Penyakit Menurun pada Anjing Ras Pom (Pomeranian)

English version (click here)

Anjing Pomeranian dikenal juga dengan nama lain German Toy Spits. Karakteristik dari anjing ini adalah kecil dalam ukuran badan, namun lincah dan aktif dalam pergerakan. Dikarenakan kelincahan dan keaktifannya, anjing ras pomeranian ini sering digunakan sebagai teman bermain. Di balik segala hal baik itu, anjing ras pomeranian dalam hal kesehatan, memiliki kecenderungan khusus yang mengarah kepada masalah-masalah kesehatan.
Kondisi Kardiovaskular

1. Patent Ductus Arteriosus

ductus arteriosus membawa darah dari arteri pulmonaris menuju aorta janin dengan melewatkan paru paru janin karena pada saat yang bersamaan, paru paru janin belum berfungsi. Duktus arteriosus biasanya menutup pada umur 1 minggu setelah kelahiran. Patent ductus arteriosus mungkin merupakan kondisi yang paling sering terjadi yang merupakan cacat bawaan dari anjing tersebut, namun tidak begitu sering ditemukan pada kucing. Anjing betina memiliki resiko terpapar yang lebih tinggi dibandingkan dengan anjing berjenis kelamin jantan. Gejala berkisar dari tidak dapat diamati, gagal jantung kongestif dan kondisi tubuh yang buruk, kelemahan, kolaps, dan kejang-kejang
  • Abnormalitas kongenital yang biasa terjadi
  • Resiko relatifnya mencapai 4.1
  • Kecenderungan terjadi pada individu dengan jenis kelamin betina
  • Bentuk warisan poligenik

2. Sick Sinus Syndrome

“Dysrhythmia ini sering kali melibatkan periode bradikardia dan takikardia, menyebabkan sinkop jantung”

  • Terjadi pada anjing umur pertengahan s/d umur tua
  • Resiko relatif pada keturunan pomeranian mencapai 3.5
  • Tidak terdapat kecenderungan hospes dengan jenis kelamin tertentu terhadap terjadinya cacat ini


Kondisi Dermatologi

kondisi dermatologi yang terjadi terpengaruh oleh kondisi hormonal yang berlangsung 




Kondisi Endokrin

1. Hipotiroidismus

.....adalah penyakit endokrin yang umum terjadi pada anjing. Terdapat kekurangan pada sekresi hormon tiroid baik sebagai akibat karena kerusakan kelenjar tiroid (hipotiroidusmus primer), tidak mencukupinya produksi TSH (tiroid stimulating hormon) dari kelenjar pituituari atau tidak mencukupinya produksi TRH (tiroid releasing hormon) oleh hipotalamus (hipotiroidismus tersier. Berbagai macam ras anjing memiliki kecenderungan untuk mengidap hipotiroidismus, yang pasling sering disebut sebut adalah Dobermann Pinschers dan Golden Retirevers

  • Dalam beberapa tulisan dilaporkan sebagai kejadian yang memiliki resiko akan terus meningkat


Kondisi Muskuloskeletal

1. Congenital elbow luxation (luksasi/keseleo pada siku yang terjadi karena faktor kongenital)

Kondisi ini jarang terjadi. Terdapat 2 tipe yang sudah dikenali : Tipe 1 yang lebih parah dan menghasilkan rotasi 90 derajat ke arah luar dari bagian proksimal tulang ulnae. Terlihat, deviasi lateral dari antebrachium, yang ditandai dengan reduksi (pengurangan) ekstensi siku. Penyebabnya tidak diketahui. Diagnosa dilakukan melalui radiography. Reduksi secara tertutup merupakan salah satu pilihan dalam metode pengobatan, namun demikian reduksi secara terbuka perlu untuk dilakukan pada beberapa kasus yang terjadi. Pada Luksasi tipe 2, bagian proksimal dari radius bergeser ke arah caudaolateral. Tipe ini lebih ringan daripada tipe 1. Dalam kejadian ini, pada beberapa hewan, tidak perlu di lakukan pengobatan, mungkin pada kasus yang lain diperlukan untuk dilaksanakan pembedahan, seperti osteotomi terhadap radius dan ulna. 
  • Luksasi tipe ke-dua terjadi pada ras ini(bagian proksimal radius bergeser ke arah caudolateral)
  • Biasanya terjadi pada njing yang berumur 4-5 bulan

2. Medial Patellar luxation

Kondisi ini biasanya muncul sebagai ketidakseimbangan yang terjadi secara intermitten, walaupun pada kejadian bilateral akan memperlihatkan abnormalitas gaya berjalan pada anggota gerak bagian belakang. Hal ini dapat terlihat di mulai sejak usia 6 bulan, meskipun dalam beberapa kejadian tidak terdapat gejala klinis sampai dengan hewan tersebut tua.

  • Merupakan komponen yang diduga kuat terjadi karena faktor keturunan

3. Shoulder luxation

Kondisi ini biasanya terjadi pada usia 3 sampai dengan 4 bulan. Posisi bahu yang tertekuk atau berputar dapat menunjukkan abnormalitas pada kejadian radiografi inguinalis/herniasi skrotum. Individu dengan jenis kelamin betina memiliki kecenderungan yang lebih tinggi. Individu berjenis kelamin betina lebih terwakili dalam kondisi umum. Suatu massa ingunal atau pembengkakan biasanya terlihat, meskipun pada saat yang bersaam terlihat adanya gejala klinis pencernaan.

  • Kongenital

4. Odontoid process dysplasia

Kondisi ini menyebabkan keadaan subluksasi atlantoaksial yang digejalakan oleh nyeri leher sampai ke quadraplegia. 
  • Kongenital


Kondisi Neoplasia

1. Testicular Neoplasia

Neoplasia testis merupakan hal yang sering terjadi pada anjing. Terdapat 3 jenis tumor utama; Sel Tumor Sertoli, Seminoma dan sel tumor interstitial. Ras tertentu sepertinya meiliki resiko yang terus meningkat. Sel tumor sertoli dan seminoma lebih sering terjadi pada testis yang tidak turun (berada di dalam cavum pelvis) daripada testis yang turun.
  • Diyakini berkembang biak pada individu yang terpapar resiko yang meningkat.

Kondisi Neurologis

1. Hidrocephalus

Hidrocephalus terbentuk ketika terjadi pelebaran seluruh atau sebagian sistem ventrikel otak, dan mungkin bersifat congenital atau perolehan (biasanya mengikuti kejadian neoplasia atau penyakit yang meradang). Gejala kinis yang muncul meliputi os crania (tulang cranium) yang membesar membentuk seperti kubah, kekejangan, dan kondisi mental yang berubah.
  • Kongenital
  • Relatif terjadi
  • Onset timbulnya gejala ; biasanya 4-5 bulan

2. Subluksasi Atlantoaksial

Sering terjadi pada anjing “toy” yang masih muda dengan nyeri di bagian leher dan deficit neurologis pada ke empat anggota gerak karena terdapat tekanan (kompresi) pada sunsum tulang di daerah cervical (leher). Berbagai macam defek ongenital termasuk kurangnya atau hipoplasia dari sarang dan pemendekan axis menyebabkan ketidakstabilan persendian atlantoaksial. Kondisi ini bisa didapati pada suaut keturunan sebagai akibat dari fraktur sarang atau kerusakan pada ligamentum yang menjadi penyokongnya.
  • Congenital
  • Relative umum terjadi pada ras ini
  • Waktu sampaidengan munculnya gejala < 1 tahun

Kondisi Bola Mata (Okuler)

1. Entropion
Adlah pergerakan bergulir masuk dari semua atau sebagian batas kelopak mata ke dalam yang menyebabkan terjadinya iritasi pada permukaan konjungtiva dan kornea.

  • Ras merupakan factor predisposisi ; mirip dengan warisan polygenic

2. Katarak

Baik lensa maupun kapsul lensa, scara unilateral atau bilateral. Katarak bisa bersifat primer (karena factor keturunan) atau sekunder, misal peradangan mata, penyakit metabolik atau anomali kongenital seperti membran pupil persisten atau persisten arteri hyaloids. Katarak dapat dideteksi pertama dalam berbagai bidang yang berbeda dari lensa dan dapat berlanjut pada tingkat yang berbeda. Sebuah katarak lengkap melibatkan seluruh lensa dan mengaburkan fundus, mengakibatkan kebutaan pada mata yang terkena.

  • Dicurigai bersifat menurun
  • Lokasi : posterior korteks
  • Umur individu penderita biasanya 4 tahun dan berlanjut sampai dengan selesai

3. GPRA (Generalised Progressive Retinal Athropy)

Degenerasi sel-sel retina. Sebuah warisan resesif autosomal diduga mayoritas terjadi pada kebanyakan ras. Keturunan yang berbeda dipengaruhi pada usia yang berbeda oleh berbagai jenis GPRA. Namun, pada semua kasus yang bilateral dan melanjut pada kebutaan. Gejala klinis awal yang timbul kebutaan pada malam hari yang disusul dengan hilangnya penglihatan pada siang hari. Pemeriksaan dengan menggunakan opthalmoscop menunjukkan bahwasannya terjadi pelemahan pembuluh retina dan hiperreflektivitas tapetal (suatu bentuk degenerasi retina ketika cahaya yang diserap oleh atophic retina kurang). Pada stadium berikutya kondisi seperti ini biasanya berbarengan dengan kejadian katarak. Namun lebih dari 100 jenis anjing telah di identifikasi sebagai penderita GPRA ; namun demikianhanya mereka diama kondisi seperti ini lebih sering terlihat, baik dijelaskan

  • Diduga disebabkan oleh warisan autosom resesif
  • Nampak secara klinis pada usia 6 tahun


Kondisi Sistem Reproduksi

1. Cryptorchidism

Seharusnya, kedua testis berada di dalam skrotum. pada kasus ini, kedua testis tidak mengalami penurunan sehingga tetap berada di kanalis inguinalis atau cavum abdominal. Faktor-faktor non-genetik mungkin memiliki peran, namun insidens kejadian yang tinggi pada beberapa ras anjing, dan famili pada ras anjing tersebut, mengindikasikan adanya pengaruh genetik. Suatu bentuk warisan autosom seks berbatas telah disarankan.

  • Perkembangan defek yang dipercayai merupakan warisan berbatas jenis kelamin, berhubungan dengan autosom resesif
  • Pomeranian di percayai merupakan ras yang memiliki resiko yang tinggi terhadap terjadinya kasus ini

2. Testicular Neoplasia

Testicular neoplasia merupakan kejadian yang lumrah pada anjing. Terdapat 3 tipe tumor yang utama ; Sel Tumor Sertoli, Seminoma, dan Sel Tumor Interstitial. Ras tertentu sepertinya berada pada level resiko yang terus meningkat. Insidensi Sel tumor sertoli dan seminoma lebih tinggi pada testis yang tidak turun daripada testis yang normal mengalami penurunan.

  • Pomeranian dipercayai sebagai ras yang memiliki tingkat resiko yang tinggi


Kondisi Sistem Pernafasan

1. Tracheal Collapse

  • Penyebab utamanya masih belum diketahui
  • Biasanya mempengaruhi anjing pada kisaran umur pertengahan sampai dengan tua. Kondisi ini dapat terjadi pada anjing muda, atau terjadi di kemudian hari pada anjing yang tidak terlalu parah terpengaruh. Gejala klinis yang nampak diantaranya adalah batuk dan suara berisik saat bernafas. Mungkin saja akan terdengar suara karakteristik “klakson-angsa”
Sumber : Breed Predisposition to Disease in Dog and Cat

Pencegahan Newcastle Disease (Masa Lalu, Sekarang dan Masa Depan)

Tidak ragu lagi bahwasannya ND ( Newcastle Disease ) adalah satu dari beberapa penyakit yang berdampak signifikan secara ekonomi terhadap sektor peternakan. terlebih lagi, meskipun sudah dikenal sejak 85 tahun yang lalu, meskipun yang menjadi penyebabnya hanyalah satu serotipe dari avian paramyovirus (APMV-1) dan tersedianya beberapa tipe vaksin komersial, ND terus menerus ditantang oleh Dokter Hewan dan para Peternak di seluruh dunia.



Pada awal berdirinya industri peternakan unggas, tujuan utama dari produsen (peternak) adalah untuk mencegah tingkat kematian (mortalitas) yang tinggi yang disebabkan oleh penyakit ini. Seiring dengan berkembangnya pengetahuan tentang penyakit ini, indudstri perunggasan kemudian tidak hanya mencari vaksin yang memiliki tingkat efikasi yang tinggi tapi juga bertujuan agar produk yang dihasilkan memiliki tingkat keamanan yang cukup untuk menghindari dampak negatif dari reaksi pos-vaksinasi (setelah vaksinasi) pada performa unggas biasanya terkait dengan penggunaan vaksin 'hidup' ND.

Artikel ini bermaksud untuk memberikan penjelasan singkat tentang perkembangan vaksin ND dari penemuan pertamanya sekitar 80 tahun yang lalu sampai dengan perkembangan vaksin ND yag berdasarkan teknik biologi molekuler.

Mesogenic Strains

Sejak terjadinya outbreak ND pertama kali di Pulau Jawa (Indonesia) dan Newcastle (Inggris), pada tahun 1926, investigasi perihal pencegahan dan pengendalian terhadap penyakit ini telah dilakukan secara besar-besaran.

Penelitian pertama dilakukan dengan menyuntikkan material virus yang telah di inaktivasi, namun permasalahan dalam hal produksi dan standardisasi memberikan keraguan yang besar untuk dapat digunakan dalam skala yang lebih luas lagi. Kemudian, di berbagai belahan dunia dilakukan upaya peredaman/pengurangan virulensi.

Di Inggris, selama periode tahun 30-an, Iyer dan Dobson melakukan rekayasa dengan menanamkan bagian berurutan dari isolat Herts '33 pada telur berembrio dan kemudian menghasilkan suatu virus dengan tingkat virulensi yang lebih rendah, yang di beri nama strain Hertfordshire (H), yang memungkinkan untuk dapat digunakan sebagai antigen yang aman dalam suatu imunisasi secara massal.

Setelah itu, Iyer melakukan proses peredaman/pelemahan virulensi yang sama terhadap isolat Ranikhet dari India dan mengembangkan strain mesogenic Mukteswar. Di Palestina, strain mesogenic yang hampir mirip telah di produksi oleh Komarov setelah dilakukan rekayasa dengan menanam isolat serial lapangan bebek intracerebral.

Di Amerika Serikat, Beaudette menyaring 105 isolat ND dan memilih sebuah strain yang terkenal dengan nama Roakin yang telah dipertimbangkan sesuai untuk dikembangkan sebagai antigen vaksin. Pada tahun 1948, strain Roakin secara komersial di perkenalkan di negara tersebut untuk admnistrasi pada jaringan di sekitar sayap pada unggas dengan umur lebih dari 4 minggu.

Walaupun vaksin-vaksin ini memberikan perlindungan yang bagus terhadap tantangan yang berasal dari alam, masalah bawaan mereka adalah, walau dilemahkan sampai dengan batas tertentu, mereka masih mampu untuk menyebabkan penyakit dan mortalitas yang tinggi pada unggas yang sangat rentan. Terlebih lagi, vaksin-vaksin ini harus di berikan dengan batasan minimal umur unggas 4 minggu. Dikarenakan immunitas pasif pada "Day Old Chick (DOC)" yang sangat bervariasi, bagian dari flock masih perlu untuk di vaksin sebelum mencapai umur tersebut. fakta ini menciptakan permintaan yang kuat untuk vaksin yang lebih aman lagi yang mungkn untuk di aplikasikan pada unnas di umur yang lebih muda lagi.

Vaksin Lentogenic

Di Amerika serikat, selama periode tahun 40-an, pencarian terhadap vaksin "live" untuk melawan ND telah menjadi prioritas beberapa lembaga penelitian. Pada tahun 1947, di Virginia Polytehnic Institute, Hitchner, mengerjakan strain virus yang diterimanya dari Beaudette, Patologis unggas dari Stasiun Penelitian Pertanian New jersey (New Jersey Agricultural Experimental Station), mengembangkan strain B1 yang kemudian di patenkan untuk produksi komersial pada tahun 1950.

Berkenaan dengan permintaan yang kuat akan vaccine yang lebih lemah("milder vaccines"), Beaudette melihat kembali pada catatannya tentang 105 strain yang pernah dia saring untuk kembali mencoba mengindentifikasi dan menemukan strain yang memiliki tingkat virulensi yang lebih rendah. Akhirnya Beaudette memilih 3 dari 105 strain miliknya dan, setelah melakukan percobaan selama beberapa bulan di Laboratorium Unggas Vineland (Vineland Poultry Laboratories), dipilih sebuah strain. Strain ini berhasil di isolasi dari peternakan Adam Lasota dan kemudian strain vaksin tersebut diberi nama sesuai dengan nama asalnya (strain LaSota).

Di seberang lautan Atlantik, pada tahun 1952, Asplin melaporkan hasil dari penelitian terhadap sebuah strain virus ND yang di isolasinya beberapa tahun sebelumnya dari kejadian outbreak penyakit pernafasan ringan (mild respiratory disease) pada unggas muda di Inggris. Viru ini memiliki kemiripan dengan stran B1 dalam hal virulensi dan imunogenisitas dan di gambarkan sebagai strain F.

Nmaun demikian, seiring dengan berkembangnya industri perunggasan di seluruh dunia, level reaksi dari vaksin menjadi suatu permasalahan yang sangat penting bagi perusahaan industri perunggasan. salah satu upaya agar dapat menghasilkan strain vaksin yang dapat memicu reaksi pasc/pos-vaksinasi yang lebih rendah adalah dengan melakukan seleksi terhadap subpopulasi yang telah di berikan strain ND sebelumnya dan kemudian mengembangkan poopulasi yang homogen dari subpopulasi tersebut. Seperti populasi virus yang baru yang akan memberikan reaksi pasca/pos-vaksinasi yang lebih rendah dengan level imunogenisitas yang tetap. Sebuah contoh pertumbuhan dari golongan ini adalah "clone 30" yang diseleksi dari sebuah strain LaSota. Vaksin vaksin kloning ND ini pertama kali di perkenalkan pada pasar di era 80-an dan mendapatkan sambutan yang hangat dari produsen perunggasan.

Vaksin Apathogenic enteric

Walaupun strain vaksin lentogenic hasil kloning terbukti menyebabkan reaksi yang lebih rendah daripada populasi virus yang sebenarnya, strain ini masih menyebabkan kerusakan yang signifikan pada sistem pernafasan dan, seiring berlalu, akan mulai berkurang peminatnya untuk di terapkan dalam suatu sistem produksi yang intensif.

Baru-baru ini, strain vaksin ND tidak hanya berreplikasi pada saluran pernafasan (tractus respiratorius), tapi juga di usus (intestinaldan karena itu menjaga sistem pernapasan diperkenalkan ke pasar dan mendapatkan penerimaan luas di antara produsen. Mereka di klasifikasikan sebagai apathogenic enteric dan strain-strain vaksin komersial yang paling umum tersedia adalah Ulster 2C,PHY.LMV.42 dan V4.

Strain-strain apathogenic memiliki Indeks Patogenesitas Intracerebral (Intracerebral Pathogenecity Index-ICPI ; Tabel 1) yang sangat rendah, sehingga mereka menyebabkan reaksi pasca/pos-vaksinasi yang dapat diabaikan. Degnan tingkat keamanan yang mereka miliki, mereka dapat digunakan pada "day-old chicks (DOC)" di dalam suatu hatchery (tempat penetasan).


Table 1 : Strain Vaksin ND



Strain Virus ICPI Klasifikasi
V4 0.0 apathogenic enteric
PHY.LMV.42 0.0-0.16 apathogenic enteric
Ulster 2C 0.0(0.14-0.23) apathogenic enteric
VH 0.15 apathogenic enteric
Hitchner B1 0.2 lentogenic
F 0.25 lentogenic
VG/GA 0.35 lentogenic
Clone LaSota 0.36 lentogenic
LaSota 0.4 lentogenic
Mukteswar 1.4 lentogenic
lKomarov 1.41 lentogenic
Roakin 1.45 lentogenic



Telah juga diamati  bahwa beberapa virus apathogenic enteric memiliki daya tahan terhadap panas yang lebih besar daripada virus lentogenic. Kemampuan ini adalah peningkata lebih lanjut yang dihasilkan dari proses seleksi dan cloning di dalam suatu laboratorium untuk dapat menghasilkan vaksin yang toleran terhadap panas (heat tolerant). Strain yang seperti ini memiliki kelebihan tersendiri bagi peternakan rakyat karena dimungkinkan untuk ditransportasikan tanpa harus menjaga suhu selama proses transportasi dan bahkan untuk menggunakannya sebagai campuran pakan. Yang telah digunakan secara ekstensif selama ini adalah vaksin NDV4-HR, yang di rintis di Malaysia. Vaksin yang sama juga telah di uji cobakan pada negara-negara yang lain di Asia Tenggara dan Afrika dengan tingkat kesuksesan yang berbeda-beda.

Kekurangan yang biasanya ditemukan terkait dengan reaksi pasca/pos-vaksinasi kemudian terpecahkan dengan strain-strain apathogenic yang baru ini, memudahkan para peternak untuk dapat melakukan vaksinasi secara aman untuk dapat menimbulkan immunitas lokal yang optimal. Namun demikian, untuk aplikasi di tempat penetasan (Hatchery) masih terjadi ketidaknyamanan dikarenakan terjadi interferensi partial dengan antibodi maternal, sehingga masih perlu untuk dilakukan re-vaksinasi pada level peternakan pada kondisi tantangan terhadap penyakit ND yang tinggi, dan kadang-kadang dalam hubungannya dengan vaksin mati ("killed").



Kaitan vaksin "live" dengan vaksin yang 
telah diinaktifasi pada Hatchery


Di era 70-an, telah dilakukan pengamatan secara ekstensif tentang hubungan antara vaksin hidup dan yang telah di inaktovasi dalam melawan ND pada DOC. Hasilnya menunjukkan bahwa titer HI (Hemaglutination Inhibition) yang lebih tinggi, proteksi yang lebih bagus terhadap tantangan dan persistensi immunitas yang lebih lama dapat dihasilkan ketika vaksin hidup (live) dan inaktif (inactivated) digunakan secara bersama daripada vaksin tersebut digunakan secara independen (hanya menggunakan "live" atau "inactivated" vaksin saja").

Keuntungan menggunakan kombinasi vaksin "live" dan "killed" pada tempat penetasan (hatchery) sangatlah jelas pada suatu kondisi paparan virus yang sangat tinggi dimana dihasilkan perlindungan yang lebih kuat dan lebih tahan lama dengan mengkombinasikan immunitas lokal yang berasal dari vaksin hidup (live) yang dilemahkan dengan immunitas humoral (antibodi pada sirkulasi) yang di berikan oleh vaksin inaktif. walaupun kombinasi ini memberikan perlindungan yang lebih kuat dan lebih tahan lamadalam melawan ND, interferensi yang terhadap maternal antibodi akan mengurangi efikasinya sehingga penguatan kembali (booster) sangat di rekomendasikan untuk dilakukan pada level peternakan yang berada pada lokasi dengan paparan ND yang sangat tinggi .


Vaksin Vector

Vaksin vektor dapat dijelaskan secara singkat sebagai suatu produk yang berasal dari suatu proses dimana satu atau lebih gen dari suatu mikroorganisme (disebut sebagai mikroorganisme donor) diselipkan ke dalam DNA mikroorganisme yang lain (disebut sebagai mikroorganisme vektor). Dengan cara ini, immunitas yang relevan terhadap antigen dari 2 mikroorganisme tersebut hadir di dalam sistem immun pada hewan yang berkaitan dengan terjadinya replikasi yang dilakukan oleh antigen vektor. Sehingga akan timbul immunitas terhadap vektor dan donor (pathogen).

Saat ini, di pasaran di jual dua vektor vaksin yang berbeda dalam melawan ND. Yang pertama menggunakan  virus Fowl Pox sebagai vektornya dan gen-gen yang mengkode protein HN diselipkan diantara DNA-nya. Produk semacam ini telah banyak digunakan pada kalkun. konstruksi yang kedua adalah dengan menyelipkan gen-gen yang akan ditranslasikan ke dalam bentuk protein F di dalam DNA virus herpes pada kalkun (HPV-Herpes Virus of Turkeys) dan ini telah digunakan pada ayam.

Vektor vaksin HVT-NDV menginduksi perlindungan yang sangat kuat terhadap ND sehingga akan mengurangi jumlah virus yang dilawan. Ayam akan aman karena mereka tidak akan mengekspos ayam pada virus ND yang hidup. Selain itu, tidak ada interaksi dengan vaksin pernafasan hidup lainnya seperti Infectious bronchitis. Terhadap siklus replikasi yang terjadi secara periodik dari HVT, imunitas terhadap ND secara kontant di perkuat sehingga perlindungan yang kuat dan tahan lama tetap terjaga. Akhirnya, vaksin ini akan menyelesaikan masalah terkait interferensi dengan MDA-ND, yang dihadapi oleh vaksin ND baik yang "live" maupun yang inaktif ketika diterapkan pada suatu penetasan (hatcheries).  

Kesimpulan
dari awal keberadaan industri perunggasan, pencegahan kematian unggas memegang peranan kunci pada level produsen. Pada area endemic ND, pencegahan penyakit ini memegang peranan kunci dalam setiap program vaksinasi. Beberapa tipe vaksin "live" yang berbeda telah tersedia di pasaran untuk memenuhi tantangan ini. Mulai dari strain mesogenic yang sangat reaktif sampai dengan vektor vaksin ND yang sangat aman, evolusi ini menunjukkan dengan jelas bahwa para peneliti sangat terbuka terhadap kebutuhan para produsen perunggasan.

Namun demikian, walaupun sudah memiliki vaksin yang sangat efektif di pasaran, vaksinasi yang berdiri sendiri (live atau inaktif saja) merupakan hal yang masih kurang untuk mengendalikan ND. Aturan biosekuriti yang ketat dan prosedur higienis yang secukupnya merupakan hal yang sangat penting untuk menunjang program pencegahan berjangkitnya penyakit ini.

Akhirnya, sangat penting juga untuk disadari bersama bahwa tingkat keberhasilan dari suatu program vaksinasi juga ditentukan oleh mycotoxin, faktor lingkungan dan infeksi viral yang bersifat immunosupresif  yang mungkin terjadi pada saat yang bersamaan seperti Gumboro Disease, Marek Disease, dan/atau Chicken Infectious Anemia Virus. Semua Faktkor ini harus masuk sebagai faktor pertimbangan yang sangat penting dalam rangka menginduksi perlindungan yang terbaik dalam melawan virus ND

sumber : Prevention of Newcastle Disease - Past, Present and Future- oleh Dr Marcelo Tafuri Paniago

Artikel terkait :












Anemia


Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin menurun sehingga tubuh akan mengalami hipoksia sebagai akibat kemampuan kapasitas pengangkutan oksigen dari darah berkurang (Supandiman, 1994). Anemia adalah penurunan jumlah eritrosit, Hb, atau keduanya dalam sirkulasi darah. (Hariono, 1993). Sedangkan menurut Nelson, 2003 anemia adalah penurunan sel darah merah (RBC) dan secara terminologi, anemia didefinisikan sebagai penurunan packed cell volume ( PCV), konsentrasi hemoglobin (Hb), atau penurunan sel darah merah terhadap nilai RBC normal masing-masing spesies. Anemia bukan merupakan diagnosa akhir dari sesuatu penyakit akan tetapi selalu merupakan salah satu gejala dari sesuatu penyakit dasar misalnya: anemia defisiensi besi selalu terjadi akibat dari perdarahan kronis apakah itu disebabkan karsinoma colon atau ankilostomiasis dan lain-lain. Hal ini harus selalu diingat, oleh karenanya apabila kita telah menentukan adanya anemia maka menjadi kewajiban kita selanjutnya menentukan etiologi dari anemianya (Supandiman, 1994).

Penyebab anemia dibagi menjadi tiga kategori umum: anemia karena perdarahan ( blood loss anemia), hemolisis, dan penurunan produksi sel darah merah ( Raskin, ). Namun ada yang menyebutkan etiologi anemia meliputi empat kategori, yaitu: perdarahan (blood loss), peningkatan destruksi eritrosit atau penurunan lifespan eritrosit, depresi sumsum tulang, dan defisiensi nutrisi (Hariono, 1993). Sangat baik untuk menentukan penyebab dari anemia sebelum memberikan terapi atau perawatan suportif. Sejarah penyakit yang lengkap dan pemeriksaan fisik untuk mengetahui penyebabnya, mungkin karena trauma setelah operasi, kehilangan darah dalam jumlah yang sangat banyak, pengaruh obat atau toksin, kejadian bersamaan dengan penyakit lain, atau bisa jadi akibat dari suatu penyakit yang sudah berlangsung lama (Raskin, ).


Manifestasi gejala dan keluhan anemia tergantung dari beberapa factor:
  1. Penurunan kapasitas daya angkut oksigen dari darah serta kecepatan dari penurunannya.
  2. Derajat serta kecepatan perubahan dari volume darah.
  3. Penyakit dasar penyebab anemianya, dan
  4. Kapasitas kompensasi sistem kardiopulmonal.

Oleh karena itu rendahnya kadar hemoglobin dari seorang penderita anemia bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan ada atau tidak adanya keluhan dan gejala anemia. Jadi apabila kadar hemoglobin cukup rendah akan tetapi tidak ada penyakit lain dari sistem kardiopulmonal maka biasanya tidak akan ada keluhan akan tetapi apabila ada kelainan koroner maka akan timbul keluhan angina pectoris akibat hipoksianya.

Apabila turunnya kadar hemoglobin terjadi secara cepat seperti yang terjadi akibat suatu perdarahan mendadak, keluhan bisa terjadi mendadak berupa suatu renjatan apabila perdarahannya massif, atau hanya berupa hipotensi bahkan bisa tanpa gejala tergantung berat-ringannya perdarahan yang terjadi (Supandiman, 2004).

Tipe anemia dibagi menjadi dua:


1. Anemia regeneratif
Dugaan ini ke arah adanya perdarahan atau destruksi eritrosit, jika cukup waktu untuk respon regeneratif (2-3 hari) . Pemeriksaan susmsum tulang jarang dilakukan, biasanya adanya erythropoietic hyperplasia. Respon regeneratif pada saat proses kesembuhan dari anemia non regeneratif dapat dilihat pada pemeriksaan hemogram secara serial/berturutan.


2. Anemia nonregeneratif
Dugaan terhadap gangguan sumsum tulang. Pemeriksaan sumsum tulang diwajibkan untuk menguatkan diagnosa dan untuk klasifikasi anemianya. Pada perdarahan akut/perakut atau kasus hemolisis pada hewan yang mengalami gangguan sumsum tulang, tanda-tanda nonregeneratif terlihat setelah 2-3 hari kemudian.

 
 Indeks eritrosit digunakan untuk membantu diagnosis anemia. Untuk perhitungan indeks eritrosit diperlukan data hematokrit, jumlah eritrosit dan kadar Hb. Indeks eritrosit yang dipakai sebagai parameter adalah: MCV (Mean Corpuscular Volume atau isi eritrosit rata-rata), MCH ( Mean Corpuscular Haemoglobin atau Kandungan Haemoglobin Eritrosit Rata-rata), MCHC ( Mean Corpuscular Haemoglobin Consentration atau kandungan haemoglobin rata-rata). Klasifikasi anemia, secara morfologik dibutuhkan penghitungan MCV, MCH, MCHC.

Pasien yang mengalami anemia biasanya akan menunjukkan gejala-gejala lethargy, kelemahan, anoreksia, heart murmur, dyspnea, membrana mukosa menjadi pucat atau ikterus (Raskin, ), penurunan hampir seluruh aktivitas. Gejala klinis tersebut merupakan gejala akut, kronis maupun keduanya (Nelson, 2003). Kadang-kadang anemia ditemukan saat pemeriksaan darah rutin sebagai kelengkapan procedural sebelum melakukan operasi atau pembedahan meskipun secara klinis hewan tampak normal. Kucing, sering mengalami anemia moderat yang tidak tampak dalam waktu yang lama. Splenomegaly sering disertai gejala anemia sebagai sebuah respon untuk meningkatkan hemolisis ekstravaskuler atau hemetopoiesis extramedullar (Raskin, ).

Yang penting dalam menentukan morfologi dari anemia adalah pemeriksaan sediaan hapus tepi. Pemeriksaan ini tentu memerlukan pengalaman dalam mengevaluasi morfologi eritrosit dalam darah tepi. Pemeriksaan penunjang lain seperti analisis urine, pemeriksaan feses, dan pemeriksaan biokimia lain penting dalam membantu menegakkan diagnosa etiologi dari anemianya (Supandiman, 1994)

Terapi tentu harus ditujukan terhadap etiologi dari penyakitnya. Kemudian baru diberikan preparat Fe secara adekwat. Jadi, pada umumnya terapi akan diberikan terhadap etiologi dari anemianya (Supandiman, 1994). Preparat yang biasa diberikan secara peroral antara lain: garam Fe, sebagai contoh adalah garam Fe bivalen yang mudah diserap di lingkungan saluran gastrointestinal. Garam Fe bivalen ini mengandung sulfat (20%), gluconat (12%), fumarat ( 33%). Pemberian preparat Fe secara parenteral disarankan jika pemberian secara peroral kurang efektif. Yaitu dengan injeksi preparat Iron dextran IM. Pemberian secara parenteral ini dilakukan jika terdapat gangguan pada saluran gastrointestinal, sehingga akan mengganggu absorbsi obat (Boothe, 2001).

Penyebab, Gejala, Diagnosa dan Differensial Diagnosa Muntah/Vomitus Pada Hewan

Vomitus/muntah (secara medis disebut dengan istilah emesis dan secara informal dikenal sebagai lemparan balik dan sejumlah istilah lain yang disematkan pda proses ini) adalah suatu peristiwa ekspulsif yang sangat bertenaga yang mengeluarkan isi perut melalui mulut dan terkadang juga melalui hidung. Di awali dengan perasaan tidak nyaman yang berlanjut kemudian dengan vomitus/muntah disebut dengan nausea (mual). Vomitus/muntah bisa saja disebabkan oleh penyakit yang berasal dari GIT atau di luar GIT. Penyakit GIT yang bisa merangsang terjadinya muntah :
  • Obstruksi (benda asing, intussepsi, neoplasia, volvulus, torsi mesenterik, konstipasi)
  • Infeksi virus (parvo, distemper, coronavirus)
  • Infeksi bacteri (salmonella, camphylobacter)
  • Parasit ( Trichuris, Giardia, Physaloptera, Ollulanus trycuspis, koksidia, ascarida, racun salmon)
  • Ulcerasi duodenum, perforasi GIT

Penyebab non-GIT :
  • Penyakit sistemik (gagal ginjal, gagal hepar, sepsis, asidosis, ketidakseimbangan elektrolit)
  • Ketidak seimbangan endokrin (hipoadrenocorticism, diabetic ketoacidosis, no kerotic hiperosmolar diabetes)
  • Problem syaraf (syndrome vestibular, meningitis, enchepalitis, CNS, trauma)
  • Obat2an dan racun
  • Penyakit abdomen (pancreatitis, peritonititis, pyometra, pyelonephritis)
  • Anaphylaxis
  • Heat stroke, dietary indiscretion, motion sickness

PATO-PHISIOLOGY

Vomitus merupakan suatu reaksi tubuh yang berupa reaksi humoral maupun reaksi neural yang keduanya dikendalikan oleh pusat muntah yang berada di medulla oblongata. Faktor-faktor humoral secara tidak langsung dapat menyebabkan muntah dengan jalan merangsang pusah muntah yang berada di atas medulla oblongata, sebelah caudal dari ventrikel ke 4 otak, yang lebih dikenal dengan CRTZ (chemoreseptor trigger zone), yang tidak sepenuhnya terindungi oleh sistem blood-brain barrier , sehingga CTRZ dapat mendeteksi rangsang muntah yang sampai melalui darah atau faktor etyologi muntah yang lainnya. Sedangkan stimulasi muntah yang disampaikan melalui jalur syaraf, terjadi melalui jalur syaraf vagus, simpatik, vestibular dan cerebrocortical. Reseptor – reseptor untuk syaraf ini sendiri tersebar merata di GIT, organ abdomen, peritoneum, dan pharynx

MANIFESTASI KLINIS

Tingkat keparahan dari gejala klinik yang terjadi bergantng pada durasi dan keparahan dari vomitus itu sendiri dan etiology yang menyebabkannya. Hewan yang mengalami vomitus bisa berada dalam berbagai tingkat dehidrasi (membran mukosa yang pucat, CRT >3 detik, penurunan turgor kulit) atau hipovolemia (tachycardia, membran mukos yang pucat)

Rasa sakit pada abdomen, baik itu dalam area terlokalisir atau yang sudah difus ke seluruh bagian abdomen, akan menjadi sebuah ciri dari keberadaan torsi mesenterium, GDV, GI obstruction, pancreatitis, pyelonephritis, perforasi atau usus yang mengalami ulcerasi, peritonitis dan HGE. Sedikitnya rasa sakit pada abdomen yang dapat terdeteksi tidak menyisihkan kemungkinan adanya penyakit bedah. Hewan dengan tingkat hipovolemia yang parah (hewan tersebut mengalami vomi yan panjang dan parah), atau pada hewan yang mengalami shock (misalkan pada hewan yang mengalami hipoadrenal krisis, GDV, Torsi mesenterium, dan HGE) bisa jadi akan menunjukkan gejala hipothermia. Sedangkan hipothermia (demam) akan terjadi pada beberapa kasus lainnya seperti neoplasia, infeksi, dan proses radang.

Gejala klinis terkait dari komplikasi kejadian vomitus bisa saja terjadi. Hewan yang mengalami pn.aspirasi akan mengalami peningkatan frekuensi dan usaha untuk bernafas, atau abnormalitas suara bronchovesicular ketika dilakukan auscultasi



DIFFERENTIAL DIAGNOSES

Vomitus harus dibedakan dari regurgitasi dan disphagia dari sudut etyologi dan metode yang diperlukan untuk dapat mendiagnosa pun menjadi berbeda.

Vomitus sendiri terbagi menjadi 3 tahap yang berurutan. Tahapan yang pertama ditandai dengan nausea, yang dicirikan dengan hipersalivasi, gerakan menelan, gerakan menjilat – jilat dari lidah hewan tersebut, peka, depresi dan tubuhnya menggigil. Tahap kedua ditandai dengan ‘retching’, yang dicirikan dengan kontraksi yang kuat dari otot perut melawan glottis yang berada dalam keadaan menutup. Pada tahap ketiga seluruh isi dari lambung dimuntahkan melalui mulut.

Regurgitasi biasanya mengindikasikan adanya disfungsi dari oesophagus. Selama proses regurgitasi, bak cairan atau makanan bergerak mundur kembali dari oesophagus menuju cavum nasi atau/dan cavum oris. Tidak terdapat sindrom prodromal dan juga tidak terdapat usaha dari perut untuk mengeluarkan isinya (terkait dengan regugitasi). Walaupun keduanya adalah 2 sindrome yang berbeda tapi keduanya tidak menunjukkan hubungan yang erat. Oesophagitis yang disebabkan oleh karena muntah yang terus menerus dapat mengakibatkan terjadinya regugitasi.

Di definisikan sebagai suatu kesulitan atau kesakitan dalam menelan makanan. Keadaan ini bisa terjadi karena adanya masalah dalam mulut, pharynx, atau bagian proksimal dari oesophagus. Gejala klinis yang timbul adalah muntah, berusaha menelan dengan sangat, mengeluarkan saliva yang sangat, tidak nyaman saat mengunyah atau menelan, atau mengalami regurgitasi segera setelah makan.

DIAGNOSIS

Karena muntah merupakan gejala yang tidak spesifik mengarah pada salah satu penyakit tertentu. Pemeriksaan fisik akan memberikan informasi yang cukup penting tentang vomitus. Palpasi daerah abdomen bisa saja mengarah ke suatu diagnosa, atau paling tidak membantu dalam mengumpulkan data dalam rangka menyusun suatu diagnosa terhadap keadaan – keadaan seperti intussussepsi, benda asing di GIT, intra-abdominal neoplasia, atau GDV. Pada hewan yang telah mengalami suatu penyakit yang telah bersifat sistemik, maka dianggap perlu untuk dilakukan pengamatan terhadap CBC, serum darah, urinalysis, dan pemeriksaan radiografis


Terminologi : 
  • GIT : Gastro Intestinal Tracts : Traktus Gastro Intestinal : Satu Kesatuan Saluran Pencernaan, di awali dengan cavum oris ( rongga mulut, termasuk bibir, sampai anus/rektum)
  • GI : Gastro Intestinal : Saluran Pencernaan
  • CRTZ : Chemoreseptor Trigger Zone : adalah sebuah area pada medulla oblongata yang menerima input sinyal yang berasal dari obat yang terkandung di dalam darah ataupun hormon, dan mengkomunikasikannya dengan pusat muntah untuk menginisisasi proses muntah. neuro transmitter yang menimbulkan efek pada pusat kontrol mual dan muntah termasuk asetilkolin, dopamin, histamin (Reseptor H-1), Subtansi P (reseptor NK-1) dan serotonin (reseptor 5-HT3). 
  • CRT : Capillary Refill Time : Jeda Waktu untuk kembali kapiler darah terisi
  • CBC : Cells Blood Count : Penghitungan Jumlah Sel Darah
  • CNS : Central Nervous System : Sistem Syaraf pusat
  • HGE : Hemorrhagic Gastroenteritis :Radang Saluran Pencernaan sampai dengan timbulnya unsur perdarahan
  • GDV : Gastrium Dilatation/Volvulus : Dilatasi Gastrium/Lambung,