Penyakit Keluron Menular ( Brucellosis )


ilustrasi Brucellosis
(source : kadirlitarim.gov)

Brucellosis adalah penyakit reproduksi menular ruminansia yang disebabkan oleh kuman Brucella sp (Anonimus 1, 2004). Penyakit ini merupakan penyakit penting di Indonesia yang dapat menular ke manusia (zoonotik) (Anonimus 1, 2004). Brucellosis dilaporkan menyebar ke berbagai wilayah Indonesia sehingga menimbulkan kerugian ekonomis yang cukup besar bagi pengembangan peternakan akibat kematian dan kelemahan pedet, abortus, infertilitas, sterilitas, penurunan produksi susu dan tenaga kerja ternak, serta biaya pengobatan dan pemberantasan yang mahal (Anonimus 1, 2004).

Brucella menyebabkan keguguran atau keluron pada umur kebuntingan tertentu (Soejodono, 1999). Di Indonesi penyakit ini disebut juga penyakit keluron menular atau Bang (Soejodono, 1999).Bakteri penyebabnya sampai saan ini telah diidentifikasikan sebagai 6 (enam) spesies yaiu Brucella melitensis, Brucella abortus, Brucella suis, Brucella neotomae, Brucella ovis, dan Brucella canis (Soejodono, 1999). .

Infeksi Brucella sp. bersifat fakultatif intraseluler yang bersifat kronis (Anonimus 1, 2004). Pada ternak terinfeksi akan terbentuk reaksi tanggap kebal humoral secara persisten atau bertahan lama dengan terbentuknya antibodi di dalam serum (Anonimus 1, 2004). Antibodi tersebut dapat dideteksi dengan uji coba serologis seperti Rose Bengal Test (RBT) dan Complement Fixation Test (CFT) (Anonimus 1, 2004).

Usaha pencegahan dan pengendalian terhadap Brucellosis sapi pada umumnya terfokus pada pemberantasan penyakit dengan mengendalikan populasi sapi bebas dari agen penyakit (Siregar, 2000). Oleh karena itu semua usaha Dinas Peternakan diarahkan pada mencegah berpindahnya dan menyebarnya agen penyakit serta mencegah penderita baru (Siregar, 2000). Pada prinsipnya vaksinasi sapi betina muda dengan vaksin inaktif (strain 19) perlu dilakukan pada wilayah dengan prevalensi Brucellosis tinggi, dengan tujuan sementara untuk menurunkan jumlah keguguran (Siregar, 2000).

DIAGNOSA SEROLOGIS Brucella abortus
Pemeriksaan bakteriologis terhadap Brucellosis pada dasarnya dapat dilakukan (Siregar, 2000) . Hanya saja pemeriksaan tersebut sangat sulit dan relatif memakan waktu banyak (Siregar, 2000). Dengan demikian alternatif pemeriksaan secara serologis lebih mudah dilakukan, dengan memperhatikan ketelitian pengamatan dan interpretasi (Siregar, 2000).

Uji serologis yang dapat dilakukan adalah menggunakan Rose Bengal Presipitation Test (RBT), Semen Agglutination Test (SAT), Complement Fixation Test (CFT) dan Enzyme-linked Immunosorbent assay (ELISA) (Siregar, 2000). Kendala dalam uji serologis ini adalah munculnya reaksi positif palsu, reaksi silang dengan antibodi yang ditimbulkan oleh bakteri lain seperti Yersinia enterocolitica, E. coli, Vibrio cholerae (Siregar, 2000).

Penilaian uji serologis Brucellosis akan sulit dilakukan tanpa ada pengetahuan mengenai respon antibodinya (Anonimus 2, 2000). Antibodi adalah serum protein yang dihasilkan oleh sel limfosit sebagai respons terhadap infeksi atau vaksinasi (Anonimus 2, 2000). Pada hewan ruminansia, serum protein yang disebut immunoglobulin diklasifikasikan menjadi IgG1, IgG2, IgM dam IgA (Anonimus 2, 2000). Fungsi immunoglobulin adalah menginaktifkan dan meneleminasi antigen dengan jalan mengikatnya, sehingga mengakibatkan aglutinasi, antigen lebih peka terhadap fagositosis dan merupakan awal reaksi dari ikatan komplemen, sehingga menyebabkan sel menghancurkan diri (lysis) (Anonimus 2, 2000).

Ditjen Bina Produksi Peternakan menetapkan bahwa , semua CFT sebagai uji serologis akhir untuk menetapkan ternak menderita Brucellosis dan hanya hasil negatif yang diperbolehkan dilalulintaskan (Siregar, 2000). Dalam melaksanakan uji tapis secara serologic MRT, RBT dan CFT dapat dilaksanakan (Siregar, 2000).

Dalam menjalankan usaha pengendalian Brucellosis dilapangan dianjurkan beberapa pola sebagi berikut, yaitu :
  1. Uji tapis yang dilaksanakn pada sapi-sapi yang diketahui gejala klinisnya,
  2. Uji tapis yang dilaksanakn terutama pada sapi-sapi perah yang bernaung dibawah koperasi (Siregar, 2000).

Pola satu ini diarahkan pada pengamatan gejala klinis :
1. Untuk sapi betina yang diduga menderita Brucellosis karena :
  • Sapi dara bunting pertama mengalami keguguran pada usia kebuntingan 5-7 bulan.
  • Sapi betina dewasa produktif mengalami keguguran pada usia 5-7 bulan.
  • Sapi betina dewasa pernah diketahui mengalami keguguran pada usia kebuntingan 5-7 bulan dan setelah dilakukan 3-4 kali inseminasi buatan belum bunting lagi.
2.
  • Sapi jantan dewasa terutama yang dipilih sebagi donor semen atau yang dipakai sebagai pejantan kawin alam.
  • Sapi jantan lainnya pada kelompok ternak tertentu yang menderita orkiditis dan atau epididimitis.

Uji MRT dengan menggunakan susu kelompok atau individu , secara teoritis dapat juga dilakukan pada sapi potong, namun hal tersebut sulit dilakukan karena susu induk pada umumnya untuk membesarkan anaknya (Siregar, 2000). Tetapi pada sapi perah lebih mudah karena berada di kandang dan biasa diperah (Siregar, 2000).


  • MRT dengan hasil uji negatif kemungkinan keguguran disebabkan oleh penyakit lain, kemudian uji ulang serologis harus dilakukan tiga bulan kemudian. Bila MRT positif dapat dilanjutkan dengan uji RBT.
  • RBT negatif dapat pula disebabkan karena penyakit lain, pemeriksaan ulang setelah tiga bulan tetap harus dilaksanakan.
  • Bila RBT positif , maka dilanjutkan dengan uji CFT.
  • Bila CFT ternyata negatif, sapi tersebut dianggap bebas penyakit.
  • Bila CFT positif, maka sapi tersebut dikeluarkan dari kandang/ kelompok sapi untuk dipotong. Kandang didisinfeksi sehingga mengurangi kemungkinan penularan pada sapi lainnya.
(source ; indonews.org)
 
Uji tapis pola 2 mungkin lebih sesuai untuk dilaksanakan pada sapi-sapi perah yang bernaung pada koperasi. Biasanya koperasi membagi dalam kelompok dan sub kelompok peternak. Pengelompokan bisa berdasar kedekatan beberapa kandang peternak atau menurut lokasi. Dimana produksi susu perhati tersebut digabung pengirimannya.

  1. Milk Rink Test (MRT) dilakukan pada susu gabungan

    • Hasil negatif dilanjutkan dengan pengambilan sample dari sub kelompok peternak sampai susu individu sapi dikandang. Hal tersebut dilakukan agar mendapatkan hasil yang akurat. Bila sampai pemeriksaan individu sapi MRT masih menghasilkan uji negatif, maka kelompok sapi-sapi pada kelompok peternak dianggap bebas dari Brucellosis. Untuk kelompok ini test dulangi setelah tiga bulan.
    • Bila MRT positif, maka pemeriksaan dilakukan sampai ke sub kelompok peternak, susu sapi sekandang dan individu sapi.

  1. Semua sapi-sapi yang memberikan hasil positif dilanjutkan pemeriksannya dengan CFT. Sapi dengan hasil uji        CFT negatf dianggap bebas Brucellosis, dan dipisahkan dari sapi yang positif, yang harus dikeluarkan dari kandang
  2. Sapi-sapi yang positif dilanjutkan pemeriksannya dengan CFT. Sapi dengan hasil uji CFT negatif dianggap bebas Brucellosis, dan dipisahkan dari sapi yang positif, yang harus dikeluarkan dari kandang.


Pola 2 ini memerlukan biaya yang lebih tinggi dan waktu yang lama serta membutuhkan tenaga yang terampil dilapangan, tetapi dapat menghasilkan data prevalensi sesungguhnya, sehingga tindakan yang akan diambil lebih tepat (Siregar, 2000).

INTERPRETASI UJI TAPIS SEROLOGIS
Milk Ring Test (MRT) dapat dgunakan untuk uji tapis Brucellosis pada kelompok ternak maupun individu sapi (Siregar, 2000). Bila populasi sapi laktasi melebihi 1000 ekor, maka sensitivitas (Kemampuan suatu uji dalam mendeteksi hewan sakit secara tepat (Siregar, 2000). Rendahnya angka sensitivitas akan menghasilkan negatif palsu) uji MRT menjadi kurang peka (Siregar, 2000). Susu yang dipakai untuk keperluan uji, harus segar tidak boleh dibekukan atau homogenisasi, tetapi dapat disimpan pada suhu 40C selam 24 jam. Positif palsu dapat terjadi pada sapi yang baru divaksinasi, atau susu berasal dari kolostrum atau menderita mastitis.

Rose Bengal Test (RBT) dianggap sangat sensitive terutama pada sapi yang telah divaksinasi. Oleh karena itu hasil uji positif harus dilanjutkandengan pemeriksaan uji Complement Fixation Test (CFT), yang dianggap paling sensitive terhadap Brucellosis (Siregar, 2000).

Tujuan untuk melakukan suatu uji adalah agar mengetahui apakah seekor sapi menderita Brucellosis atau tidak, artinya kita ingin mengetahui data sapi yang sehat dan yang sakit sehingga dapat dipisahkan kelompok yang hasil ujinya serologis negatif (sehat) dengan kelompok hasil uji positif (sakit) dalam frekuensi-distribusi yang terpisah (Siregar, 2000). Namun dalam prakteknya, karena suatu uji serologis didasarkan pada penetapan empiris, maka disepakati harga ambang yang memisahkan positif dan negatif pada nilai titer tertentu, sehingga ada perbedaan pengamatan positif secara klinis dengan pegamatan titer positif secara serologis. Maka pengamatan klinis positif dan hasil serologis dapat menghasilkan sebagian positif dan sebagian lagi negatif (Siregar, 2000).

Penentuan cutting point (nilai ambang) perlu berhati hati karena apabila posiif palsunya lebih banyak maka ini akan merugikan peternak (Siregar, 2000). Apabila negatif palsunya lebih banyak maka akan menghambat usaha pemberantasan Brucellosis (Siregar, 2000).
Hal-hal lain yang perlu diperhatikan adalah informasi mengenai gejala klinis, menetapkan populasi sapi dengan gejala klinis dugaan terhadap Brucellosis dan dugaan tidak menderita Brucellosis (Siregar, 2000).

Negatif palsu dapat terjadi karena beberapa alas an (Anonimus 2, 2000):
1. Pada masa inkubasi.
2. Infeksi laten pada anak sapi, sapi dara dan sapi bunting.
3. Segera sebelum dan setelah keguguran atau kelahiran, biasanya reaksi tertunda 2-4 minggu.
4. Infeksi kronis.
5. kesalahan petugas dalam pemberian label sample atau sample tertukar sewaktu pemeriksaan dilaboratorium.

Positif palsu dapat terjadi karena beberapa alas an (Anonimus 2, 2000) :
  1. Adanya titer antibody yang persisten setelah vaksinasi dan ini sering terjadi dilapangan. Sebaiknya anak sapi yang divaksin S19 pada umur 3 dan 9 bulan sebaiknya tidak diambil sampelnya pada umur dibawah 20 bulan.
  2. Adanya reaksi silang (cross reaction) dengan bakteri lain seperti Yersinia enterocolitica serotipe IX dan beberapa species Salmonella dan Pasteurella.
  3. Beberapa hewan menghasilkan abnormal serum globulin yang dapat menimbulkan reaksi aglutinasi.
  4. Menggunakan alat suntik untuk vaksinasi S19 dengan vaksinasi lain atau untuk keperluan pengobatan. Alat suntik yang mengandung S19 sulit disterilkan pada kondisi lapangan.


PEMUPUKAN
Evaluasi uji serologis juga dapat dilakukan dengan pemupukan (kultur) terhadap serum hewan atau jaringan yang memperlihatkan hasil uji serologi positif (Anonimus 2, 2000). Pada BPPH wilayah maros terhadap jumlah spesimen uji serologi positif yang menunjukkan hasil pemupukan kultur positif (Anonimus 2, 2000).
Beberapa media yang dapat digunakan adalah (Madkour, 1989) :
a. Serum dextrose Agar (SDA).
b. Farrells Antibiotic Medium.
c. Glycerol Dextrose Agar.
d. Modified Brodie and Sintons liquid medium.
e. Castaneda biphasic medium culture bottles.
f. Modified vancomycin-colistimethate-nystatin (VCN) medium.
g. Dye sensitive test media
h. Dan lain-lain

PEMERIKSAAN MIKROSKOPIK
Swap dari vagina, plcenta, dan jaringan pada kejadian aborsi dapat di buat preparat ulas, kemudian di warnai dengan pewarnaan Stamp modifikasi Ziehl neelsen, Koster dan Macchiavello (Madkour, 1989). Brucella tidak akan terwarnai oleh asam lemah ataupun basa, dan muncul dengan warna merah atau oranye, sering dikelirukan dengan Chlamydia dan Coxiella burnettii (Madkour, 1989). FAT dapat dilakukan sebagai alternatif (Madkour, 1989)

PEMERIKSAAN IN VIVO
Brucella yang berasal dari susu dan material lain yang terkontaminasi dapat diinokulasikan intra muscular pada Hamster (Madkour, 1989). Hamster akan mati dalam 4-6 minggukemudian limpa, testis, epididimis dan limfoglandulanya di sub cultrure ke SDA (Madkour, 1989). Untuk Brucella canis yang diisolasi dari darah anjing dapat di inokulasikan pada telur berumur 6-8 hari (Madkour, 1989). Apabila embrionya telah mati, diambil hatinya kemudian di sub culturkan pada SDA (Madkour, 1989).

ANTIGEN BRUCELLA ROSE BENGAL
Antigen Brucella Rose Bengal adalah sediaan yang dibuat dari sel kuman Brucella abortus S19 yang diwarnai dengan pewarna Rose Bengal sehingga berwarna merah jambu (Anonimus 1, 2004). Uji Rose Bengal digunakan sebagai uji saring (screening test) dalam diagnosis serologis secara kuantitatif terhadap brucelosis (Anonimus 1, 2004). Apabila hasil pengujian menghasilkan reaksi positip maka dilanjutkan dengan uji ikatan komplemen (Complement Fixation Test CFT) untuk peneguhan diagnosis cara kualitatif (Anonimus 1, 2004).

Uji RBT memiliki sensitivitas yang tinggi sehingga berguna untuk mendiagnosa penyakit brucellosis pada daerah dengan tingkat prevalensi yang rendah tetapi presentasi vaksinasi cukup tinggi (Anonimus 1, 2004). Uji RBT dapat mendeteksi antibodi yang terbatas pada IgG terhadap B.abortus yang spesifitasnya sangat tergantung pada pH media yang digunakan (Anonimus 1, 2004).

KOMPOSISI
Antigen Rose Bengal dibuat dari biakan B.abortus S19 yang diperbanyak dalam media trypticase soy agar (Anonimus 1, 2004).
Suspensi kuman ditetapkan pada konsentrasi 8% dalam larutan penyangga asam (pH 3,57) (Anonimus 1, 2004). Keasaman pH untuk mencegah aglutinasi antibodi non spesifik (IgM) (Anonimus 1, 2004).
Suspensi kuman diwarnai dengan pewarna Rose Bengal sehingga berwarna merah jambu (Anonimus 1, 2004).
Disimpan pada suhu 40-80 C agar dapat bertahan lama (Anonimus 1, 2004).
Sebanyak 0,025 ml sampel serum dimasukkan ke dalam setiap lubang cawan mikro.
Tambahkan 0,025 ml antigen Rose Bengal (Anonimus 1, 2004).
Aduk larutan tersebut dengan cara menggoyangkan cawan mikro selama 4 menit.
Baca reaksi di atas lampu neon yang terang (Anonimus 1, 2004).

PEMBACAAN HASIL
Positip (+) apabila terjadi aglutinasi sempurna (Anonimus 1, 2004).
Meragukan (+) bila aglutinasi tidak sempurna (Anonimus 1, 2004).
Negatip (-) bila tidak terjadi aglutinasi sama sekali (Anonimus 1, 2004).

COMPLEMENT FIXATION TEST
Umumnya mendeteksi IgG1, juga sedikit IgM (Anonimus 2, 2000). Reaksi positif tidak dapat membedakan antara hewan yang divaksin dengan infeksi alam (Anonimus 2, 2000).

ELISA
Lebih sensitive dibandingkan dengan CFT (Anonimus 2, 2000). Secara umum uji ini mengatasi masalah prozone, karena IgG1 menghambat IgG2 (Anonimus 2, 2000). Menghindari reaksi anti komplimentari yang sering timbul pada CFT (Anonimus 2, 2000).

RESPON ANTIBODI TERHADAP Brucella abortus
Produksi antibody setelah infeksi dipengaruhi oleh status fisiologi hewan, umur dan lain-lain (Anonimus 2, 2000). Respon antibody yang diperoleh adalah (Anonimus 2, 2000) :
  1. Infeksi alam : IgM pertama kali diproduksi beberapa hari dan mencapai puncaknya kira-kira 2 minggu setelah infeksi. Pada saat itu juga IgG1 dan IgG2 mulai timbul dan mencapai puncaknya kira-kira 1 bulan.
  2. Vaksinasi S19 : Jumlah IgM yang diproduksi lebih besar daripada infeksi alam, sedangkan IgG lebih rendah dan umumnya adalah IgG1


Daftar Pustaka

* ada pada penulis

Anti Biotik

Antibiotik termasuk jenis obat yang cukup sering diresepkan dalam pengobatan modern. Antibiotik adalah zat yang membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Sebelum penemuan antibiotik yang pertama, penisilin, pada tahun 1928, jutaan orang di seluruh dunia tak terselamatkan jiwanya karena infeksi-infeksi yang saat ini mudah diobati. Ketika influenza mewabah pada tahun 1918, diperkirakan 30 juta orang meninggal, lebih banyak daripada yang terbunuh pada Perang Dunia I.

Pencarian antibiotik telah dimulai sejak penghujung abad ke 18 seiring dengan meningkatnya pemahaman teori kuman penyakit, suatu teori yang berhubungan dengan bakteri dan mikroba yang menyebabkan penyakit.

Saat itu para ilmuwan mulai mencari obat yang dapat membunuh bakteri penyebab sakit. Tujuan dari penelitian tersebut yaitu untuk menemukan apa yang disebut "peluru ajaib", yaitu obat yang dapat membidik/menghancurkan mikroba tanpa menimbulkan keracunan.


Penemuan Penisilin

Pada permulaan tahun 1920, ilmuwan Inggris Alexander Fleming melaporkan bahwa suatu produk dalam airmata manusia dapat melisiskan (menghancurkan) sel bakteri. Zat ini disebut lysozyme, yang merupakan contoh pertama antibakteri yang ditemukan pada manusia.

Seperti pyocyanase, lysozyme juga menemukan jalan buntu dalam usaha pencarian antibiotik yang efektif, karena sifatnya yang merusak sel-sel bakteri non-patogen.

Namun pada tahun 1928 Fleming secara kebetulan menemukan antibakteri lain. Sekembali liburan akhir pekan, Fleming memperhatikan satu set cawan petri lama yang ia tinggalkan. Ia menemukan bahwa koloni Staphylococcus aureus yang ia goreskan pada cawan petri tersebut telah lisis.

Lisis sel bakteri terjadi pada daerah yang berdekatan dengan cendawan pencemar yang tumbuh pada cawan petri. Ia menghipotesa bahwa suatu produk dari cendawan tersebut menyebabkan lisis sel stafilokokus. Produk tersebut kemudian dinamai penisilin karena cendawan pencemar tersebut dikenali sebagai Penicillium notatum.

Walaupun secara umum Fleming menerima pujian karena menemukan penisilin, namun pada kenyataannya secara tehnik Fleming "menemukan kembali" zat tersebut.

Semula Ernest Duchesne, seorang mahasiswa kedokteran Perancis, yang menemukan sifat-sifat penisilium pada tahun 1896, namun gagal dalam melaporkan hubungan antara cendawan dan zat yang memiliki sifat-sifat antibakteri, sehingga Penisilium dilupakan dalam komunitas ilmiah sampai penemuan kembali oleh Fleming.

Jenis Antibiotik
Meskipun ada lebih dari 100 macam antibiotik, namun umumnya mereka berasal dari beberapa jenis antibiotik saja, sehingga mudah untuk dikelompokkan. Ada banyak cara untuk menggolongkan antibiotik, salah satunya berdasarkan struktur kimianya. Berdasarkan struktur kimianya, antibiotik dikelompokkan sebagai berikut:

a. Golongan Aminoglikosida
Diantaranya amikasin, dibekasin, gentamisin, kanamisin, neomisin, netilmisin, paromomisin, sisomisin, streptomisin, tobramisin.

b. Golongan Beta-Laktam
Diantaranya golongan karbapenem (ertapenem, imipenem, meropenem), golongan sefalosporin (sefaleksin, sefazolin, sefuroksim, sefadroksil, seftazidim), golongan beta-laktam monosiklik, dan golongan penisilin (penisilin, amoksisilin).

c. Golongan Glikopeptida
Diantaranya vankomisin, teikoplanin, ramoplanin dan dekaplanin.

d. Golongan Poliketida
Diantaranya golongan makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritromisin, roksitromisin), golongan ketolida (telitromisin), golongan tetrasiklin (doksisiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin).

e. Golongan Polimiksin
Diantaranya polimiksin dan kolistin.

f. Golongan Kinolon (fluorokinolon)
Diantaranya asam nalidiksat, siprofloksasin, ofloksasin, norfloksasin, levofloksasin, dan trovafloksasin.

g. Golongan Streptogramin
Diantaranya pristinamycin, virginiamycin, mikamycin, dan kinupristin-dalfopristin.

h. Golongan Oksazolidinon
Diantaranya linezolid dan AZD2563.

i. Golongan Sulfonamida
Diantaranya kotrimoksazol dan trimetoprim.

j. Antibiotika lain yang penting, seperti kloramfenikol, klindamisin dan asam fusidat.

Berdasarkan mekanisme aksinya, yaitu mekanisme bagaimana antibiotik secara selektif meracuni sel bakteri, antibiotik dikelompokkan sebagai berikut:
  1. Mengganggu sintesa dinding sel, seperti penisilin, sefalosporin, imipenem, vankomisin, basitrasin.
  2. Mengganggu sintesa protein bakteri, seperti klindamisin, linkomisin, kloramfenikol, makrolida, tetrasiklin, gentamisin.
  3. Menghambat sintesa folat, seperti sulfonamida dan trimetoprim.
  4. Mengganggu sintesa DNA, seperti metronidasol, kinolon, novobiosin.
  5. Mengganggu sintesa RNA, seperti rifampisin.
  6. Mengganggu fungsi membran sel, seperti polimiksin B, gramisidin.

Antibiotik dapat pula digolongkan berdasarkan organisme yang dilawan dan jenis infeksi. Berdasarkan keefektifannya dalam melawan jenis bakteri, dapat dibedakan antibiotik yang membidik bakteri gram positif atau gram negatif saja, dan antibiotik yang berspektrum luas, yaitu yang dapat membidik bakteri gram positif dan negatif.

Sebagian besar antibiotik mempunyai dua nama, nama dagang yang diciptakan oleh pabrik obat, dan nama generik yang berdasarkan struktur kimia antibiotik atau golongan kimianya. Contoh nama dagang dari amoksilin, sefaleksin, siprofloksasin, kotrimoksazol, tetrasiklin dan doksisiklin, berturut-turut adalah Amoxan, Keflex, Cipro, Bactrim, Sumycin, dan Vibramycin.

Setiap antibiotik hanya efektif untuk jenis infeksi tertentu. Misalnya untuk pasien yang didiagnosa menderita radang paru-paru, maka dipilih antibiotik yang dapat membunuh bakteri penyebab radang paru-paru ini. Keefektifan masing-masing antibiotik bervariasi tergantung pada lokasi infeksi dan kemampuan antibiotik mencapai lokasi tersebut.

Antibiotik oral adalah cara yang paling mudah dan efektif, dibandingkan dengan antibiotik intravena (suntikan melalui pembuluh darah) yang biasanya diberikan untuk kasus yang lebih serius. Beberapa antibiotik juga dipakai secara topikal seperti dalam bentuk salep, krim, tetes mata, dan tetes telinga.

Penentuan jenis bakteri patogen ditentukan dengan pemeriksaan laboratorium. Tehnik khusus seperti pewarnaan gram cukup membantu mempersempit jenis bakteri penyebab infeksi. Spesies bakteri tertentu akan berwarna dengan pewarnaan gram, sementara bakteri lainnya tidak.

Tehnik kultur bakteri juga dapat dilakukan, dengan cara mengambil bakteri dari infeksi pasien dan kemudian dibiarkan tumbuh. Dari cara bakteri ini tumbuh dan penampakannya dapat membantu mengidentifikasi spesies bakteri. Dengan kultur bakteri, sensitivitas antibiotik juga dapat diuji.

Penting bagi pasien atau keluarganya untuk mempelajari pemakaian antibiotik yang benar, seperti aturan dan jangka waktu pemakaian. Aturan pakai mencakup dosis obat, jarak waktu antar pemakaian, kondisi lambung (berisi atau kosong) dan interaksi dengan makanan dan obat lain.

Pemakaian yang kurang tepat akan mempengaruhi penyerapannya, yang pada akhirnya akan mengurangi atau menghilangkan keefektifannya.

Bila pemakaian antibiotik dibarengi dengan obat lain, yang perlu diperhatikan adalah interaksi obat, baik dengan obat bebas maupun obat yang diresepkan dokter. Sebagai contoh, Biaxin (klaritromisin, antibiotik) seharusnya tidak dipakai bersama-sama dengan Theo-Dur (teofilin, obat asma).

Berikan informasi kepada dokter dan apoteker tentang semua obat-obatan yang sedang dipakai sewaktu menerima pengobatan dengan antibiotik.

Jangka waktu pemakaian antibiotik adalah satu periode yang ditetapkan dokter. Sekalipun sudah merasa sembuh sebelum antibiotik yang diberikan habis, pemakaian antibiotik seharusnya dituntaskan dalam satu periode pengobatan.

Bila pemakaian antibiotik terhenti di tengah jalan, maka mungkin tidak seluruh bakteri mati, sehingga menyebabkan bakteri menjadi resisten terhadap antibiotik tersebut. Hal ini dapat menimbulkan masalah serius bila bakteri yang resisten berkembang sehingga menyebabkan infeksi ulang.

Efek Samping
Disamping banyaknya manfaat yang dapat diperoleh dalam pengobatan infeksi, antibiotik juga memiliki efek samping pemakaian, walaupun pasien tidak selalu mengalami efek samping ini. Efek samping yang umum terjadi adalah sakit kepala ringan, diare ringan, dan mual.

Dokter perlu diberitahu bila terjadi efek samping seperti muntah, diare hebat dan kejang perut, reaksi alergi (seperti sesak nafas, gatal dan bilur merah pada kulit, pembengkakan pada bibir, muka atau lidah, hilang kesadaran), bercak putih pada lidah, dan gatal dan bilur merah pada vagina.

Resistensi Antibiotik
Salah satu perhatian terdepan dalam pengobatan modern adalah terjadinya resistensi antibiotik. Bakteri dapat mengembangkan resistensi terhadap antibiotik, misalnya bakteri yang awalnya sensitif terhadap antibiotik, kemudian menjadi resisten.

Resistensi ini menghasilkan perubahan bentuk pada gen bakteri yang disebabkan oleh dua proses genetik dalam bakteri:
  1. Mutasi dan seleksi (atau evolusi vertikal)
    Evolusi vertikal didorong oleh prinsip seleksi alam. Mutasi spontan pada kromosom bakteri memberikan resistensi terhadap satu populasi bakteri. Pada lingkungan tertentu antibiotika yang tidak termutasi (non-mutan) mati, sedangkan antibiotika yang termutasi (mutan) menjadi resisten yang kemudian tumbuh dan berkembang biak.
  2. Perubahan gen antar strain dan spesies (atau evolusi horisontal)
    Evolusi horisontal yaitu pengambil-alihan gen resistensi dari organisme lain. Contohnya, streptomises mempunyai gen resistensi terhadap streptomisin (antibiotik yang dihasilkannya sendiri), tetapi kemudian gen ini lepas dan masuk ke dalam E. coli atau Shigella sp.

Beberapa bakteri mengembangkan resistensi genetik melalui proses mutasi dan seleksi, kemudian memberikan gen ini kepada beberapa bakteri lain melalui salah satu proses untuk perubahan genetik yang ada pada bakteri.

Ketika bakteri yang menyebabkan infeksi menunjukkan resistensi terhadap antibiotik yang sebelumnya sensitif, maka perlu ditemukan antibiotik lain sebagai gantinya. Sekarang penisilin alami menjadi tidak efektif melawan bakteri stafilokokus dan harus diganti dengan antibiotik lain.

Tetrasiklin, yang pernah dijuluki sebagai "obat ajaib", kini menjadi kurang bermanfaat untuk berbagai infeksi, mengingat penggunaannya yang luas dan kurang terkontrol selama beberapa dasawarsa terakhir.

Keberadaan bakteri yang resisten antibiotik akan berbahaya bila antibiotik menjadi tidak efektif lagi dalam melawan infeksi-infeksi yang mengancam jiwa.

Hal ini dapat menimbulkan masalah untuk segera menemukan antibiotik baru untuk melawan penyakit-penyakit lama (karena strain resisten dari bakteri telah muncul), bersamaan dengan usaha menemukan antibiotik baru untuk melawan penyakit-penyakit baru.

Berkembangnya bakteri yang resisten antibiotik disebabkan oleh beberapa hal. Salah satunya adalah penggunaan antibiotik yang berlebihan. Ini mencakup seringnya antibiotik diresepkan untuk pasien demam biasa atau flu.

Meskipun antibiotik tidak efektif melawan virus, banyak pasien berharap mendapatkan resep mengandung antibiotik ketika mengunjungi dokter.

Setiap orang dapat membantu mengurangi perkembangan bakteri yang resisten antibiotik dengan cara tidak meminta antibiotik untuk demam biasa atau flu.

Penulis: Dr. Silvia Surini, Staf Pengajar Departemen Farmasi FMIPA-UI dan Anggota ISTECS chapter Jepang dengan judul asli "Antibiotik, Si Peluru Ajaib"

Sumber:
www.beritaiptek.com/zberita-beritaiptek-2006-01-10-Antibiotik,-Si-Peluru-Ajaib-(Bagian-Pertama).shtml - 30k –
www.beritaiptek.com/zberita-beritaiptek-2006-01-12-Antibiotik,-Si-Peluru-Ajaib-(Bagian-Kedua).shtml - 28k -

Newcastle Disease



Newcastle Disease pada Ayam (source : Archive.devra.gov.uk)
Newcastle Disease (ND) merupakan suatu penyakit pernapasan sistemik, yang bersifat akut dan mudah sekali menular, yang disebabkan oleh virus dan menyerang berbagai jenis unggas, terutama pada ayam. Newcastle disease menunjukkan adanya suatu variasi yang besar dalam bentuk dan derajat keparahan penyakit. Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1926 di Jawa, Indonesia dan  Newcastle, Inggris. Beberapa peneliti melaporkan bahwa ND mungkin telah ditemukan sebelumnya di Eropa, bahkan diduga penyakit ini telah meletup di Korea pada tahun 1924. Penyakit ini dikenal juga dengan berbagai nama, yaitu Pseudofowl pest, Pseudovogel pest, Atypishe gegeflugelpest, Pseudopoultry plaque, Avian pest, Avian distemper, Ranikhet disease, Tetelo disease, Korean fowl plaque, Avian pneumoencephalitis.


            Berdasarkan  atas gejala klinik yang timbul pada ayam, maka ND dapat dibagi atas 5 bentuk, yaitu Doyle, Beach, Beaudette, Hitchner, dan enterik asimptomatik. Bentuk Doyle ditandai oleh adanya infeksi yang bersifat akut dan fatal pada ayam semua umur. Bentuk ini tersifat oleh adanya gangguan pencernaan akibat pendarahan dan nekrosis pada saluran pencernaan sehingga dikenal dengan nama ND velogenik-viserotropik (VVND). Bentuk Beach ditandai oleh adanya infeksi yang bersifat akut dan sering kali bersifat fatal pada ayam semua umur. Bentuk ini tersifat oleh adanya gejala gangguan pernafasan dan saraf sehingga disebut ND velogenik-neurotropi (VNND). Bentuk  Beaudette merupakan suatu bentuk ND velogenik neurotropik  yang kurang patogenik dan biasanya kematian hanya ditemukan pada ayam muda. Virus ND penyebab infeksi pada bentuk ini tergolong tipe patologik mesogenik. Bentuk Hitchner ditandai oleh adanya infeksi pernafasan yang ringan atau tidak tampak, yang ditimbulkan oleh virus dengan tipe patologik lentogenik. Bentuk enterik  asimptomatik terutama merupakan infeksi pada usus, yang ditimbulkan oleh virus ND tipe lentogenik. Bentuk ini tidak menimbulkan suatu gejala penyakit tertentu.
            Penyakit ini dapat menimbulkan morbiditas dan mortilitas yang tinggi, penurunan produksi telur dalm kualitas maupun kuantitas, gangguan pertumbuhan, biaya penanggulangan penyakit yang tinggi, dan mendukung timbulnya penyakit pernafasan yang lain. (Tabbu ,2000)

Etiologi
            Penyakit ini disebabkan virus ND yang tergolong genus Avian Paramyxovirus yang merupakan virus RNA yang mempunyai genom single stranded, berbentuk sangat pleomorfik, biasanya berbentuk bulat dengan diameter 100-500 nm, tapi ada juga yang berbentuk filamen. Beberapa aktifitas biologis dari virus ND adalah adanya kemampuan untuk mengaglutinasi dan menghemolisis erithrosit, mempunyai aktifitas neuraminidase dan adanya kemampuan untuk bereplikasi di  dalam sel-sel tertentu. Berbagai isolat dapat dibedakan berdasarakan uji virulensinya menjadi galur velogenik, mesogenik, dan lentogenik. Patogenitas pada virus yang menyerang ayam terutama dipengaruhi oleh galur virus ND,  rute infeksi, umur ayam, dan kondisi lingkungan. Rute infeksi alami terjadi melalui hidung, mulut, dan mata biasanya akan menyebabkan gejala pernafasan yang merupakan manifestasi alami ND. Penularan juga dapat terjadi secara tidak langsung melalui bahan, alat, atau pekerja yang tercemar virus tersebut. (Tabbu, 2000) Penularan dapat terjadi karena kontak dengan ayam sakit. (Jahja, 2000)

Gejala klinis
            Pada infeksi alami, masa inkubasi ND berkisar antara 2-15 hari. Kecepatan timbulnya gejala bervariasi menurut galur virus, jenis unggas, status kekebalan, adanya infeksi campuran, faktor lingkungan, rute infeksi, dan dosis virus. Ayam yang terinfeksi oleh virus ND tipe velogenik viserotropik (VVND) biasanya dimulai dengan kelesuan, peningkatan frekuensi nafas, kehilangan nafsu makan, kelemahan, dan dapat berakhir dengan kematian. Bentuk ini dapat juga menunjukkan edema daerah facial, diare hijau, tortikolis,dan paralisis kaki serta saraf. Ayam yang terserang virus ND tipe velogenik neurotropik menunjukkan gejala gangguan pernafasan diikuti gangguan saraf, biasanya tidak ditemukan diare. Morbiditas 100% tapi mortalitas rendah. Tipe mesogenik mengakibatkan gangguan pernafasan, gejala syaraf, mortalitas rendah kecuali pada ayam muda. Tipe lentogenik biasanya tidak menyebabkan penyakit tertentu pada ayam dewasa tetapi pada ayam muda yang peka terlihat gangguan pernafasan yang berat. (Tabbu, 2000)

Perubahan pasca mati.
Perubahan tergantung tipe virusnya. Pada tipe velogenik galur asia, perubahan yang mencolok adalah adanya bintik merah pada proventrikulus dan sekal tonsil serta terjadinya nekrosis usus. Infeksi oleh tipe mesogenik hanya terdapat pada saluran pernafasan. (Akoso, 1993)

Perubahan patologis
 1. Perubahan makroskopis
                 Nekrosis dan hemorragi pada saluran pencernaan meliputi proventrikulus, ventrikulus dan berbagai bagian usus. Tidak dijumpai perubahan pada sistem syaraf, kadng-kadang juga pada saluran nafas. Jika ditemukan perubahan pada saluran nafas maka akan terlihat hemorrhagi dan congesti berat pada trakea.. Penebalan kantong udara disertai timbunan eksudat kataral sampai mengeju pada permukaannya. Organ reproduksi mengalami hemorragi dan perubahan warna menjadi lebih pucat.
            2. Perubahan mikroskopis
                 Hiperemi, edema, hemorrhagi, trombosis, dan nekrosis pembuluh darah. Hiperplasia sel-sel reticulohistiositik dan nekrosis multifokal pada hati. Nekrosis pada lympha. Degenerasi lymphocyt bursa fabricius. Nekrosis dan hemorragi pada usus. Kongesti dan infiltrasi sel radang pada trachea. Hemorragi dan edema pada bagian-bagian  paru. Perivascular cuffing sel limposit dan nekrosis dari neuron pada otak. (Tabbu,2000)




Diagnosa
Kecurigaan terhadap penyakit ND dapat diketahui dari adanya gejala klinis. Diperkuat dengan uji laboratorik dari paru, batang tenggorok, usus, sekal tonsil dan otak. (Akoso,1993)                .
Pemeriksaan serologik juga dipakai untuk melakukan diagnosis terhadap ND. Antibodi terhadap virus ND dapat diukur didalam serum menggunakan berbagai metode seperti uji HI, uji HA, ELISA, AGP, uji antibodi monoklomal dan teknik imunohistokimia. Diagnosis definitif terhadap ND dapat dilakukan dengan cara isolasi dan identifikasi virus pada berbagai kultur jaringan.
Penyakit yang mirip dengan ND adalah Infectious Bronchitis (IB), Infectious Laryngotracheitis (ILT),Chronic Respiratory Disease (CRD), Kolera Unggas, Avian Encephalomyelitis (AE) dan Encephalomalacia. (Tabbu, 2000)

Pencegahan dan pengobatan
Penyakit ini tidak dapat diobati. Oleh karena itu ayam yang sudah terserang sebaiknya cepat dimusnahkan karena dapat menulari ayam yang lain. Pengendalian terbaik adalah dengan vaksinasi seperti vaksin strain F, K dan LaSota. Pola pemberian vaksin adalah 4-4-4, maksudnya vaksin diberikan pada ayam berumur 4 hari, 4 minggu, 4 bulan dan seterusnya dilakukan 4 bulan sekali. (Sujionohadi, 2004) 

Sumber

Rabies / Anjing Gila

Rabies ditemukan di semua benua, kecuali Antartica. Di area tertentu di dunia, rabies anjing tetap merupakan endemik yang tinggi, diantaranya adalah (tetapi tidak terbatas pada) Brazil, Bolivia, Colombia, Ecuador, El Salvador, Guatemala, India, Mexico, Nepal, Peru, Philippines, Sri Lanka, Thailand, dan Vietnam. Penyakit ini juga ditemukan di anjing-anjing di hampir kebanyakan negara lain di Africa, Asia, dan America Tengah dan Selatan.
Oktober 2001, masih teringat betapa kewalahannya pemerintah daerah Bandung memberantas penyakit rabies. Ketika itu, personil dirasa kurang untuk melakukan eksekusi dan eliminasi anjing liar yang diperkirakan mencapai sepuluh ribu ekor. Padahal, tingkat kerawanan penyakit rabies di Kabupaten Bandung masih tinggi, tersebar di sekitar 25 kecamatan yang lokasinya terpencil. Personil yang ada saat itu hanyalah 25 orang. Padahal idealnya, 46 personil harus siap di tiap kecamatan. Kesulitan itu semakin bertambah, ketika kantor cabang dinas peternakan di tingkat kecamatan yang saat itu tidak masuk dalam susunan organisasi tata kerja (SOTK) Kabupaten Bandung, tidak berfungsi.
Di Jawa Barat sendiri, rabies pada hewan pertama kali ditemukan pada 1894 dan sampai sekarang masih belum dapat diberantas secara tuntas. Akibatnya, Jawa Barat adalah satu-satunya provinsi di Pulau Jawa yang belum bebas dari penyakit rabies.
Terakhir, wabah rabies terjadi di Ambon, pada 2003. Saat itu diperkirakan ada 500 kasus rabies yang diakibatkan gigitan hewan terhadap manusia, sepuluh korban (manusia) diantaranya meninggal dunia.
Rabies (penyakit anjing gila) yang biasanya dibawa oleh anjing, kucing, kelelewar, kera, musang dan serigala, bisa mempengaruhi sistem saraf pusat. Hewan-hewan itu termasuk berdarah panas, termasuk juga manusia (pria), sehingga mudah sekali terkena penyakit ini. Tapi, penyebaran penyakit antar manusia jarang sekali terjadi.


BAB II
PEMBAHASAN

 ETIOLOGI
Penyakit Rabies adalah penyakit zoonosis terpenting di Indonesia. Biasanya ditandai dengan sebuah encephalomyelitis maut yang akut disebabkan oleh virus neurotropik dari famili Rhabdoviridae, genus Lyssavirus, merupakan virus RNA negative berselubung dengan nukleokapsid heliks dan bentuk keseluruhan seperti peluru.dan hampir selalu disebarkan oleh gigitan binatang yang innoculate virus hingga luka dan dapat menyerang semua hewan berdarah panas dan manusia. Infeksi virus dapat ditemukan pada semua golongan umur dan kedua jenis kelamin. Masa inkubasi bervariasi dan lama kesakitan (duration of illness) relatif pendek. Sangat jarang rabies disebarkan oleh karena bukan gigitan yang memasukkan virus kedalam luka yang terbuka atau selaput lendir.                                                                                                       
Penyakit berkembang dari fase prodromal yang tidak spesifik sampai paresis atau paralysis; kejang otot telan dapat terdorong oleh penglihatan, suara, atau melihat air (hydrophobia); kegilaan dan ledakan tawa dapat terjadi, diikuti dengan koma dan kematian. Semua mamalia diyakini rentan, tetapi gudangnya terdiri dari karnivora dan kelelawar. Sekalipun anjing merupakan gudang utama di negara-negara berkembang, epidemiologi penyakit ini cukup berbeda dari satu daerah atau negara dengan yang lain sehingga evaluasi medis harus memperhitungkan semua gigitan mamalia.
( Panton, 2004).

PATOGENESITAS
            Setelah virus rabies masuk melalui luka gigitan, maka selama 2 minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk dan dekatnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf posterios tanpa menunjukkan perubahan-perubahan fungsinya. Masa inkubasi bervariasi, beriksar antara 2 minggu sampai 2 tahun, tetapi pada umumnya 3-8 minggu, tergantung dengan jarak yang harus ditempuh oleh virus sebelum mencapai otak.
Sesampainya di otak virus kemudian memperbanyak diri dan menyebar luas dalam semua bagian neuron-neuron, terutama mempunyai predileksi khusus terhadap sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan batang otak.
Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral, virus kemudian bergerak ke arah perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupaun saraf otonom. Dengan demikian virus ini menyerang hampir tiap organ dan jaringan di dalam tubuh, dan berkembang biak dalam jaringan-jaringan seperti kelenjar ludah, ginjal dan sebagainya.
Virus Rabies selain terdapat di susunan syaraf pusat, juga terdapat di air liur hewan penderita rabies. Oleh sebab itu penularan penyakit rabies pada manusia atau hewan lain melalui gigitan. Gejala-gejala rabies pada hewan timbul kurang lebih 2 minggu (10 hari - 8 minggu). Sedangkan pada manusia 2-3 minggu sampai 1 tahun. Masa tunas ini dapat lebih cepat atau lebih lama tergantung pada
  • Dalam dan parahnya luka bekas gigitan
  • Lokasi luka gigitan
  • Banyaknya syaraf disekitar luka gigitan.
  • Pathogenitas dan jumlah virus yang masuk melalui gigitan.
  • Jumlah luka gigitan.

GEJALA KLINIS
Tanda-tanda penyakit rabies pada hewan
Gejala atau tanda-tanda yang terlihat pada kucing, seperti :
-          Menyembunyikan diri.
-          Banyak mengeong.
-          Mencakar-cakar lantai.
-          Menjadi agresif.
-          2 - 4 hari setelah gejala pertama biasa terjadi kelumpuhan, terutama di bagian belakang.



Secara garis besar gejala penyakit dikenal dalam 3 bentuk :
  1. Bentuk ganas (Furious rabies)
Masa eksitasi panjang, kebanyakan akan mati dalam 2-5 hari setelah tanda-tanda terlihat.
Tanda-tanda yang sering terlihat :
-          Hewan menjadi penakut atau menjadi galak.
-          Senang bersembunyi di tempat-tempat yang dingin, gelap dan menyendiri tetapi dapat menjadi agresif .
-          Tidak menurut perintah majikannya.
-          Nafsu makan hilang.
-          Air liur meleleh tak terkendali.
-          Hewan akan menyerang benda yang ada disekitarnya dan memakan barang, benda-benda asing seperti batu, kayu dsb.
-          Menyerang dan menggigit barang bergerak apa saja yang dijumpai.
-          Kejang-kejang disusul dengan kelumpuhan.
-          Ekor diantara 2 (dua) paha.
  1. Bentuk diam (Dumb Rabies)
Masa eksitasi pendek, paralisa cepat terjadi.
Tanda- tanda yang sering terlihat :
-          Bersembunyi di temapat yang gelap dan sejuk
-          Kejang-kejang berlangsung sangat singkat, bahakan sering tidak terlihat.
-          Lumpuh, tidak dapat menelan, mulut terbuka.
-          Air liur keluar terus menerus (berlebihan).
-          Mati.
  1. Bentuk Asymtomatis
-          Hewan tidak menunjukkan gejala sakit.
-          Hewan tiba-tiba mati




Tanda-tanda penyakit rabies pada manusia
            Pada manusia yang penting diperhatikan adalah riwayat gigitan dari hewan seperti anjing, kucing dan kera.
Secara klinis, gejala rabies dibedakan menjadi:
  1. Stadium Prodromal. Gejala awal berupa demam, sakit kepala, malaise, sakit tulang, kehilangan nafsu makan, mual, rasa nyeri di tenggorokan, batuk dan kelelahan luar biasa selama beberapa hari (1-4 hari). Gejala-gejala ini merupakan gejala yang spesifik dari orang yang terinfeksi virus rabies yang muncul 1-2 bulan setelah gigitan hewan pembawa virus rabies.
  2. Stadium Sensoris. Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka gigitan. Kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi yang berlebihan terhadap rangsang sensorik.
  3. Stadium Eksitasi. Tonus otot-otot dan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala hiperhidrosis, hipersalivasi, hiperlakrimasi dan pupil dilatasi. Bersamaan dengan stadium eksitasi ini penyakit mencapai puncaknya yang sangat khas pada stadium ini ialah adanya macam-macam fobia, yang sangat sering diantaranya hidrofobi (takut air). Kontraksi otot-otot faring dan otot-otot pernapasan dapat pula ditimbulkan oleh rangsang sensorik seperti meniupkan udara ke muka penderita atau menjatuhkan sinar ke mata atau dengan menepuk tangan di dekat telinga penderita. Pada stadium ini dapat terjadi apnoe, sianosis, konvulsan dan takikardi. Tindak-tanduk penderita tidak rasional kadang-kadang maniakal disertai dengan saat-saat responsif. Gejala eksitasi ini dapat terus berlangsung sampai penderita meninggal, tetapi pada saat dekat kematian justru lebih sering terjadi otot-otot melemas, hingga terjadi paresis flaksid otot-otot.
  4. Stadium paralisis. Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi. Kadang-kadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paresis otot-otot yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum tulang belakang yang memperlihatkan gejala paresis otot-otot yang bersifat asendens, yang selanjutnya meninggal karena kelumpuhan otot-otot pernapasan. Tanpa perawatan serius, kematian dapat terjadi 4-20 hari setelah gejala-gejala muncul. Inkubasi dari infeksi rabies ini umumnya terjadi dalam waktu 1-2 bulan setelah kejadian, walau rentang waktunya 10 hari sampai satu tahun.

        Biasanya penderita akan meninggal 4-6 hari setelah gejala klinis atau tanda-tanda penyakit pertama timbul.
       
DIAGNOSA
  • Berdasarkan gejala klinis
  • Berdasarkan uji laboratorik, seperti :
1.      Pemeriksan mikroskopis, dilakukan menurut pewarnaan Seller pada hypocampus untuk menemukan negri body. Pemeriksaan ini membutuhkan waktu 5 – 10 menit dengan spesifitas hamper 100% tapi sensitivitasnya rendah sampai dengan 30%.
2.      FAT (Flourescent Antibody Test)

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
§  Langaah yang perlu dikerjakan apabila digigit hewan yang menderita rabies
        Apabila seseorang digigit hewan yang tersangka rabies, maka tindakan yang harus      diambil adalah :
-          Mencuci luka gigitan dengan sabun ata dengan deterjen selama 5-10 menit dibawah air mengalir/diguyur. Kemudian luka diberi alkohol 70% atau Yodium tincture. Setelah itu pergi secepatnya ke Puskesmas atau Dokter yang terdekat untuk mendapatkan pengobatan sementara sambil menunggu hasil dari rumah observasi hewan.
-          Laporkan kepada petugas Dinas Peternakan setempat tentang kasus penggigitan tersebut.
       




§  Tindakan yang perlu dilakukan agar hewan kesayangan kita (anjing, kucing, kera) tidak terkena rabies
-          Memelihara hewan piaraan dengan baik.
-          Membawa hewan ke Suku Dinas Peternakan dan Perikanan setempat atau dokter hewan praktek, untuk mendapatkan vaksinasi anti rabies secara teratur 1-2 kali setahun tergantung jenis vaksin yang digunakan.
-          Setelah hewan tersebut divaksin, mintalah surat keterangan vaksinasi.
-          Melaporkan kepemilikannya kepada Suku Dinas Peternakan dan Perikanan/ Petugas Peternakan Kecamatan.
-          Anjing, kucing, kera peliharaan sebaiknya jangan dilepas keluar pekarangan.
-          Bilamana akan membawa hewan piaraan keluar pekarangan rumah, harus diikat dengan rantai sepanjang-panjangnya 2 m serta dipasang berangus.
       
§  Peraturan perundang-undangan tentang rabies         
-          Sejak tahun 1926 pemerintah telah mengeluarkan peraturan tentang rabies pada anjing, kucing, dan kera. Yaitu Hondsdol heid Ordonantie Staatblad No. 452 tahun 1926 dan pelaksanaannya termuat dalam Staatblad No. 452 tahun 1926.
Berhasil tidaknya usaha pengendalian penyakit rabies sangat erat hubungannya dengan kesadaran, pengetahuan dan partisipasi masyarakat disekitarnya.

PENGOBATAN
§  Terhadap luka resiko rendah diberi VAR saja. Yang termasuk luka tidak berbahaya adalah jilatan pada kulit luka, garukan atau lecet (erosi atau ekskoriasi),luka kecil disekitar tangan,badan dan kaki.

§  Terhadap luka resiko tinggi, selain VAR juga diberi SAR. Yang termasuk luka berbahaya adalah jilatan atau luka pada mukosa, luka di atas daerah bahu (muka, kepala, leher), luka pada jari tangan atau kaki, genetalia, luka yang lebar atau dalam dan luka yang banyak (multipel).

§  Untuk kontak (dengan air liur atau saliva hewan tersangka atau hewan rabies atau penderita rabies) tapi tidak ada luka, kontak tak langsung, tidak ada kontak, tidak perlu diberikan pengobatan. Kontak dengan air liur pada kulit luka yang tidak berbahaya, diberikan VAR. Sementara untuk kulit dengan luka berbahaya diberikan VAR dan SAR.
Sementara itu, perawatan rabies pada manusia bisa dilakukan, antara lain:
a.       Penderita dirujuk ke Rumah Sakit
b.      Sebelum dirujuk, penderita di infus dengan cairan Ringer Laktat (NACl 0,9%)    atau cairan infus lainnya, jika perlu diberikan anti konvulsan dan sebaiknya penderita difiksasi selama perjalanan. Waspada terhadap tindak-tanduk penderita yang tidak rasional,
c.       Dirumah sakit, penderita harus dirawat diruang isolasi
d.      Tindakan medik dan pemberian obat-obat simptomatis dan supportif termasuk antibiotic bila diperlukan
e.       Untuk menghindari adanya kemungkinan penularan dari penderita, sewaktu menangani kasus rabies pada manusia, dokter, paramedis, anggota keluarga memakai sarung tangan, kaca mata dan masker, serta sebaiknya dilakukan fiksasi penderita pada tempat tidur.
§  Jadi, virus rabies dapat ditangkal dengan melakukan vaksinasi seperti vaksin Rab Avert. Pada manusia, vaksin ini rutin diberikan kepada orang-orang yang pekerjaannya beresiko tinggi seperti dokter hewan, pawang binatang, peneliti khusus hewan dan lainnya. Orang yang akan bepergian ke daerah-daerah yang dianggap beresiko tinggi dianjurkan untuk mendapat vaksin ini sebelum bepergian. Untuk orang yang tiba-tiba digigit atau dicakar hewan pembawa virus rabies ini akan mendapat serangkaian vaksinasi Human Deploid Cell dan Human Rabies Immune Globulin. Karena anjing, kucing dan musang dan terinfeksi virus rabies, hal terpenting adalah mencegah kuman rabies masuk ke dalam tubuh dengan memberikan vaksinasi kepada hewan-hewan peliharaan yang tinggal bersama kita. Kita juga harus melaporkan hewan-hewan liar yang berkeliaran di sekitar lingkungan rumah kepada pihak yang berwenang. Untuk itu, jangan sembarangan membiarkan anak anda untuk menyentuh, membelai-belai atau memberi makan hewan yang ditemuinya di jalan.

Sumber :
*ada pada penulis