Transportasi Ternak

Belakangan ini kita bersama ketahui, bahwasannya pemerintah Australia berketetapan menghentikan ijin importasi hewan, dalam hal ini sapi, ke tiga rumah potong hewan di tanah air Indonesia kita. Alasannya, bahwa menurut mereka (pembuat kebijakan dari pihak pemerintah Australia), animal welfare (hak kehewanan) telah dilanggar habis-habisan. Dilaporkan secara langsung oleh seorang reporter dari stasiun televise ABC, Sarah Fergusson, gambar tersebut menyajikan kekejaman yang terjadi pada salah satu rumah potong yang ada di Jakarta. Dengan mengambil judul yang mengungkapkan sebuah ironi, yaitu “Indonesia, animal cruelty/torture/halal beef ( disturbing)”, tayangan itu mencoba mengungkapkan apa yang seharusnya tidak terjadi, dan dikatakan oleh reporter tersebut, sebaiknya pemerintah Australia mengambil tindakan dari kejadian ini.

Akibatnya, bahkan sampai dengan level tertinggi dari Negara ini pun angkat bicara. Bapak Presiden kita, SBY, kemudian dalam sebuah pidatonya mengajak menteri terkait untuk mengevaluasi ketersediaan sapi potong di negeri ini. Pantaslah untuk Bapak Presiden khawatirkan, pasalnya lebih dari 90% rumah potong di Indonesia masih menggunakan metode yang sama dengan yang diliput oleh stasiun televise ABC. Bagaimana nantinya jika semua Negara sependapat dengan Australia untuk kemudian secara mutlak 100% menghentikan ekspor sapinya ke Indonesia dengan alasan animal welfare?

Pertanyaan selanjutnya adalah :

Apa yang terjadi dengan Animal Welfare di Negara kita?

Dari masa ke masa, kita dapat mencatat pelanggaran animal welfare di Negara kita. Dari pengangkutan hewan yang over kapasitas alat angkut, sampai dengan daging sapi gelonggongan. Yang terakhir muncul di layar televisi adalah sapi sapi yang hidup di lingkungan TPA (tempat pembuangan akhir) sampah, yang memakan sampah sampah tersebut yang di curigai memiliki kandungan Pb (Plumbum / timbale) yang tinggi. Kemana timbale itu akan berlalu? Pertama ke sapi itu sendiri. Kedua ke manusia sebagai predator tingkatan tertinggi dalam rantai ekosistem. Apa akibatnya jika timbale berada dalam tubuh manusia? Berbagai macam penyakit bisa timbul. Dari penurunan kesuburan (infertile) sampai dengan kemandulan. Dan  juga adanya timbale dalam tubuh manusia bisa meningkatkan resiko terkena kanker, mengingat timbale merupakan logam berat.

Sorot tulisan ini adalah pada hal dasar yang sering terjadi di lapangan, yang sering kita semua lihat. Perihal transportasi hewan, adalah hal yang sering kita anggap sepele dan mewajarkan segala bentuk transportasi bagi hewan tersebut. Nah, mari kita kaji lebih dalam lagi apa yang menjadi kekurangan dan kelebihan dalam memilih suatu prosedur transportasi bagi hewan ternak potong.

Transportsi adalah hal yang menjadi perhatian awal kita untuk menu ke perhatian perhatian selanjutnya yang lebih mendalam. Bisa saja kita bilang bahwa hewan hewan ini adalah seongggok daging yang masih berkaki 4 yang nantinya mati dan dihidangkan di atas piring yang mungkin kita atau anak kita atau saudara kita atau bahkan istri kita makan. Katakanlah sudah kita semua tahu bahwasannya onggokan daging berkaki 4 ini dalam transportasinya mereka berhenti di suatu tempat untuk istirahat dan memakan rumput yang sebelumnya di semprot dengan pestisida pembasmi rumput. Akan kah kita membiarkan orang orang terdekat kita untuk memakannya? Apakah lidah kita bisa mengecap aroma tertentu dari pestisida yang terkandung pada daging itu?

Di sisi yang lain, bisa kita lihat, semasa onggokan daging berkaki empat ini masih bisa berjalan dan masih bisa mengunyah rumput, pada saat itu mereka masih menarik dan membuang nafas. Pada masa itu, jikalau kita tendang tubuh mereka, bisa dipastikan mereka akan memberikan respon emosional. Bisa jadi mereka lari. Bisa jadi mereka kemudian mengambil posisi untuk memberikan serangan balik. Atau bisa dalam bentuk apapun itu. Yang jelas, respon emosional dari hewan itu ada!!!

Beberapa alasan, diantaranya adalah yang tertulis diatas, yaitu bahwasannya di satu sisi mereka adalah sumber protein hewani bagi kita (manusia) dan di sisi yang lain bahwa hewan hewan ini adalah onggokan daging yang bernafas, memakan jenis makanan yang mereka sukai, dan merasakan adrenalin ketakutan seperti manusia, maka pemahaman pada beberapa Negara yang sudah maju, adalah menjadi hal yang sangat penting untuk menjaga setiap aspek yang berkaitan dengan keamanan onggokan daging ini yang pada akhirnya menjadi sebuah hidangan diatas meja untuk kita makan. Mereka menggunakan istilah “food safety, from barn to the table”, yang dalam bahasa kita berarti “keamanan pangan, dari peternakan sampai dengan di atas meja”.

Pada Negara yang sudah maju, terdapat suatu undang undang yang dibuat oleh Negara tersebut yang memberikan pedoman tentang tata-cara tentang transportasi hewan. Hewan potong misalnya, adalah jenis hewan yang pada banyak Negara di dunia mengalami proses transportasi dari tempat mereka hidup sebelumnya (habitat awal) sampai dengan tempat penyembelihan. Baik di eropa, amerika serikat atau Indonesia, perlakuan dalam bentuk transportasi menuju rumah potong adalah sama dilakukannya.

Salah satu Faktor yang menjadi pembeda adalah tata cara yang digunakan untuk melakukan proses transportasi. Uni Eropa menggunakan ketentuan untuk transport dengan menggunakan jalur darat perjalanan yang maksimal dilakukan adalah selama 8 jam. Namun apabila terdapat kendala kendala selama perjalanan, maka batas waktu maksimal lama perjalanan adalah 14 jam, dan wajib untuk kemudian hewan tersebut di istirahatkan, turun dari kendaraan angkut selama 1 jam untuk aktivitas makan, minum dan istirahat. Baru kemudian di perboleh kan lagi untuk berjalan selama 2 kali 9 jam, dimana di antara 2 perjalanan dengan lama 9 jam tersebut terdapat interval 1 jam untuk istirahat. Begitu selanjutnya. Di Kanada peraturan transportasi hewan mewajibkan pengemudi atau pemilik untuk mengistirahatkan hewan mereka setelah perjalanan maksimal selama 48 jam.

Mungkin timbul pertanyaan kenapa sampai timbul adanya batasan waktu dalam hal transportasi?

Lebih mudah untuk kita mengerti  dengan menganalogikan peraturan tersebut dengan misal batas waktu maksimal kita dalam mengikuti upacara atau kegiatan lain yang mengharuskan kita untuk tetap berdiri. Bahkan seorang prajurit kopassus atau sebutlah navi seal, tidak akan mampu untuk tetap berdiri dalam goncangan selama berpuluh puluh jam tanpa henti.

Dari sudut yang lain, para pelaku usaha yang menggunakan metode transportsi yang terlalu memaksakan, sebenarnya mereka berada dalam proses merugikan dagangan mereka sendiri.

Ilustrasikan didalam memori anda, bahwa masih terlalu banyak pengangkutan ternak potong di negeri in yang tidak masuk akal yang masih saja terjadi. 150 ekor kambing di dalam satu truk ukuran sedang (truk ber-roda 6) yang disusun menjadi 4 tingkatan di dalam bak. Dan truk itu berjalan menyusuri jalanan yang sebagian besar dari jalanan tersebut bukan kualitas jalan tol, jauh dari kualitas jalan tol. Mereka dimasukkan kedalam truk itu pun dengan di seret, di pukul, dan sebagainya. Pun kemudian dengan cara yang sama mereka di bawa keluar dari truk itu.

Ada dua konklusi disini.

Yang pertama menurunkan jarak tempuh. Hal ini bisa hanya oleh suatu industry yang memiliki sistem terpadu, dimana peternakan dan tempat pemotongan berada dalam suatu kawasan yang tidak berjarak yang jauh.

Yang kedua adalah dengan memberikan suatu rest area, tempat peristirahatkan, sehingga hewan tersebut dapat beristirahat dengan cukup, untuk kemudian melanjutkan lagi perjalanannya menuju tempat pemotongan.

Bahwa ketika kita mengalami suatu momen yang penuh dengan perasaan takut, kemudian kita merasakan adanya tenaga tambahan mendadak yang tiba tiba ada sehingga kita bisa lari sekuat-kuat kaki kita menjauh dari hal yang kita anggap sebagai ancaman tersebut.

Ilustrasi seperti itu juga terjadi pada hewan. Proses seluler yang terjadi pada saat ketakutan adalah sama antara manusia dengan hewan. Bahkan reaksi untuk kemudian berlari dan mencari tempat berlindung yang dirasakan aman.

Pada manusia dan hewan, sensai rasa takut akan meningkatkan sekresi hormone adrenalin, yang kemudian memacu kerja jantung untuk berdegup lebih kencang, mendorong darah untuk mengalir lebih cepat. Aliran darah yang lebih cepat inilah yang menghantarkan bahan sumber metabolisme untuk penghasil energy di tingkat seluler. Sejak adrenalin meningkat, siklus metabolisme yang terjadi di dalam sel otot pun terus menanjak naik. Sebagai residunya, asam laktat yang di hasilkan pun terus melonjak.

Ketakutan dalam hewan itu ada. Pukul lah seekor hewan, pastilah dia akan menyerang atau kemudian lari menghindar. Tidak seperti batu yang tidak akan ber respon ketika mereka di hantam dengan menggunakan palu.

Sudah sepantasnya jika kita menginginkan kualitas pada sumber pangan yang kita makan, kita juga harus menjaga sumber pangan tersebut sehingga layak untuk kita dan anggota keluarga kita makan. Terlebih, karena hewan itu juga mampu untuk merasakan seperti halnya manusia, hanya saja mereka bukanlah makhluk berakal.