Mengenal Kortikosteroid

Ada dua macam kortikosteroid hasil sintesa kolesterol oleh korteks adrenal  : glukokortikoid dan mineralokorktikoid.

MINERALOKORTIKOID lebih memegang peran penting dalam menjaga homeostasis elektrolit, sedangkan GLUKOKORTIKOID berperan dalam metabolisme lemak, karbohidrat dan protein ; respon immunitas ; dan juga respon terhadap stres. Namun demikian GLUKOKORTIKOID juga memiliki beberapa aktivitas yang hampir mirip dengan MINERALOKORTIKOID sehingga juga mempengaruhi pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Kortikosteroid adalah obat anti radang yang paling banyak digunakan. Walaupun efek psikologis dan farmakologis dari obat ini luas, namun potensial kesalahannya sedikit. Ketika kortikosteroid memiliki efek yang sangat bagus dalam mencegah terjadinya radang, di sisi yang lain, secara alami obat ini juga berakibat depresi terhadap sistem immun di dalam tubuh dan konsekuensi terkait yang lainnya.

Struktur rantai kimia corticosteroid tersusun atas 21 mata rantai karbon yang mirip dengan struktur kortisol. Perubahan/modifikasi pada rantai kimia ini akan mengakibatkan perubahan efek anti inflamasi dan efek metabolik, dan variasi dari waktu paro aktifitas obat, serta perubahan pada kekuatan affinitas terhadap perlekatan senyawa yang di hasilkan. Kenyataan ini memberikan kemungkinan untuk mengembangkan obat-obatan kortikosteroid menjadi obat-obatan yang memiliki efek glukokortikoid yang tinggi, namun demikian, perubahan yang terjadi berakibat pada penurunan efek mineralokortikoid dari obat tersebut. Obat golongan kortikosteroid di bedakan berdasarkan potensi aktifitas glukokortikoid dan mineralokortikoidnya, ditambah lagi dengan waktu paruh dari efek biologis yang dihasilkan obat tersebut. Pada umumnya obat dengan aktifitas GLUKOKORTIKOID yang meningkat akan memiliki aktifitas supressor yang poten pula, dan berakibat mengganggu sistem axis hipotalamus-pituitary-adrenal (HPAA = hypotalamus pituitary adrenal axis).

MOA (Mode Of Action)
Dalam bekerja, glukokortikoid terlebih dulu akan berikatan dengan protein reseptor yang ada di dalam  sitoplasma, yang mana ikatan tersebut di perkuat dengan ligan steroid. Komplek ikatan ini akan melekat pada sequence DNA tertentu yang berakibat pada ekspresi tertentu yang meningkat dari kode DNA terkait.  Komplek ikatan ini bisa jadi akan menginduksi mRNA untuk mensintesa protein baru. Beberapa protein, termasuk lipocortin, suatu protein yang menghambat PLA2a , yang kemudian berakibat pada hambatan terhaxap sintesa prostaglandin, leukotrien, dan PAF. Glukokortikoid juga akan menghambat produksi beberapa mediator lainnya, seperti COX, Cytokin, Interleukin, molekul perlekatan dan enzim enzim seperti collagenase.

EFEK FISIOLOGIS DAN FARMAKOLOGIS
Pada daerah perifer dan pada organ liver, Glukokortikoid memiliki peranan yang penting dalam metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Pada daerah perifer, Glukokortikoid akan menstimulasi lipolisis dan proteolisis yang mebebaskan glycerol dan asam amino yang berperan sebagai substrat dalam proses glukoneogenesis. Sehingga, pemakaian Glukokortikoid dalam waktu yang lama akan berakibat pada kelemahan dan redistribusi lemak pada tubuh hewan yang di kenal sebagai hiperadrenocortisismus. Pada hepar, glukokortikoid akan menstimulasi proses glukoneogenesis dan meningkatkan pembentukan dan penyimpanan glicogen pada hepar. Dipercayai bahwa proses glukoneogenesis di stimulasi melalui transkripsi oleh enzym, seperti glucose-6 phosphatase dan phospoenolpyruvate carboxykinase. Glukokortikoid mengakibatkan terjadinya penurunan uptake glikosa oleh jaringan, bahkan termasuk jaringan adiposum sehingga akan terjadi peningkatan kadar glukosa dalam darah yang akan di respon oleh tubuh dengan kompensasi produksi insulin. Namun demikian, akan menginhibisi efek dari insulin yang mensupresi glukoneogenesis,  sehingga kadar glukosa pada daerah perifer akan tetap bertahan dalam keadaan tinggi yang berkopntribusi pada keadaan hyperglichemia.

Walaupun glukokortikoid tidak memiliki efek yang se-poten mineralokortikoid aldosteron, namun demikian efek dari aktivitasnya di organ ginjal akan mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit. Glukokortikoid akan menginhibisi sekresi hormon ADH dan menurunkan sensitivitas organ ginjal terhadap hormon ADH sehingga akan terjadi  polyuria/polidipsia. Glukokortikoid,pada ginjal,  akan meningkatkan ekskresi potasium dan menurunkan retensi sodium. Glukokortikoid akan meningkatkan ekskresi potassium dan retensi sodium  oleh ginjal. Glukokortikoid akan meningkatkan ekskresi kalsium pada ginjal dan menurunkan absorpsi kalsium oleh usus, sehingga akan terjadi pengurangan cadangan kalsium. Gluokortikoid juga akan menghambat aktifitas osteoblast,  meningkatkan sekresi hormon parathyroid, yang akan berpengaruh pada proses penyembuhan pada tulang yang memerlukan proses perbaikan.

Beberapa mekanisme yang dimiliki oleh glukokortikoid bertanggung jawab pada aktifitas antiradang dan aktifitas immunosuppresif . Pada keadaan tubuh homestasis, glukortikoid akan membantu menjaga permeabilitas normal pembuluh darah dan sirkulasi mikro, dan juga membantu menstabilkan membran sel dan lisosom. Pada keadaan radang jaringan yang akut, glukokortikoid akan menurunkan permeabilitas vasa dan menghambat migrasi PMN limposit (Polymorphonuclear) menuju jaringan yang mengalami radang. Glukokortikoid akan menekan respon immun yang di perantarai oleh cell ( CMI = cell mediated immunity ), dengan menginduksi apoptosis limphosit dan menginhibisi expansi klonal dari sel limphosit B dan T, serta dengan mengurangi jumlah basophil, eosinophil dan monosit pada sirkulasi . Kebalikan dari itu, Glukokortikoid akan menginbihisi marginasi neutropil, dan meningkatkan pelepasan neitropil dewasa dari sunsum tulang. Jaringan yang meradang, fagositosis dan produksi radikal bebas oksigen yang bersifat racun akan di inhibisi oleh macrofag dan monosit. Pada stadium radang yang lebih lanjut, glukokortikoid akan menghambat aktifitas fibroblas, mengurangi fibrosis, dan pembentukan jaringan baru. Sehingga, kalau kita lihat dari sisi ini, akan menurunkan tingkat kecepatan penyembuhan luka (radang).

Glukokortikoid akan merangsang sintesa dan pelepasan beberapa mediator radang seperti prostaglandin, leukotrien, histamin, cytokin, komplemen, dan PAF, serta mencegah produksi NO synthase dan juga produksi enzym-enzym chondrodestructive seperti collagenase

Efek glukokortikoid juga berimbas pada sistem hormon yang lain. Pada saat ini, glukokortikoid anti radang yang di gunakan akan bekerja dengan menginhibisi HPAA yang bisa memiliki efek samping yang fatal

ADMINISTRASI DAN FARMAKOKINETIK
Formulasi obat steroid pada saat ini tersedia untuk pemberian secara oral, parenteral, maupun topical. Banyak diantaranya, termasuk prednison, prednisolon dan methyl prednisolone, maupun dexamethasone akan terabsorpsi dengan baik ketika di berikan secara per-oral dan kadanag menjadi alternatif terbaik ketika diperlukan penggunaan obat anti radang untuk kurun waktu satu sampai dengan beberapa minggu. Beberapa sediaan lain juga ada untuk penggunaan secara parenteral. Misalkan sodium phosphat atau garam suksinat yang sangat larut dalam air dan memiliki waktu onset yang sangat cepat ketika di berikan secara intravena, yang sering digunakan sebagai shock therapy. Sediaan bentuk inject, misal yang dalam bentuk ester, yaitu methilprednisolone acetat dan triamchinolone asetonit, memiliki tingkat solubilitas air yang sangat rendah. Pembebasan glukokortikoid dari preparat ini sangat lambat dan mungkin baru bisa menunjukkan efek anti radangnya dengan tetap berefek pada HPAA, dalam jangka waktu beberapa minggu. Preparat glukokortikoid tersedia dalam bentuk topikal atau intra lesi yang bisa sangat berguna untuk pengobatan terhadap radang yang terjadi pada daerah kulit, mata, atau kuping. Walaupun masih sangat kontroversial, namun sudah dilakukan, yaitu pengobatan menggunakan glukokortikoid pada daerah intra articular, baik pada manusia ataupun pada hewan, terutama kuda untuk mengatasi kesakitan pada sendi . Glukokortikoid di serap secara sistemik dari tempat pemberian dalam jumlah yang cukup untuk dapat menekan HPAA.

Setelah di absorpsi, cortisol (atau sintesisnya yang analog) akan berikatan secara reversible dengan plasma protein, terutama glukokortikoid akan berikatan dengan albumin dan globulin. Hanya bagian yang tidak berikatan yang bisa menunjukkan efek phisiologis dan farmakologis. Pada konsentrasi steroid yang sangat tinggi, kapasitas ikat protein akan terlampaui. Pada umumnya glukokortikoid di metabolisasi di hepar, dimana mereka akan direduksi dan di konjugasikan , membentuk suatu derivatif inaktif yang larut dalam air yang kemudian dibuang melalui ginjal.

EFEK SAMPING
Efek samping yang toksik biasanya terjadi karena pengobatan dalam jangka waktu yang sangat lama dan dalam dosis yang berlebih untuk mengobati radang atau gangguan immunology. Dalam hal ini, pemakaian dalam waktu yang lama akan berakibat pada iatrogenic  cushing sindrome, dengan gejala poliuria, polidipsia, alopesia simetris bilateral, peningkatan ketahan terhadap infeksi, myopaty perifer, atropi otot, dan juga redistribusi lemak tubuh. Efek glukoneogenic dan "insulin antagonistik" bisa jadi akan mempercepat onset diabetes  mellitus atau menambah parah penyakit diabetes mellitus yang sudah ada. Supresi dalam jangka waktu yang lama terhadap HPPA akan menyebabkan atropy gld adrenal dan iatrogenic hyperadrenocortisismus sekunder. Pada hewan yang telah diobati dengan glukokortikoid dalam jangka waktu yang lama, apabila di pengobatan di hentikan dengan tiba tiba, maka hewan akan menunjukkan gejala yang mirip dengan syndrome addison yang di tandai dengan lethargy, lemah, muntah dan dibarengi dengan diare. Pada beberapa kasus bisa berakibat pada shock dan kematian.

Glukokortikoid akan menginduksi terjadi akumulasi glikogen pada hepatosit yang berakibat pada hepato megali atau hepatopathy dan menstimulasi isoenzyme steroid spesific dari alkaline phosphatase. Pergantian sel usus yang terjadi secara lambat, ditambah dengan inhibisi hormon protektive prostaglandin, yang dilakukan oleh glukokortikoid, akan berakibat pada ulserasi saluran cerna. Terlebih lagi, glukokortikoid juga meningkatkan efek ulcerogenis dari NSAID. Glukokortikoid akan menurunkan sintesa kolagen dan berakibat pada keadaan kulit yang tebal dan pecah pecah. 

Mastitis/Radang Ambing

PEMERIKSAAN KONDISI AMBING
Sejak pemeriksaan fisik terhadap ambing di anggap sebagai suatu pemeriksaan yang paling logis dan alami untuk dilakukan, kemudian hal ini melahirkan sebuah metode praktikal untuk mengevaluasi keadaan ambing, yaitu dengan mengamati keadaan ambing dan palpasi ambing tersebut. Keakuratan diagnosa dari metode ini tentu saja sangat ditentukan oleh kemahiran dari orang yang bersangkutan, yang melakukan pemeriksaan terhadap ambing. Dari hal ini, kemudian banyak orang yang kemudian menjadi ahli dalam hal ini karena lama – kelamaan mereka menjadi terbiasa.

Banyak ahli bakteriologi yang memberikan data – data untuk keakuratan dari pemeriksaan klinis yang mungkin berbeda tentang keadaan ambing dalam hal nilai signifikansi dari pemeriksaan klinis dalam mendiagnosa penyakit mastitis.

Udall dan Johnson percaya kalau pemeriksaan secara fisik adalah suatu metode yang paling akurat jika dibandingkan dengan pemeriksaan yang lainnya. Beberapa oaring mungkin memberikan pengecualian terhadap pernyataan ini, sampai saat ini metode inilah yang paling pertama ada dan yang aplikatif untuk digunakan di lapangan. Pemeriksaan fisik juga membuktikan kemungkinan sebegai suatu dasar bagi penolakan sapi - sapi pada pada program kesehatan masyarakat, yang mana merupakan suatu tugas bagi dinas kesehatan untuk mencegah air susu yang abnormal untuk bisa masuk kedalam pasar. Ketika meetode ini digunakan dalam hubungannya dengan pemeriksaan seorang dokter hewan terhadap sapi – sapi perah untuk tujuan produksi air susu, maka keinginan dalam hal pengontrolan mastitis meningkat dan susu yang diproduksi akan meningkat secara kualitatif.

Dalam hal pengontrolan terhadap bentuk kronis dari mastitis, program ataupun sistem yang digunakan mungkin akan gagal untuk mengidentifikasi kasus pada hewan yang baru saja terinfeksi ataupun yang ada pada fase tengah –tengah, jika program ataupun system tersebut dilakukan tanpa menggunakan pemeriksaan secara cultural dari susu. Hal ini tidak memberikan informasi tentang infeksi yang mungkin terjadi yang bertanggung jawab terhadap perubahan jaringan ambing dan perubahan yang terjadi pada air susu. Beberapa pengobatan mungkin akan manjur apabila kelompok penyebabnya adalah golongan streptococci, namun hal ini akan menjadi sia – sia jika penyebabnya adalah golongan staphylococci atau golongan – golongan yang lain. Secara umum telah disetujui bahwa keberhasilan terapi terhadap mastitis tidak boleh dihentikan jika hanya secara laboratoris sudah dinyatakan sembuh, dalam kasus ini kebanyakan ambing telah rusak pada batas dari pengobatan. Dengan menggunakan pemeriksaan secara fisik akn memudahkan sotang dokter hewan dalam memilih ambing yang paling sesuai untuk pengobatan yang spesifik dan untuk mengidentifikasi sudah sampai sejauh mana infeksi berlangsung didalam tubuh sapi.

Suatu pemeriksaan secara klinis yang complex adalah suatu elemen yang penting pada setiap program pengontrolan mastitis dan tidak bias dihindarkan walaupun tidak memberikan informasi secara bakteriologis yang diperlukan.


B. MEMERIKSA AIR SUSU YANG DISEKRESIKAN

Ada dua kelompok uji yang biasa dilakukan dalam mendeteksi penyakit mastitis, yaitu ;


1) Indirect Test.
   Uji ini bergantung kepada adanya lesi yang dapat dipalpasi pada ambing atau perubahan komposisi dari air susu yang disekresikan.

2) Direct, atau Cultural Test
Uji ini untuk mendeterminasi kehadiran dan mengidentifikasi orgenisme mastitis didalam air susu.

INDIRECT TEST


i. Penampilan dari air susu
Pada kasus mastitis akut, sekresi berubah menjadi grossly altered pada stadium awal dari penyakit tersebut. Abnormalitas yang mungkin nampak berupa adanya jendalan didalam air susu, sekresi sedikit dan encer, ataupun warna yang kuning dari air susu tersebut. Kehadiran kolostrum dalam air susu setelah parturisi akan mengakibatkan penampilan yang abnormal dari air susu.Pada saat itu mungkin akan berwarna merah darah karena hemoragi yang disebabkan oleh luka mekanis atau mungkin juge perubahan fisiologi yang ebnormal dari kelenjar tersebut.

ii. Bromothymol Blue Test
Pertama kali dikenalkan oleh Baker dan Breed pada tahun 1920. Sampel yang memberikan warna kuning kehijau – hijauan berarti normal.Yang berwarna hijau mengkilat punya kemungkinan. Sedangkan yang berwarna biru kehijau – hijauan, biru atau kunig terang adalah sample yang positif terinfeksi mastitis.
iii. Bromocresol Purple Test
Sample akan memberikan warna biru keabu – abuan jika pH sample adalah normal dan akan memberikan warna biru yang kelam jika pH pada sample adalah alkalis.


iv. Whiteside Test
Sampel yang negativ adalah sample yang tidak ada presipitatnya. Jumlah presipitat yang terbentuk di diututkan deri yang tipis sampai yangh tebal yang berarti dari yang ringan sampai yang berat.

v. Chloride Test
Jikalau kandungan chloride dalam sample adalah.0,14 % berarti sample adalah normal.
vi. Catalase Test
Jika gas yang dihasilkan dalam tes ini lebih dari 15 ml, maka dinyatakan positif terhadap mastitis.
vii. Rennet Test
Sampel air susu yang tidak mengalami koagulasi setelah perlakuan diaggap sample yang positif.

viii. Trommsdorff Test
Setelah mengalami perlakuan, jika ada deposit sebesar 0,01 ml atau lebih dinyatakan sebagai sample yang positif terkena mastitis.
ix. Leucocyte Count
Menurut Hucker et al, sample yang mengandung 3 juta atau lebih leukosit per milliliter biasanya mengindikasikan infeksi streptococcus yang sedang berlanghsung atau sudah selesai.
x. Leucocyte Count and Cultural Test
Dari pengalaman menunjukkan bahwa sapi perah yang bebas dari Streptococcus agalactia yang produksi susunya memiliki kandungan leukosit sampai 1 juta per milliliter dikatakan negative dari pengaruh mastitis.


CULTURAL TEST

Perkembangan ilmu pengetahuan kita sekarang ini tentang penyebab dan pengontrolan mastitis pada sapi perah membuat perlunya digunakan prosedur – prosedur diagnosa yang bias mendeteksi dan mengidentifikasi organisme – organisme yang berbeda sehubungan dengan penyakit yang diderita. Str. Agalactie dikenal sebagai penyebab utama dari mastitis kronis. Infeksi dari organisme ini dapat di kurangi dan akhirnya dapat disingkirkan dengan pengetesan laboratoris secara periodik dan mengisolasi sapi yang positif terinfeksi. Suatu program yang manjur digunakan untuk melawan infeksi Str. Agalactia akan menjadi tidak efektif jika digunakan untuk melawan penyebab mastitis yang lain, misalnya ; Str. Uberis, Str. Dysgalactia, Corynebacterium Pyogenes, Staphylococcus yang patogenik, dan organisme – organisme coliformis. Lebih jauh lagi, pemeriksaan sample susu secara rutin akan mendapati berbagai macam type streptococcus dalam jumlah yang kecil yang mungkin tidak ada hubungannya dengan mastitis. Untuk alasan ini, tes yang digunakan pada pengontrolan mastitis tidak hanya depat mendeteksi jumlah kecil dari Str. Agalactiae tapi juga mendiferensiasikan organisme ini dari streptococci yang lain dan juga bias mendeteksi mastitis yang disebabkan oleh organisme yang lain.

 
PENYEBARAN MASTITIS

Penjelasan umum untuk terjadinya penularan penyakit mastitis adalah penularan melalui ductus papillaris. Hal ini dapat terjadi karena mekanisme penutupan ductus papillaris yang tidak sempurna, berkaitan dengan trauma karena mekanis yang merupakan factor predisposisi dari terjadinya infeksi oleh organisme – organisme penyebab mastitis. Terlebih lagi, factor lingkungan yang berbeda – beda dan kelukaan pada ambing atau ductus papillaris bisa mengakibatkan suatu infeksi yang sangat ringan, yang kemudian akan berkembang menjadi tempat terdapatnya organisme – organisme penyebab mastitis.

Kelainan apapun baik itu berupa deformitas, ataupun kelukaan yang menahan otot sphincter untuk melakukan mekanisme penutupan akan menjadi faktor predisposisi dari terjadinya infeksi. Di sisi yang lain, mekanisme penutupan yang dapat berfungsi dengan normal dan panjang ductus yang normal akan bertingak sebagai mekanisme pertahanan yang alami.

Walaupun ada kemungkinan pada suatu kondisi tertentu organisme dapat mencapai amning dengan bersama alitan darah, namun sampai saat ini belum ada data pendukung yang kuat untuk membuktikan adanya korelasi dengan keberadaan Str. Agalactiae pada ambing dalam peristiwa kasus mastitis.

Pada ambing yang sehat, konsentrasi dari lactonin, yang merupakan subtansi inhibitorik yang normal ada pada cairan sekresi, mungkin ada dalamjum;ah yang cukup untuk melindungi ambing dari subtansi – subtansi yang dapat menginfeksi ambing. Resistensi, mungkin berkaitan dengan pengaruh lingkungan yang bermacam – macam pada tempat hewan tersebut tinggal atau dari infeksi yang berulang – ulang dari organisme infeksius yang semakin lama dosis infeksinya semakin naik

Suatu masalh yang nyata bahwa mastitis dapat tumbuh dengan cepat, dalam satuan menit, pada media yang tidak diencerkan jika agen penyebabnya ada dalam fase yang aktif untuk tumbuh, walaupun tidak terjadi iritasi pada streak kanal. Menurut penelitian, diperlukan adanya bagian dari kultur yang tidak diencerkan dengan maksud untuk menggambarkan penghalang protektif yang bersifat alami. Kesalahpahaman ini, bagaimanapun juga telah membut banyak orang yang bekerja pada bidang ini mempercayai keberadaan dari sejumlah agen yang lain, yang mungkin suatu orgfanisme yang berbentuk vitus, adalah penting untuk mencipatakan suatu kondisi pada ambing yang cocok bagi pertumbuhan organisme streptococcus yang menginfeksi. Daripada hal tersebut, penelitian perihal penyebaran mastitis yang bersifat negativ ini diperuntukkan bagi Streptococcus agalactiae yang bersifat noninvasif atau pada kasus – kasus dimana tidak terdapat factor – factor yang bertindak sebagai inisiator. Orgnisme yang berupa virus mugkin merupakan factor predisposisi dari kasus mastitis, namun tidak ada bukti yang cukup untuk mengatakan bahwa hal tersebut adalah benar.

Dalam mengevaluasi hasil dari sebuah penelitian yang berhubungan dengan pergumbuhan mastitis, faktor – faktor berikut merupakan sesuatu yang harus diperhatikan dengan baik ;
  • normalitas dari ambing dan juga kanalnya
  • Keberadaan flora bacterial dan penghitungan sel pada ambing melalui inokulasi
  • Dosis infeksi, umur infeksi, dan tingkat infektivitas dari streptococcus yang menginfeksi
  • Pengaruh dari subtansi yang bersifat bakterisidal yang ada pada susu terhadap organisme yang menginfeksi
  • kemampuan dari duktus papillaris untuk melakukan mekanisme penutupan.

PENGOBATAN MASTITIS PADA SAPI PERAH

Pada tahun 1887, Nocard dan Mollereau megemukakan bahwa mastitis yang sudah kronis pada sapi perah adalah sebuahpenyakit menulardi sebabkan oleh streptococcus dan mungkin dapat disembuhkan dengan jalan menyuntikkan larutan asam borat 4% melalui putting pada quarter yang terinfeksi. Sejak saat itu banyak bermunculan obet – obatan kimiawi, dari yang sederhana sampai yang komplex yang diberikan secara otal, subcutan, intravena ataupun dengan infus secara langsung pada ambing sebagai suatu cara untuk melawan penyakit tersebut.

A. PERALATAN UNTUK SUNTIKAN INTRAMAMMARY
Untuk pengobatan dengan menggunakan infuse ketika yuang terkena mastitis adalah satu bagian dari empat quarter yang ada, yang di butuhkan adalh sebuah botol yang memiliki ukuran millimeter, selang dengan panjang yang disesuaikan dengan kebutuhan, dan kanula yang digunakan pada quarter. Disini ukuran botol yang digunakan adaklh botol yang bervolune satu milliliter.Jika yang terkena adalam satu ambing, atau semua quarter, maka digunakan botol yang bervolume empat liter dan juga menggunakan empat kanula yang kemudian di pasang pada setiap ambing yang masing – masing bersambungan dengan selang yang terpisah sendiri - sendiri yang mana semuanya berasal dari satu botol yang sama. Karena botol yang digtnakan disini adalh botol yang berukutan besar maka diperlukan tien penyangga agar botol infuse tidak ambruk. Obat – obatan yang mungkin diperlukan adalah tyritrycin, silver oxida koloid, sulfanilamide yang berada dalam suatu larutan sebanyak 5 sampai 150 mililiter untuk setiap ambing.

B. PERLUNYA STERILISASI DAN TEKNIK ASEPTIS
Penyuntikken materi kimia harus dilakukan oleh tangan yang ahli dan harus dilakukan pada kondisi yang tepat. Kesalahan kondisi , misalkan tanpa langkagh – langkah aseptis, maka hanya akan mengakibatkan penyakit yang lebih parah..Sebagai desinfectan bagi alat – alat yang akan digunakan, diperlukan alcohol 70% yang mampu bertindak sebagai subtansi yang bersifat bakterisidal. Sterilisasi ambing tempat kanula melekat juga harus diperhatikan, jangan sampai menjadi sumber infeksi sekunder.

Obat – obatan untuk kasus mastitis ;


1. Keluarga acridine, seperti ;
  • Entozone
  • Tryplafavin
2. Gramicidin dan Tyrotrycin
3. Silver oxida dalam air mineral
4. Sufanilamid
5. Ait mineral yang mengandung iodine
6. Penicillin