah pengobatan asimtomatik. Beberapa cara pencegahan sebagaimana terkait dengan cara penyebaran, maka langkah-langkah berikut ini perlu dipertimbangkan:
  1. Meminimalisasi risiko pada manusia akibat penggunaan produk dan alat medis yang berasal dari sapi:
    • Seleksi sumber material yang berasal dari sapi (memproduksi hewan genetik tanpa penggunaan jenis material yang berasal dari sapi.
    • Kondisi di mana pengumpulan material asal sapi dilakukan (dekontaminasi 132C selama 3-4 jam lalu disterilisasi, hati-hati penggunaan formalin karena tidak dapat menghancurkan prion).
    • Prosedur yang dilakukan untuk mengurangi/menghilangkan infektivitas material yang digunakan misalnya dengan mencampuri/intervensi terhadap proses perubahan PrPc menjadi PrPSc, menstabilkan struktur PrPc dan mendestabilisasi PrPSc.
    • Besarnya jumlah material asal sapi yang digunakan.
    • Cara pemberian/penggunaan material asal sapi pada pasien (manusia).
  2. Meminimalisasi risiko pada manusia akibat penggunaan produk dan alat medis yang berasal dari manusia, yaitu:
    • Risiko transmisi dari CJD akibat penggunaan peralatan/instrumen, hormon pituitary, dan durameter.
    • Risiko transmisi dari CJD akibat penggunaan darah dan produk darah.
  3. Risiko transmisi dari CJD akibat konsumsi produk makanan yang berasal dari hewan ruminansia yaitu:
    • Keamanan susu.
    • Risiko kejadian BSE pada domba.
    • Penggunaan delatin dalam rantai makanan misalnya untuk kapsul obat.
    • Eating behaviour (khususnya masyarakat Indonesia) yang memakan tulang, gigi, tanduk, kuku dan semua produk asal hewan (termasuk semua produk hewani yang unsuitable for human consumption).
Pada sapi, tindakan pelarangan pemberian bahan makanan yang mengandung jaringan domba yang berasal dari daerah atau negara tertular Scrapie.
Untuk menghindari penularan pada manusia, tindakan larangan mengkonsumsi jeroan sapi (specified bovine offals/ SBO) yang terdiri atas sumsum tulang belakang, tonsil, timus, limpa dan usus.
Otak sapi harus dimasak dengan suhu 1200 derajat untuk mematikan prion, atau 2 kali lebih tinggi dari suhu saat menggoreng otak sapi dengan cara biasa. (Anonim, 2004)

PENGOBATAN

Obat untuk penyakit prion yang pertama diperoleh adalah senyawa kimia hasil sintesa maupun pencarian dari bahan alam, misalnya Amphotericin (dipublikasikan 1987), Congo Red (1992), Pentosan Sulfate (1993), Branched Polyamine (1993) dan beta-sheet breaking peptide (2000). Senyawa ini berhasil menghambat laju penyakit prion menggunakan sel dari jaringan syaraf otak galur N2a, GTI dan PC12, tetapi belum dapat mencegah atau menghilangkan secara tuntas prion abnormal.
Pengembangan obat selanjutnya adalah jenis biofarmaka, yaitu enzim dan antibodi. Pada tahun 2001, Charles Weismann dari Imperial College, Inggris membuktikan bahwa enzim PIPLC dapat mencegah dan menyembuhkan penyakit prion, tetapi penggunaan enzim PIPLC sebagai obat bersifat tidak praktis karena banyak protein lain yang memiliki GPI sehingga sangat mungkin mengakibatkan efek samping. Keberhasilan membuat antibodi dicapai oleh grup Simon Hawke dari Imperial College, Inggris, yaitu antibodi ICSM35 yang diduga dapat mencegah penyakit prion. Percobaan ini baru dilakukan pada hewan, belum pada manusia. Antibodi ini belum dipublikasikan dan vaksinnya belum ditemukan.




DAFTAR PUSTAKA

*ada pada penulis

Avian Influenza / Flu Burung


Avian influenza ( flu burung ) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus influenza tipe A dan ditularkan oleh unggas. Virus influenza itu sendiri, terdiri dari beberapa tipe yaitu tipe A, B dan C. Virus influenza tipe A adalah virus influenza yang dapat menjangkiti beberapa jenis hewan termasuk burung, babi, kuda, anjing laut dan ikan paus.



Wabah avian influenza tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga menyerang negara-negara di Asia Tenggara, Asia Timur, Amerika, Eropa dan Australia. Walaupun sampai saat ini di Indonesia belum ada laporan terjadinya transmisi virus avian influenza dari hewan ke manusia, namun di negara lain misalnya Hongkong dan Thailand sudah terjadi bahkan memakan korban jiwa. Oleh karena itu, pengetahuan tentang penyakit ini sangat penting untuk mencegah dan menanggulangi penyebarannya.


Avian influenza (AI) disebabkan oleh virus influenza tipe A dari famili Orthomyxoviridae dengan antigen Hemaglutinin (H) dan Neuramidase (N). H dan N ini selanjutnya digunakan untuk memberi kode pada subtipe avian infuenza.


Protein H menentukan tingkat patogen virus influenza. Virus tipe H5 dan H7 misalnya, mempunyai tingkat patogen yang tinggi terhadap ayam. Sementara itu, protein N juga berfungsi sebagai penentu batas inang (host) disamping juga menentukan tingkat patogennya. Walaupun protein N dikatakan berpengaruh terhadap penentuan inang, spesifikasi inang lebih ditentukan lagi oleh protein nukleokapsid (NP, Nucleocapsid Protein) yaitu protein yang berikatan langsung dengan gen RNA virus influenza. Karena itu, loncatan inang dari ayam ke manusia kemungkinan disebabkan oleh mutasi yang terjadi pada protein NP ini. Dengan kata lain, protein NP yang spesifik terhadap burung bermutasi menjadi protein yang bisa menginfeksi manusia.

Berdasarkan kandungan protein hemaglutinin dan neuraminidase virus penyebab avian influenza ini mempunyai beberapa strain, misalnya H1N1, H3N2, H5N1, H5N2, H7N1, H7N7 dan H9N2. Keragaman jenis strain virus avian influenza disebabkan karena virus ini mudah berubah bentuk akibat timbulnya Antigenic Drift dan Antigenic Shift. Antigenic Drift adalah perubahan kecil yang terjadi secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu sehingga virus AI yang memakai "baju baru" itu tidak dikenali oleh sistem kekebalan tubuh. Jadi ayam yang pernah tertular salah satu jenis virus A masih dapat tertular lagi oleh virus baru. Sedangkan pada Antigenic shift, perubahan yang terjadi lebih banyak lagi, meliputi perubahan subtipe hemaglutinin, neuraminidase atau keduanya. Antigenic shift lebih jarang terjadi dibandingkan dengan antigenic drift. Namun pada virus AI dapat terjadi antigenic shift dan antigenic drift sekaligus.

Virus AI dapat bertahan hidup di air sampai 4 hari pada suhu 22°C dan lebih dari 30 hari pada 0°C, tetapi virus ini akan mati pada pemanasan 60°C selama 30 menit atau 56°C selama 3 jam dan juga akan mati oleh detergent, desinfektan misalnya formalin serta cairan yang mengandung iodin. Masa inkubasi pada unggas adalah 1 minggu, sedangkan pada manusia 1-3 hari.

Flu burung yang pada ilmu kedokteran veteriner lebih dikenal dengan nama Avian influenza, berdasarkan sifat virulensinya dibagi menjadi virus ganas (Highly Pathogenic Avian Influenza atau HPAI) dan virus tidak ganas (Low Pathogenic Avian Influenza atau LPAI). Contoh strain virus AI yang termasuk HPAI adalah H5N1, yang akhir-akhir ini mewabah di negara-negara Asia Tenggara dan menyebabkan banyak kematian. Sedangkan yang termasuk LPAI misalnya strain H6N2 dengan angka kematian 0,25-3% dan penurunan produksi telur 40%.

DISTRIBUSI DI DUNIA

  • 1878 : Avian influenza pertama kali ditemukan di Itali namun belum dikenal. 
  • 1924 - 1925 : Di Amerika Serikat AI menular di antara unggas namun belum menular ke hewan lain. 
  • 1979-1980 : Di Amerika Serikat terjadi penularan virus AI dari camar ke anjing laut, mengakibatkan 20% populasi anjing laut mati. 
  • 1983 - 1984 : Di Amerika Serikat tejadi infeksi virus AI H5N2, mengakibatkan 17 juta ayam mati. 
  • 1985 : Di Victoria, Australia wabah AI mengakibatkan 105.000 ayam dibunuh. 
  • 1997 : Di Hongkong terjadi infeksi virus AI H5N1 yang mengakibatkan seorang anak laki-laki meninggal dunia. Pada bulan Desember tahun yang sama, virus AI menginfeksi 17 orang dan 5 diantaranya meninggal dunia. 1,5 juta ayam dibinasakan karena terjangkit virus ini. 
  • 1999 : Di Hongkong seorang anak terjangkit virus AI H9N2 tetapi dapat disembuhkan. 
  • 1999-2001 : Di Itali 13 juta unggas mati karena terinfeksi virus AI H7N1. 
  • Februari 2003 : Di Hongkong 2 orang tertular virus AI H5N1 dan 1 diantaranya meninggal dunia. 
  • Desember 2003 : Di Hongkong 1 orang tertular virus AI H9N2. 
  • Februari 2003 : Di Belanda 84 orang tertular virus AI H7N7 dan seorang diantaranya meninggal dunia. 
  • Januari 2004 : Vietnam, Kamboja dan Thailand terserang virus AI H5N1 
(Kompas, 26 Januari 2004)


KEJADIAN DI INDONESIA

  • 29 Agustus 2003 : Muncul penyakit yang mematikan di peternakan ayam di kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Setelah itu menyebar di sejumlah kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur. 
  • 23 Oktober 2003 : Deptan menginformasi wabah itu sebagai virus tetelo dengan jenis vilogenik viserotropik berdasarkan pengujian beberapa lembaga dan laboratorium. 
  • 28 Oktober 2003 : Otoritas Agrifood and Veterinary Authority (AVA) Singapura telah melarang sementara impor burung dan unggas lainnya dari Indonesia karena adanya informasi wabah penyakit Avian influenza di beberapa daerah. 
  • 19 November 2003 : Dua sumber independen yang layak dipercaya di Indonesia telah mengirim informasi adanya wabah Avian influenza ke International Society for Infectious Disease (ISID). Mereka mengabarkan, wabah tersebut telah terjadi di Jawa Barat dan Sumatera. 
  • 22 Desember 2003 : Pusat Informasi Unggas Indonesia (Pinsar) menyebutkan adanya keikutsertaan Avian influenza dalam wabah tetelo yang terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Virus tersebut tidak hanya diisolasi, tetapi sudah diidentifikasi melalui berbagai metode diagnostik. Pinsar menyarankan virus Avian influenza yang ditemukan sebaiknya dikirim ke laboratorium rujukan internasional di Australia, Inggris, Jerman atau Amerika Serikat. 
  • Pertengahan Desember 2003 : Rapat dilangsungkakn di rumah Menteri Pertanian Bungaran Saragih di Widya Candra, yang dihadiri pejabat Dirjen Bina Produksi, pengusaha, dinas peternakan daerah dan lain-lain, untuk memperdebatkan masalah Avian influenza. 
  • 15 Januari 2004 : Sebuah tim yang terdiri atas Kepala Badan Karantina dan Direktur Kesehatan Hewan pergi ke Cina sekitar enam hari untuk mempelajari kasus Avian influenza, termasuk pengadaan vaksin. 
  • 21 Januari 2004 : Dirjen Bina Produksi Peternakan menginformasikan bahwa pemerintah menunjuk PT Bio Farma untuk mengimport vaksin Avian influenza dengan jenis patogenitas rendah. 
  • 24 Januari 2004 : Ketua I Persatuan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) CA Nidom mengumumkan, dari identifikasi DNA dengan sampel 100 ayam yang diambil dari daerah wabah diketahui positif telah terjangkit avian influenza. 
  • 25 Januari 2004 : Deptan mengumumkan secara resmi kasus avian influenza terjadi di Indonesia, namun belum ditemukan korban manusia akibat wabah tersebut. (Kompas, 26 Januari 2004) 
Selama periode 2004-2005 banyak kasus kematian unggas yang diperkirakan karena AI seperti yang terjadi di : 

  • Kulon Progo dan Turi Sleman Yogyakarta (Februari 2004) 
  • Jawa Barat ( awal tahun 2005) 
  • Sulawesi Selatan kabupaten Sidrap, Soppeng, Wajodan Maros (Maret 2005) 


(Kompas, 4 November dan 17 Maret 2005)



KEJADIAN PENYAKIT PADA HEWAN

Spesies unggas yang bisa di serang dan dijadikan induk semang (inang) diantaranya adalah ayam, kalkun, bebek, puyuh dan burung-burung liar. Selain pada unggas, virus juga dapat bertahan hidup pada spesies lain seperti tikus, babi, kuda dan lalat. (Anonim 2004)

Di alam bebas virus AI dilestarikan oleh itik liar dan unggas liar lainnya seperti burung merpati. Di dalam tubuh unggas yang terinfeksi virus mengalami penggandaan di dalam saluran usus dan pernafasan karena sel-sel epitel organ ini dapat menghasilkan enzim yang penting untuk membelah hemaglutinin virus sehingga menjadi lebih aktif. Pada jenis AI yang patogenik pada tempat yang terbelah mempunyai tambahan asam amino sehingga menyebabkan hemagutinin terbelah dengan penambahan enzim lebih luas ke seluruh tubuh.

Penularan virus AI dapat terjadi melalui kotoran yang mengandung virus AI secara oral maupun saluran pernafasan dapat juga melalui ingus hewan reservoir.

Penularan tersebut terjadi secara horisontal artinya bahwa penularan terjadi antara unggas hidup terinfeksi ke unggas sehat. Sedangkan penularan secara vertikal yaitu dari induk terinfeksi ke telur tetas tidak dimungkinkan.

Gejala klinis yang terjadi pada Avian influenza ini sangat bervariasi tergantung faktor inang yang diserang yaitu misalnya jenis, umur, kelamin dan infeksinya. Selain faktor inang, tipe virus influenza dan faktor lingkungan juga menentukan. Beberapa virus dapat menyebabkan penyakit yang berbahaya dalam suatu jenis dan tidak menular pada jenis lain.

Pada unggas liar yang terserang biasanya tidak menunjukkan gejala klinis. Gejala-gejala klinis yang tampak pada hewan yang terserang meliputi gejala pernafasan, enteric, reproduksi an terganggunya sistem syaraf.

Gejala yang biasanya terjadi : 
  • Depresi 
  • Aktifitas turun 
  • Menurunnya feed intake dan emasiasi 
  • Meningkatnya lakrimasi 
  • Cyanosis pada balung dan pial 
  • Edema kepala dan muka 
  • Diare berwarna hijau atau putih 
  • Produksi telur turun 

Kejadian pada Babi

Keberadaan virus avian influenza pada babi bukan hanya menempel pada organ babi tetapi sudah masuk ke dalam tubuh atau terinfeksi pada babi. Babi dianggap sebagai tempat pencampuran (mixing vessel) karena babi mempunyai komponen biologis yang dapat mengubah struktur virus avian influenza. Di dalam tubuh babi, virus avian influenza dapat melakukan penataan ulang menjadi virus baru dengan subtipe baru sehingga virulensinya lebih tinggi dan apabila menular ke manusia, sistem antibodi manusia tidak akan tanggap. (Kompas, 9 April 2005)

Pada avian influenza unggas resiko penyakit tersebut untuk pindah dari unggas ke manusia sangat kecil namun pada babi yang terserang virus ini sangat membahayakan manusia disekitarnya.

Ada 2 macam hipotesa yang dapat dikemukakan untuk mengetahui alasan tersebut, yang pertama karena adanya ketidaksamaan struktur antigenik permukaan pada unggas dan manusia. Struktur antigenik permukaan pada unggas adalah 2,3 sialic acid sedangkan pada manusia 2,6 sialic acid. Struktur antigenik permukaan ini sangat penting sebagai pengikat target sel untuk bereplikasi. Sedangkan pada hipotesa kedua pada babi yaitu dengan ditemukannya 2 struktur antigenik permukaan virus berupa 2,6 sialic acid dan 2,3 sialic acid.

Dari kedua hipotesa ini menimbulkan suatu pendapat bahwa agar virus avian influenza asal unggas dapat menginfeksi sel manusia terlebih dahulu harus merubah sturktur antigenik permukaan 2,3 sialic acid menjadi 2,6 sialic acid (shift antigenic dan drift antigenic) di dalam tubuh babi sebagai hewan amplifier. (Hunggar)

Babi yang terinfeksi virus avian influenza tidak akan menunjukkan gejala apapun. Namun sangat membahayakan manusia disekitarnya. Virus bisa menular ke manusia bila

kontak dengan babi, baik secara langsung maupun tidak, seperti dengan memegangnya atau mengurus kandangnya dan juga dari udara yang dihirup sekitar babi itu berada. ( Pikiran Rakyat Cyber Media 2002)


KEJADIAN PADA MANUSIA
Robert Webster MD dari RS Anak St Jude, Memphis AS menemukan virus avian influenza dari unggas dapat menular ke manusia melalui perantaraan babi. Webster mengatakan bahwa virus avian influenza dari manusia dan virus avian influenza dari unggas dapat menular ke babi. Pada tubuh babi, kedua virus dapat bermutasi atau bertukar gen dengan virus lain dan menjadi subtipe virus baru. Pembentukan subtipe virus baru tersebut memungkinkan terjadinya penularan virus dari hewan ke manusia. Penularan dengan model itu sangat mungkin terjadi di Cina karena lokasi peternakan ayam, babi dan pemukiman manusia terletak berdekatan. Oleh karena itu babi dapat disebut sebagai tempat pencampuran (mixing vessel) dan reservoir virus AI. (Kompas, 26 Januari 2004)

Virus AI H5N1 menjadi perhatian utama karena dapat bermutasi dengan cepat dan mampu berubah menjadi beberapa subtipe virus baru sehingga dapat menular ke spesies lain, termasuk manusia. Di dalam tubuh manusia, virus ini dapat menyebabkan penyakit yang akut karena subtipe H5 mempunyai daya bunuh yang tinggi. Jika virus itu menular kepada lebih banyak orang lagi, subtipe virus flu dari manusia dan unggas dapat bermutasi dan menghasilkan subtipe virus baru. Virus itu sangat berbahaya karena mempunyai daya bunuh yang tinggi dan mungkin dapat ditularkan dari manusia ke manusia lain. Namun sampai saat ini belum ada bukti yang menunjukkan secara tepat adanya penularan dari manusia ke manusia, serta penularan pada manusia melalui daging yang dikonsumsi. (Kompas, 26 Januari 2004)

Selain virus H5N1, virus Avian influenza lain yang mampu menginfeksi adalah jenis H9N2. Wabah yang disebabkan H9N2 ini juga terjadi di Hongkong pada tahun 1999 namun tidak menyebabkan kematian. Hal ini dikarenakan tindakan yang cepat seperti stamping out, yakni membunuh semua ayam pada peternakan yang terserang dan desinfeksi kandang, karena itu masa kontak dengan manusia bisa diminimalkan sehingga dampak pada manusia tidak besar. (Media Indonesia,2004)

Gejala klinis avian influenza pada manusia adalah seperti gejala flu pada umumnya, yaitu demam (>38°C), sakit tenggorokan, batuk, pilek (beringus), nyeri otot, sakit kepala dan dalam waktu singkat dapat menjadi lebih berat dengan munculnya gejala infeksi mata, pneumonia, gangguan pernafasan akut dan komplikasi yang mematikan lainnya.

Terdapat tiga (3) definisi kasus avian influenza pada manusia menurut WHO yaitu:
1. Kasus suspek / possible, jika : Radang pernafasan akut (demam >38°C, batuk, sakit tenggorokan, pilek), atau Seminggu terakhir berkunjung ke peternakan yang terjangkit wabah avian influenza, atau Kontak dengan penderita influenza subtipe A (H5N1) yang konfirm, atau Petugas laboratorium yang memeriksa spesimen orang atau hewan tersangka avian influenza A (H5N1). 
2. Kasus probable, jika : Kasus suspek (possible) disertai salah satu. Dalam waktu singkat menjadi pneumonia, atau Tes laboratorium terbatas mengarah ke virus influenza subtipe A H5N1 positif (HI test atau IFA menggunakan monoclonal antibody), atau Tidak ada bukti penyebab yang lain. 
3. Kasus konfirm, jika : Kultur virus influenza subtipe A H5N1 positif atau PCR influenza (H5) positif, atau Peningkatan titer antibodi H5 sebesar 4 kali. 

Hampir separuh kasus avian influenza pada manusia menimpa anak-anak, terutama anak-anak di bawah usia 12 tahun karena sistem kekebalan tubuh anak-anak belum begitu kuat. Padahal penyakit belum ada obatnya. Obat-obatan yang diberikan hanya dapat meredakan gejala yang menyertai penyakit flu itu, seperti demam, batuk atau pusing, tetapi tidak mengobati.

Virus avian influenza mempunyai kemampuan untuk membangkitkan hampir keseluruhan respon "bunuh diri" dalam sistem imunitas tubuh manusia. Semakin banyak virus itu tereplikasi, semakin banyak pula sitoksin—protein yang memicu untuk peningkatan respon imunitas dan memainkan peran penting dalam peradangan yang di produksi tubuh. Sitoksin yang membanjiri aliran darah, karena virus yang bertambah banyak, justru melukai jaringan-jaringan dalam tubuh-efek bunuh diri. (Silalahi)

Diagnosa terhadap kasus avian influenza dapat ditegakkan dengan jalan melihat gejala-gejala dan tanda-tanda klinis serta dari hasil pemeriksaan laboratorium. Sampel yang digunakan untuk pemeriksaan laboratorium adalah darah (serum), usap tenggorokan, bilas tenggorokan dan usap hidung. Uji laboratorium yang digunakan adalah HI test untuk melihat kenaikkan titer antibodi, PCR untuk memastikan virus A (H5N1) dan isolasi virus. (Suroso, 2004)


PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN

1. Peningkatan biosecurity
  • Karantina / isolasi peternakan yang tertular.
  • Pembatasan orang, peralatan dan kendaraan keluar masuk peternakan.
  • Kendaraan pengangkutan harus didesinfeksi sebelum dan saat keluar peternakan.
  • Pekerja harus dalam keadaan sehat apabila memasuki areal peternakan.
  • Pekerja / orang yang masuk kandang harus menggunakan pakaian pelindung sesuai standar (sarung tangan, masker, tutup kepala, kacamata dan boot).
  • Pekerja wajib mendesinfeksi dirinya sendiri sebelum dan sesudah bekerja di peternakan.


2. Vaksinasi

  • Satu kendala yang dihadapi dalam pembuatan vaksin AI adalah sering timbulnya antigenic drift dan antigenic shift. Karenanya virus AI mudah berubah sehingga sulit membuat vaksin AI yang dapat dipakai dalam jangka waktu lama. Vaksin inaktif menggunakan isolat virus AI yang ada saat ini merupakan pilihan terbaik. Namun vaksin ini perlu dievaluasi tiap tahun dengan mengamati apakah telah terjadi antigenic drift atau antigenic shift di lapangan. Apabila hal tersebut terjadi maka diperlukan isolat baru sebagai bibit vaksin. (Kompas, 22 Desember 2003)
  • Di Indonesia, vaksinasi AI menggunakan vaksin inaktif seyogyanya dilakukan hanya pada peternakan rakyat, karena biosecurity umumnya kurang maksimal. Breeder atau peternakan besar yang mampu melaksanakan biosecurity secara baik seyogyanya tidak di vaksinasi. Bila terjadi serangan AI maka stamping out akan lebih menguntungkan untuk jangka panjang. (Kompas, 26 Januari 2004)
  • Vaksinasi AI yang paling pokok cukup dilakukan sekali pada umur 18-20 minggu (berdasar uji yang dilakukan Drh. Darjono PhD). Akan tetapi bila ditemukan indikasi Low Pathogenic Avian Influenza dan umur ayam bervariasi maka lebih baik dilakukan 2x (dua kali) vaksinasi. Vaksinasi ulangan dilakukan 8-10 minggu setelah vaksinasi pertama. Pada broiler, sama sekali tidak disarankan untuk pemberian vaksinasi. (Trobos, Januari 2005)
  • Jenis vaksin AI yang ada berasal dari 3 produsen vaksin dalam negeri yaitu PT Vaksindo Satwa Nusantara, PT Medion dan Pusvetma serta importir vaksin AI yaitu PT Biofarma. Vaksin yang digunakan yaitu Afluvet (Pusvetma), Vaksiflu AI (PT Vaksindo Satwa Nusantara) dan Medivac AI (PT Medion). (Suroso, 2004)


3. Depopulasi
  • Yaitu pemusnahan terbatas terhadap unggas sehat yang sekandang dengan unggas sakit pada peternakan yang tertular dengan cara eutanasia atau disembelih. Kemudian bangkainya di bakar atau di kubur sedalam 1,5 meter dan disiram air kapur atau desinfektan.


4. Pengendalian lalu lintas unggas, produk unggas dan limbah peternakan unggas.
  • Pelarangan keluar masuknya unggas sehat atau sakit secara bebas ke dalam atau keluar peternakan yang terinfeksi. Telur dari unggas yang terinfeksi lebih baik dimusnahkan karena walaupun AI tidak ditularkan secara vertikal ada kemungkinan telur terinfeksi karena tercemar feses. Limbah peternakan yang terinfeksi dimusnahkan dengan di bakar atau di kubur.


5. Stamping out
  • Sebagian besar negara maju memilih stamping out yakni membunuh semua populasi ayam tertular apabila ditemukan virus AI ganas (HPAI). Namun di Indonesia hal itu jarang dilakukan karena tingginya biaya kompensasi.


6. Peningkatan kesadaran masyarakat.
7. Monitoring dan evaluasi
  • Mengamati ada tidaknya mutasi virus atau pembentukan strain baru di lapangan. Mengamati hasil kegiatan vaksinasi.


8. Surveilans dan penelusuran
  • Menganbil sampel kemudian dilakukan pengujian untuk mengkaji dinamika virus, efektivitas vaksin, menetapkan perwilayahan dan pemetaan penyakit.


9. Pengisian kandang kembali setelah 30 hari.


PENGOBATAN

Pengobatan bagi penderita avian influenza adalah : 
  • Oksigenasi bila terdapat sesak nafas. 
  • Hidrasi dengan pemberian cairaan parenteral (infus). 
  • Pemberian obat antivirus oseltamivir 75 mg dosis tunggal selama 7 hari. 


Untuk anak
  • < 15 kg dosis 30 mg 2x sehari
  • <15-23 kg dosis 45 mg 2x sehari
  • > 23-40 kg dosis 60 mg 2x sehari
  • > 40 kg dosis 75 mg 2x sehari
Untuk penderita berusia > 13 tahun dosis 75 mg 2x sehari. 
Amantadin diberikan pada awal infeksi, sedapat mungkin dalam waktu 48 jam pertama selama 3-5 hari dengan dosis 5 mg/kg BB perhari dibagi dalam 2 dosis. Bila berat badan lebih dari 45 kg diberikan 100 mg 2x sehari. (Suroso,2004) 

Sumber :

Transportasi Ternak

Belakangan ini kita bersama ketahui, bahwasannya pemerintah Australia berketetapan menghentikan ijin importasi hewan, dalam hal ini sapi, ke tiga rumah potong hewan di tanah air Indonesia kita. Alasannya, bahwa menurut mereka (pembuat kebijakan dari pihak pemerintah Australia), animal welfare (hak kehewanan) telah dilanggar habis-habisan. Dilaporkan secara langsung oleh seorang reporter dari stasiun televise ABC, Sarah Fergusson, gambar tersebut menyajikan kekejaman yang terjadi pada salah satu rumah potong yang ada di Jakarta. Dengan mengambil judul yang mengungkapkan sebuah ironi, yaitu “Indonesia, animal cruelty/torture/halal beef ( disturbing)”, tayangan itu mencoba mengungkapkan apa yang seharusnya tidak terjadi, dan dikatakan oleh reporter tersebut, sebaiknya pemerintah Australia mengambil tindakan dari kejadian ini.

Akibatnya, bahkan sampai dengan level tertinggi dari Negara ini pun angkat bicara. Bapak Presiden kita, SBY, kemudian dalam sebuah pidatonya mengajak menteri terkait untuk mengevaluasi ketersediaan sapi potong di negeri ini. Pantaslah untuk Bapak Presiden khawatirkan, pasalnya lebih dari 90% rumah potong di Indonesia masih menggunakan metode yang sama dengan yang diliput oleh stasiun televise ABC. Bagaimana nantinya jika semua Negara sependapat dengan Australia untuk kemudian secara mutlak 100% menghentikan ekspor sapinya ke Indonesia dengan alasan animal welfare?

Pertanyaan selanjutnya adalah :

Apa yang terjadi dengan Animal Welfare di Negara kita?

Dari masa ke masa, kita dapat mencatat pelanggaran animal welfare di Negara kita. Dari pengangkutan hewan yang over kapasitas alat angkut, sampai dengan daging sapi gelonggongan. Yang terakhir muncul di layar televisi adalah sapi sapi yang hidup di lingkungan TPA (tempat pembuangan akhir) sampah, yang memakan sampah sampah tersebut yang di curigai memiliki kandungan Pb (Plumbum / timbale) yang tinggi. Kemana timbale itu akan berlalu? Pertama ke sapi itu sendiri. Kedua ke manusia sebagai predator tingkatan tertinggi dalam rantai ekosistem. Apa akibatnya jika timbale berada dalam tubuh manusia? Berbagai macam penyakit bisa timbul. Dari penurunan kesuburan (infertile) sampai dengan kemandulan. Dan  juga adanya timbale dalam tubuh manusia bisa meningkatkan resiko terkena kanker, mengingat timbale merupakan logam berat.

Sorot tulisan ini adalah pada hal dasar yang sering terjadi di lapangan, yang sering kita semua lihat. Perihal transportasi hewan, adalah hal yang sering kita anggap sepele dan mewajarkan segala bentuk transportasi bagi hewan tersebut. Nah, mari kita kaji lebih dalam lagi apa yang menjadi kekurangan dan kelebihan dalam memilih suatu prosedur transportasi bagi hewan ternak potong.

Transportsi adalah hal yang menjadi perhatian awal kita untuk menu ke perhatian perhatian selanjutnya yang lebih mendalam. Bisa saja kita bilang bahwa hewan hewan ini adalah seongggok daging yang masih berkaki 4 yang nantinya mati dan dihidangkan di atas piring yang mungkin kita atau anak kita atau saudara kita atau bahkan istri kita makan. Katakanlah sudah kita semua tahu bahwasannya onggokan daging berkaki 4 ini dalam transportasinya mereka berhenti di suatu tempat untuk istirahat dan memakan rumput yang sebelumnya di semprot dengan pestisida pembasmi rumput. Akan kah kita membiarkan orang orang terdekat kita untuk memakannya? Apakah lidah kita bisa mengecap aroma tertentu dari pestisida yang terkandung pada daging itu?

Di sisi yang lain, bisa kita lihat, semasa onggokan daging berkaki empat ini masih bisa berjalan dan masih bisa mengunyah rumput, pada saat itu mereka masih menarik dan membuang nafas. Pada masa itu, jikalau kita tendang tubuh mereka, bisa dipastikan mereka akan memberikan respon emosional. Bisa jadi mereka lari. Bisa jadi mereka kemudian mengambil posisi untuk memberikan serangan balik. Atau bisa dalam bentuk apapun itu. Yang jelas, respon emosional dari hewan itu ada!!!

Beberapa alasan, diantaranya adalah yang tertulis diatas, yaitu bahwasannya di satu sisi mereka adalah sumber protein hewani bagi kita (manusia) dan di sisi yang lain bahwa hewan hewan ini adalah onggokan daging yang bernafas, memakan jenis makanan yang mereka sukai, dan merasakan adrenalin ketakutan seperti manusia, maka pemahaman pada beberapa Negara yang sudah maju, adalah menjadi hal yang sangat penting untuk menjaga setiap aspek yang berkaitan dengan keamanan onggokan daging ini yang pada akhirnya menjadi sebuah hidangan diatas meja untuk kita makan. Mereka menggunakan istilah “food safety, from barn to the table”, yang dalam bahasa kita berarti “keamanan pangan, dari peternakan sampai dengan di atas meja”.

Pada Negara yang sudah maju, terdapat suatu undang undang yang dibuat oleh Negara tersebut yang memberikan pedoman tentang tata-cara tentang transportasi hewan. Hewan potong misalnya, adalah jenis hewan yang pada banyak Negara di dunia mengalami proses transportasi dari tempat mereka hidup sebelumnya (habitat awal) sampai dengan tempat penyembelihan. Baik di eropa, amerika serikat atau Indonesia, perlakuan dalam bentuk transportasi menuju rumah potong adalah sama dilakukannya.

Salah satu Faktor yang menjadi pembeda adalah tata cara yang digunakan untuk melakukan proses transportasi. Uni Eropa menggunakan ketentuan untuk transport dengan menggunakan jalur darat perjalanan yang maksimal dilakukan adalah selama 8 jam. Namun apabila terdapat kendala kendala selama perjalanan, maka batas waktu maksimal lama perjalanan adalah 14 jam, dan wajib untuk kemudian hewan tersebut di istirahatkan, turun dari kendaraan angkut selama 1 jam untuk aktivitas makan, minum dan istirahat. Baru kemudian di perboleh kan lagi untuk berjalan selama 2 kali 9 jam, dimana di antara 2 perjalanan dengan lama 9 jam tersebut terdapat interval 1 jam untuk istirahat. Begitu selanjutnya. Di Kanada peraturan transportasi hewan mewajibkan pengemudi atau pemilik untuk mengistirahatkan hewan mereka setelah perjalanan maksimal selama 48 jam.

Mungkin timbul pertanyaan kenapa sampai timbul adanya batasan waktu dalam hal transportasi?

Lebih mudah untuk kita mengerti  dengan menganalogikan peraturan tersebut dengan misal batas waktu maksimal kita dalam mengikuti upacara atau kegiatan lain yang mengharuskan kita untuk tetap berdiri. Bahkan seorang prajurit kopassus atau sebutlah navi seal, tidak akan mampu untuk tetap berdiri dalam goncangan selama berpuluh puluh jam tanpa henti.

Dari sudut yang lain, para pelaku usaha yang menggunakan metode transportsi yang terlalu memaksakan, sebenarnya mereka berada dalam proses merugikan dagangan mereka sendiri.

Ilustrasikan didalam memori anda, bahwa masih terlalu banyak pengangkutan ternak potong di negeri in yang tidak masuk akal yang masih saja terjadi. 150 ekor kambing di dalam satu truk ukuran sedang (truk ber-roda 6) yang disusun menjadi 4 tingkatan di dalam bak. Dan truk itu berjalan menyusuri jalanan yang sebagian besar dari jalanan tersebut bukan kualitas jalan tol, jauh dari kualitas jalan tol. Mereka dimasukkan kedalam truk itu pun dengan di seret, di pukul, dan sebagainya. Pun kemudian dengan cara yang sama mereka di bawa keluar dari truk itu.

Ada dua konklusi disini.

Yang pertama menurunkan jarak tempuh. Hal ini bisa hanya oleh suatu industry yang memiliki sistem terpadu, dimana peternakan dan tempat pemotongan berada dalam suatu kawasan yang tidak berjarak yang jauh.

Yang kedua adalah dengan memberikan suatu rest area, tempat peristirahatkan, sehingga hewan tersebut dapat beristirahat dengan cukup, untuk kemudian melanjutkan lagi perjalanannya menuju tempat pemotongan.

Bahwa ketika kita mengalami suatu momen yang penuh dengan perasaan takut, kemudian kita merasakan adanya tenaga tambahan mendadak yang tiba tiba ada sehingga kita bisa lari sekuat-kuat kaki kita menjauh dari hal yang kita anggap sebagai ancaman tersebut.

Ilustrasi seperti itu juga terjadi pada hewan. Proses seluler yang terjadi pada saat ketakutan adalah sama antara manusia dengan hewan. Bahkan reaksi untuk kemudian berlari dan mencari tempat berlindung yang dirasakan aman.

Pada manusia dan hewan, sensai rasa takut akan meningkatkan sekresi hormone adrenalin, yang kemudian memacu kerja jantung untuk berdegup lebih kencang, mendorong darah untuk mengalir lebih cepat. Aliran darah yang lebih cepat inilah yang menghantarkan bahan sumber metabolisme untuk penghasil energy di tingkat seluler. Sejak adrenalin meningkat, siklus metabolisme yang terjadi di dalam sel otot pun terus menanjak naik. Sebagai residunya, asam laktat yang di hasilkan pun terus melonjak.

Ketakutan dalam hewan itu ada. Pukul lah seekor hewan, pastilah dia akan menyerang atau kemudian lari menghindar. Tidak seperti batu yang tidak akan ber respon ketika mereka di hantam dengan menggunakan palu.

Sudah sepantasnya jika kita menginginkan kualitas pada sumber pangan yang kita makan, kita juga harus menjaga sumber pangan tersebut sehingga layak untuk kita dan anggota keluarga kita makan. Terlebih, karena hewan itu juga mampu untuk merasakan seperti halnya manusia, hanya saja mereka bukanlah makhluk berakal.