Mad Cow / B S E / Penyakit Sapi Gila

sumber : www.sussex.ac.uk

Penyakit sapi gila (mad cow) atau Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) adalah salah satu penyakit pada otak sapi yang tergolong dalam kelompok penyakit Transmissible Spongiform yang mempunyai keunikan tersendiri, karena penyakit ini disebabkan bukan oleh mikroorganisme seperti virus atau bakteri namun oleh prion (proteinaceous infectious) yaitu sejenis protein (tanpa asam nukleat) yang bersifat infeksius, tidak normal yang mengubah jaringan syaraf. Prion abnormal menyebabkan kerusakan otak yang mematikan. (Anonim, 2005 )

Secara normal, protein prion dihasilkan oleh tubuh (disingkat PrPc / cellular PrP). Gejala yang ditimbulkan penyakit prion tergantung dari kehadiran PrP yang dijumpai di dalam jaringan tubuh, sedangkan isoform dari protein prion yang infeksius penyebab TSE disebut Prion Scrapie (PrPsc), adapun bentuk PrPc dan PrPSc sama, bobot molekul sama, sekuensnya juga sama. Perbedaan yang paling menonjol dari kedua protein prion tersebut adalah bahwa PrPSc tahan terhadap proteinase K suatu enzim yang dapat memdegradasi protein, sedangkan PrPc (ahelix) tidak tahan. Pencampuran antara PrPc (dalam bentuk normal) dengan PrPsc (dalam bentuk infeksius = abnormal) akan menimbulkan keadaan yang abnormal atau terjadinya ‘infeksi prion’. Setiap kali penyerangan PrPsc terhadap PrPc akan terjadi penciutan, serta setiap penciutan akan terjadilah vakuolisasi dari jaringan. (Anonim, 2004) dan (Sitepoe, 2000)


DISTRIBUSI DI DUNIA

Amerika Serikat sejak 23 Desember 2003 menemukan bukti pertama adanya penyakit sapi gila di Washington, yang berasal dari Kanada (Anonim, 2003)
Pada pertengahan 1980an ribuan sapi mengalami BSE diberbagai Negara Eropa. Antara lain Perancis, Portugal, Irlandia,dan Swislandia, sedang yang terbanyak terdapat di negara Inggris. Kejadian – penyakit di Mal Malvinas ( As ), Oman, German, Kanada, Italy dan Denmark diyakini hanya diderita pada sapi – sapi yang di import dari Inggris. (Subronto, 2003)

KEJADIAN DI INDONESIA

BSE di Indonesia merupakan penyakit eksotik, Apabila ada kecurigaan ke arah BSE, tiap dokter hewan yang menangani harus segera melaporkan kepada Dinas Peteranakan, dan segera meminta bantuan profesional dark laboratorium Diagnostik terdekat. Bagi pengusaha pabrik pakan ternak, bahan makanan yang berasal dari lemak, tulang, jerohan, syaraf dan sebagainya, harus benar – benar memperoleh izin importasinya dari instansi berwenang. Meskipun kaitan antara BSE dengan penyakit oleh prion pada manisia belim diketahui benar, pemasukan bahan makanan , daging, susu, atau produk lain harus dilakukan secara hati- hati, dan melalui pengawasan ketat (Subronto, 2003)
Di Indonesia belum pernah dijumpai penyakit ini tetapi Indonesia mengimport berbagai jenis bahan sebagai pembawa penyakit ini berupa ; bahan makanan, bahan pakan obat-obatan, kosmetika, hewan hidup, bahan-bahan diagnostik, dan organ tubuh untuk transplantasi, dll. (Anonim, 2004)


KEJADIAN PADA HEWAN

Patogenesis
Wabah penyakit prion pada manusia dan hewan tampaknya akibat perubahan pola hidup karena ego dan ambisi manusia untuk menghasilkan lebih banyak protein hewani (daging dan susu), karenanya ruminansia yang secara alami adalah pemakan tumbuh-tumbuhan dipaksa menjadi karnivora (sapi dipaksa untuk makan MBM / meat borne meal atau pakan yang berasal dari lambung kelenjar / perut dari hewan lain), yang merupakan suatu praktik kanibalisme secara tidak langsung. (Anonim, 2004)
Penularan dari domba ke sapi terjadi secara per os melalui makanan. Sisa-sisa makanan hasil pemotongan domba ( tulang, jerohan, dsb) yang diproses dan diberikan sebagai makanan penguat pada anak sapi perah yang diduga sebagai sumber penularan pada sapi. (Soeharsono, 2000)
Ketika di tubuh sapi, prion mengendap di otak, selanjutnya prion akan mengumpulkan prion lainnya sampai berbentuk seperti spons. BSE muncul pada sapi karena sapi mengkonsumsi tepung daging dan tulang sapi. Konsumsi ini membuat penyimpangan protein pada sapi yang pada dasarnya adalah sebagai hewan pemakan rumput (herbivora). (Anonim, 2005)
Perubahan histopatologis dan perubahan molekuler dari susunan syaraf pusat menunjukkan sifat yang karakteristik. Dijumpai adanya vakoulisasi pada neuron dari substansi abu-abu (grey matter). Di sinilah pembentukan vakuolisasi yang paling menonjol. Pada neuron perikarya juga terjadi pembentukan vakuolisasi pada grey matter merupakan bentuk vakuolisasi yang terbanyak dijumpai. Hipertropi dari astrosit sering menemani pembentukan vakuolisasi. Adanya serebral amiloidosis merupakan gambaran normal dijumpai pada penyakit sapi gila. Banyaknya vakuola dijumpai paling banyak pada medula oblongata disusul pada otak tengah, talamus, hipotalamus dan area septal. (Sitepoe, 2000)

Gejala Klinik
Gejala klinik penyakit sapi gila pada umumnya merupakan kombinasi antara gejala neurologis dan gejala umum lainnya.
Gejala neurologis dibedakan menjadi:
  • Perubahan mental: ketakutan, kegelisahan, dan mudah terkejut apabila diganggu.
  • Perubahan sikap: ataksia, tremor, dan kadang-kadang tidak dapat bangun apabila terjatuh .
  • Perubahan sensasi (hiperastesia): khususnya rangsangan rabaan dan rangsangan suara.
Tanda-tanda yang berkaitan dengan gejala umum lainnya ialah: kehilangan berat badan dan kondisi tubuh serta penurunan produksi susu, sedangkan nafsu makan masih terus dipertahankan. (Sitepoe, 2000)

Masa Inkubasi
Masa inkubasi Transmissible Encelophaty (transmisi antarspesies) yang slow degeneration pada sistem syaraf pusat domba selama 2-4 tahun, sapi selama 3-6 tahun dan gejala kliniknya muncul dalam beberapa bulan. BSE menyerang sapi berumur 3-5 tahun dengan gejala penurunan produksi susu, gemetar/kejang-kejang dan TSE (Transmissible Encelophaty) dibagi menjadi tiga fase yaitu:
  • Fase I : level infeksi yang sangat rendah
  • Fase II : peningkatan konsentrasi prion di otak, sumsum tulang (inkubasi 6 bulan)
  • Fase III : kematian pada manusia dengan inkubasi 20 bulan sampai 16 tahun. (Anonim, 2004)


KEJADIAN PADA MANUSIA

Patogenesis
Penularan BSE kepada manusia terjadi melalui konsumsi daging sapi yang terinfeksi yang kemudian menyerang jaringan syaraf manusia dalam bentuk varian Creutzfeldt Jakob Disease (vCJD). Manusia yang terkena vCJD akan kehilangan kekuatannya, pertumbuhan badannya praktis terhenti. Penyakit ini cepat atau lambat akan merambat ke otak kemudian membuat otak manusia tidak lagi utuh, berubah seperti spons atau busa kursi yang bolong-bolong.( Panton, 2004)

Terdapat tiga jenis tipe penyakit CJD pada manusia yaitu:
  1. Classical CJD: jarang terjadi, degenerasi neuron fatal pada manusia, terjadi transmisi melalui hewan-hewan laboratorium (animal TSE), Sporadic CJD menyebabkan dementia, Hereditary CJD menyebabkan insomnia fatal dan mutasi PrP gen, Latrogenis CJD pengobatan growth hormone dan pembedahan.
  2. Varian CJD (tahun 1996) karena konsumsi produk hewan penderita BSE, dengan gejala klinis depresi, kontraksi otot involunter, inkoordinasi.
  3. Gerstmann-Straussler-Scheinker (GSS) menyebabkan inkoordinasi otot, dementia dan kematian dalam 2 sampai 6 tahun. Penyakit Kuru karena kanibalisasi di Papua Nugini (penanganan dan memakan otak manusia), dengan inkubasi 3 bulan sampai 30 tahun dan akhirnya mati. .(omega, 2003)
Penyakit CJD bukanlah penyakit yang baru, sudah lama diketahui orang, namun selama ini diketahui bahwa CJD pada manusia (CJD klasik) umumnya menyerang pada usia 40-90 tahun (diduga tergolong penyakit selinitas), bersifat sporadis 85-90%, dan onset penyakit antara 4-12 bulan sebelum kematian timbul dan tidak dipredisposisi oleh jenis kelamin.( omega, 2003). Seiring dengan perjalanan waktu, ternyata ditemukan adanya suatu variasi dari CJD (perubahan neuropatologik yang atipikal) yang sebelumnya tidak pernah ditemukan pada kasus-kasus umum CJD di USA, Australia dan Jepang. Pada kasus varian baru dari CJD (vCJD) ini, usia orang yang terkena ternyata sangat muda yaitu 16, 18, 19, 26, 28, 29, 31, dan 39 tahun. Setelah ditelusuri dan dilakukan pengujian terhadap transmisi agen penyebab, ternyata diketahui dan diduga kuat bahwa vCJD disebabkan oleh prion yang berasal dari BSE (penyebab BSE dan vCJD adalah causa penyakit yang sama) ( Anonim, 2004 )
Dari hasil observasi mengindikasikan bahwa prion dapat menyebar melalui pakan tercemar, dimana mekanisma infeksi ini berasal dari prion yang melakukan penetrasi pada sel usus dan bereplikasi.(ironside and will, 1999)
Selain menular dari hewan ke manusia, mad cow bisa juga menular dari manusia ke manusia bila orang sehat mendapatkan transplantasi organ dari orang yang mengalami BSE. Sampai saat ini di Indonesia belum ditemukan adanya kasus BSE baik pada sapi maupun pada manusia. Namun demikian penyakit ini harus tetap diwaspadai karena ada kemungkinan akan masuk ke Indonesia melalui peredaran daging secara ilegal. (Panton, 2004)

Gejala Klinis
Seseorang yang telah terinfeksi dengan penyakit ini akan memperlihatkan gejala klinis awal berupa sakit kepala, ketidakseimbangan refleks berjalan, gangguan penglihatan (mata kabur), dan vertigo. Juga gangguan mental berupa hilang ingatan dan perubahan mood (bisa menjadi kalem, marah atau romantis). Gejala ini muncul berkisar dua tahun sampai sepuluh tahun setelah seseorang mengkonsumsi daging sapi gila. Dalam tahap lanjut gejala tersebut berkembang menjadi tidak bisa mendengar dan tidak bisa berbicara. Sayangnya, sampai sekarang belum ditemukan obat maupun vaksin yang mampu mencegah penyakit tersebut.(Panton, 2004). Gejala klinis yang tampak adalah degenerasi neurologik seperti ataxia (serupa dengan gejala Penyakit Alzaimer atau Parkinson), tremor, kelelahan, ngantuk, kerusakan daya ingat, perubahan tingkah laku, vertigo, kemunduran mental yang sangat cepat diikuti dengan dementia, gangguan motorik (bagian kepala/leher, pundak sampai gluteus lumbal sensitive terhadap rangsangan suara, cahaya dan sentuhan), dan gambaran spesifik dari elektro encephalogram (EEG) dan perubahan patologinya adalah terbentuk amyloidplaque di otak cerebral (terlihat berlubang-lubang). (Anonim,2004)


DIAGNOSA BSE

Diagnosis adanya prion yang berasal dari CSF (Serebrospinal Fluid/cairan serebrospinal) pada otak manusia atau hewan yang telah mati dan melalui EEG (Electro Encephalogram) atau tonsil biopsy pada manusia atau hewan yang masih hidup, dapat pula diketahui juga melalui gejala klinis, identifikasi agen, histopatologi otak (brain slices) adanya kerusakan otak yang berlubang kecil, jumlah deposit prion yang semakin meningkat dalam 8-12 bulan dengan immunohistochemistry dan Prionic Check Test untuk mendeteksi BSE spesific Prion Protein pada 15.000 ekor hewan per tahun (dilakukan di Inggris), uji biologi dari sumsum tulang hewan yang terinfeksi yang berumur 14 sampai 22 bulan lalu diinjeksi intra-ocular hewan sehat (kambing, tikus, mencit, hamster). Lalu dapat diidentifikasi dengan cara Western Blotting (antibody novel dikembangkan dari prionic 27-30 kDa lalu direaksikan dengan antigen PrPSc dari otak) atau Gel Electrophoresis ( Anonim, 2004).
Umumnya didasarkan atas pemeriksaan histopatologi, yaitu ditemukannya perubahan pada otak yang dikenal sebagai Spongiform Enchepalopathy. Pada pasien yang masih hidup diagnosis histopatologi dilakukan dengan cara biopsi jaringan otak atau tonsil. Di samping itu ada teknik disebut Magnetic Resonance Imaging yang menggambarkan kelainan otak. Agen penyebab BSE tidak menimbulkan antibodi sehingga tidak dapat dilakukan pemeriksaan serologi sewaktu hewan masih hidup.

Specimen
1. Otak
2. Sumsum tulang belakang
3. Mata
4. Limpa
5. Produk turunan atau jaringan yang terkena prion
6. Limpoglandula
7. Tonsil
8. Jeroan
9. Plasenta


Isolasi dan Identifikasi
Pembuatan preparat histopatologi.

Patologi Anatomi
Secara umum pada otak terlihat seperti spons atau karet busa (spongiform enchephalopathy).
Pada manusia, pada pasien yang mengalami kematian yang cepat, otak tidak mengalami perubahan makroskopis. Sedangkan pada penderita pada kematian yang lambat menunjukkan perubahan penurunan berat otak. Dengan mikroskopik elektron, terjadi perubahan otak dalam 3 tingkatan, yaitu :
  1. Disebut perubahan Spongiform atau mulai pembentukan vakuola berbentuk bulat atau lonjong dengan ukuran paling kecil 1μm dan paling besar 50μm.
  2. Sel-sel neuron mulai menghilang, kadang-kadang sukar dideteksi apabila kematian cepat terjadi.
  3. Hilangnya sel-sel neuron diikuti dengan proliferasi astrosit.

Pemeriksaan cairan serebrospinal terdapat neuron enolase yang spesifik dijumpai di dalam cairan serebrospinal yang digunakan untuk mendiagnosis penyakit. (Sitepoe, 2000)


PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN

Pencegahan adalah cara terbaik bagi penyakit Prion karena hingga kini belum ada obat untuk mengatasinya. Walaupun beberapa cara pengobatan sedang diusahakan, namun umumnya adalah pengobatan asimtomatik. Beberapa cara pencegahan sebagaimana terkait dengan cara penyebaran, maka langkah-langkah berikut ini perlu dipertimbangkan:
  1. Meminimalisasi risiko pada manusia akibat penggunaan produk dan alat medis yang berasal dari sapi:
    • Seleksi sumber material yang berasal dari sapi (memproduksi hewan genetik tanpa penggunaan jenis material yang berasal dari sapi.
    • Kondisi di mana pengumpulan material asal sapi dilakukan (dekontaminasi 132C selama 3-4 jam lalu disterilisasi, hati-hati penggunaan formalin karena tidak dapat menghancurkan prion).
    • Prosedur yang dilakukan untuk mengurangi/menghilangkan infektivitas material yang digunakan misalnya dengan mencampuri/intervensi terhadap proses perubahan PrPc menjadi PrPSc, menstabilkan struktur PrPc dan mendestabilisasi PrPSc.
    • Besarnya jumlah material asal sapi yang digunakan.
    • Cara pemberian/penggunaan material asal sapi pada pasien (manusia).
  2. Meminimalisasi risiko pada manusia akibat penggunaan produk dan alat medis yang berasal dari manusia, yaitu:
    • Risiko transmisi dari CJD akibat penggunaan peralatan/instrumen, hormon pituitary, dan durameter.
    • Risiko transmisi dari CJD akibat penggunaan darah dan produk darah.
  3. Risiko transmisi dari CJD akibat konsumsi produk makanan yang berasal dari hewan ruminansia yaitu:
    • Keamanan susu.
    • Risiko kejadian BSE pada domba.
    • Penggunaan delatin dalam rantai makanan misalnya untuk kapsul obat.
    • Eating behaviour (khususnya masyarakat Indonesia) yang memakan tulang, gigi, tanduk, kuku dan semua produk asal hewan (termasuk semua produk hewani yang unsuitable for human consumption).
Pada sapi, tindakan pelarangan pemberian bahan makanan yang mengandung jaringan domba yang berasal dari daerah atau negara tertular Scrapie.
Untuk menghindari penularan pada manusia, tindakan larangan mengkonsumsi jeroan sapi (specified bovine offals/ SBO) yang terdiri atas sumsum tulang belakang, tonsil, timus, limpa dan usus.
Otak sapi harus dimasak dengan suhu 1200 derajat untuk mematikan prion, atau 2 kali lebih tinggi dari suhu saat menggoreng otak sapi dengan cara biasa. (Anonim, 2004)

PENGOBATAN

Obat untuk penyakit prion yang pertama diperoleh adalah senyawa kimia hasil sintesa maupun pencarian dari bahan alam, misalnya Amphotericin (dipublikasikan 1987), Congo Red (1992), Pentosan Sulfate (1993), Branched Polyamine (1993) dan beta-sheet breaking peptide (2000). Senyawa ini berhasil menghambat laju penyakit prion menggunakan sel dari jaringan syaraf otak galur N2a, GTI dan PC12, tetapi belum dapat mencegah atau menghilangkan secara tuntas prion abnormal.
Pengembangan obat selanjutnya adalah jenis biofarmaka, yaitu enzim dan antibodi. Pada tahun 2001, Charles Weismann dari Imperial College, Inggris membuktikan bahwa enzim PIPLC dapat mencegah dan menyembuhkan penyakit prion, tetapi penggunaan enzim PIPLC sebagai obat bersifat tidak praktis karena banyak protein lain yang memiliki GPI sehingga sangat mungkin mengakibatkan efek samping. Keberhasilan membuat antibodi dicapai oleh grup Simon Hawke dari Imperial College, Inggris, yaitu antibodi ICSM35 yang diduga dapat mencegah penyakit prion. Percobaan ini baru dilakukan pada hewan, belum pada manusia. Antibodi ini belum dipublikasikan dan vaksinnya belum ditemukan.




DAFTAR PUSTAKA

*ada pada penulis