PENDAHULUAN
Sebagai
petunjuk pelaksanaan terhadap Undang-undang 16 Tahun 1992, Peraturan Pemerintah
nomor 82 Tahun 2000 pada pasal 75 menjelaskan bahwa hama dan penyakit hewan
karantina digolongkan menjadi golongan I dan golongan II dengan berdasar kepada
daya epidemis dan patogenitas, dampak sosioekonomi serta status dan situasinya
disuatu area atau wilayah Negara Republik Indonesia. Pada ayat 2 (dua) dari
pasal 75 Undang-undnag 16 Tahun 1992 dijelaskan bahwa penggolongan hama dan
penyakit hewan karantina sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) serta
penetapan jenis hewan yang peka, masa pengamatan, masa karantina, standardisasi
pengujian dan perlakuan, ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Menindaklanjuti
perintah Peraturan Pemerintah nomor 82 Tahun 2000 pasal 75 ayat 2 (dua), bahwa
penggolongan hama dan penyakit hewan karantina sebagaimana dimaksud pada pasal
75 ayat 1 (satu) serta penetapan jenis hewan yang peka, masa pengamatan, masa
karantina, standardisasi pengujian dan perlakuan, ditetapkan dengan Keputusan
Menteri, Kementerian Pertanian mengeluarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor
206/Kpts/TN.530/3/2003 yang diperbaharui dengan Keputusan Menteri Pertanian
Nomor 110/Kpts/TN.530/2/2008 dan terakhir pada tanggal 9 September 2009 di
perbaharui dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 3238/Kpts/PD.630/9/2009
yang mengatur tentang penggolongan jenis-jenis hama penyakit hewan karantina,
penggolongan dan klasifikasi media pembawa.
Menteri
Pertanian melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 3238/Kpts/PD.630/9/2009
mengelompokkan hama dan penyakit hewan karantina menjadi golongan I dan
golongan II. Hama dan penyakit hewan golongan I terdiri atas 65 hama dan
penyakit hewan yang belum ada di wilayah Negara Republik Indonesia mempunyai sifat dan potensi penyebaran
penyakit yang serius dan cepat, belum diketahui penanganannya, dapat
membahayakan manusia, dapat menimbulkan dampak social yang meresahkan
masyarakat dan dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang tinggi. Hama dan
penyakit hewan karantina golongan II merupakan hama dan penyakit hewan
karantina yang sudha ditetapkan sebagai hama dan penyakit hewan karantina
golongan I dan sudah berubah sifat sehingga tidak memiliki sifat dan potensi
penyebaran penyakit yang cepat dan serius, sudah diketahui cara penanganannya,
tidak membahayakan kesehatan manusia, tidak menimbulkan dampak social yang
meresahkan masyarakat, tidak menimbulkan kerugian ekonomi yang tinggi dan/atau
sudah terdapat disuatu area dalam wilayah Negara Republik Indonesia. Penyakit
Keluron Menular/Malta Fever/Bang’s
Disease/Contagious Abortion/ Brucellosis adalah salah satu jenis penyakit
yang termasuk ke dalam hama penyakit hewan golongan II. Gambar 1 adalah peta
spasial terkini tentang kondisi brucellosis di Negara Republik Indonesia.
Gambar
1. Peta
Prevalensi Brucellosis tahun 2014 di wilayah Negara Republik Indonesia
|
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Brucellosis
merupakan penyakit bakterial yang utamanya menginfeksi sapi, kerbau, kambing,
domba, dan babi. Penyakit ini juga dapat menyerang berbagai jenis hewan lainnya
dan ditularkan ke manusia atau bersifat zoonosis.
Pada hewan betina, penyakit ini dicirikan oleh aborsi dan retensi plasenta,
sedangkan pada jantan dapat menyebabkan orchitis dan infeksi kelenjar
asesorius. Brucellosis pada manusia dikenal sebagai undulant fever karena menyebabkan demam yang undulans atau naik-turun.
Di
Indonesia, Brucellosis paling umum ditemukan pada ternak sapi dan sering
dikenal sebagai penyakit Keluron Menular. Agen penyebab brucellosis pertama kali diisolasi oleh Bruce pada tahun 1887 dari
manusia. Pada saat itu bakteri temuannya disebut Micrococcus melitensis, namun kemudian dikenal sebagai Brucella melitensis. Pada tahun 1897,
Bang dan Stribolt mengisolasi bakteri serupa, yaitu Brucella abortus, dari sapi yang menderita penyakit Keluron
Menular.
Meskipun
tingkat kematian akibat brucellosis adalah kecil, namun penyakit ini sangat
penting secara ekonomi. Pada ternak secara umum, kerugian yang paling nyata
adalah aborsi, stillbirth, dan
kemajiran, baik sementara maupun permanen. Pada ternak perah, selain kegagalan
kebuntingan penyakit ini juga mengakibatkan penurunan produksi susu
Agen Etiologi
Brucellosis
disebabkan oleh bakteri genus Brucella.
Brucella merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang dengan panjang 0,5
– 2,0 mikron dan lebar 0,4 – 0,8 mikron. Bakteri ini non-motil, tidak berspora,
dan bersifat aerob. Brucella
merupakan parasit intraseluler fakultatif.
Pada lingkungan yang hangat dan lembab, seperti di Indonesia, bakteri Brucella
dapat bertahan hingga berbulan-bulan di lingkungan.
Brucella
memiliki 2 jenis antigen, yaitu antigen M dan antigen A. Brucella melitensis memiliki lebih banyak antigen M dibandingkan
antigen A, sedangkan B. abortus dan B. suis sebaliknya. Brucella mempunya
antigen bersama (common antigen) dengan beberapa bakteri lainnya seperti Campylobacter fetus dan Yersinia enterocolobacter.
Epidemiologi
Hospes
Brucellosis
umumnya menginfeksi sapi, kerbau, kambing, domba, dan babi. Brucellosis pada sapi dan kerbau
utamanya disebabkan oleh Brucella abortus, namun infeksi oleh B. suis dan B melitensis juga kadang dapat ditemukan. Pada babi, brucellosis disebabkan oleh Brucella suis. Brucellosis pada kambing
dan domba disebabkan oleh B. melitensis
dan B. ovis, sedangkan pada kuda oleh
B. abortus dan B. suis. Pada anjing, brucellosis
utamanya disebabkan oleh B. canis,
bila ditemukan infeksi oleh B. abortus,
B. suis, atau B. melitensis maka
hal tersebut umumnya berkaitan dengan adanya infeksi brucellosis pada ternak di
sekitarnya.
Cara
penularan
Brucellosis
ditularkan melalui ingesti bakteri yang terdapat dalam susu, fetus abortus,
membran fetus, dan cairan uterus atau kopulasi dan inseminasi buatan. Pada sapi
jantan, bakteri ini dapat ditemukan dalam semen yang dihasilkan. Pada domba,
brucellosis juga diketahui dapat ditularkan antar domba jantan melalui kontak
langsung. Infeksi biasanya tahan lama pada domba jantan dan B. ovis akan diekskresikan dalam
persentasi yang tinggi secara intermiten selama kira-kira 4 tahun.
Brucellosis
dapat ditularkan ke manusia melalui konsumsi susu segar dan produk susu dari
hewan yang terinfeksi atau kontak langsung dengan sekresi, ekskresi, dan bagian
tubuh hewan yang terinfeksi, seperti jaringan, darah, urin, cairan vagina,
fetus abortus, dan plasenta.
Kejadian
di dunia dan Indonesia
Brucellosis
tersebar secara luas di seluruh dunia. Sebagian besar negara maju sudah
berhasil mengendalikan penyakit pada ternak dan hewan kesayangan, namun masih
kesulitan mengeradikasi brucellosis pada populasi satwa liar. Hanya ada satu
negara yang berhasil membebaskan diri dari brucellosis,
yaitu Irlandia pada Juli 2009.
Brucellosis
pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1953. Sejak itu reaktor brucellosis telah ditemukan secara luas
di pulau-pulau besar di Indonesia, seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi,
dan Pulau Timor, kecuali Bali. Pada tahun 2002, pulau Bali dinyatakan bebas
historis penyakit brucellosis melalui
Keputusan Menteri Pertanian No. 443/Kpts/TN.540/7/2002, sementara pulau Lombok,
Provinsi Nusa Tenggara Barat, dinyatakan bebas penyakit brucellosis melalui
program pemberantasan dalam Keputusan Menteri Pertanian No.
444/Kpts/TN.540/7/2002. Di tahun 2009, Provinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi,
dan Kepulauan Riau dinyatakan bebas dari penyakit brucellosis pada sapi dan
kerbau melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 2541/Kpts/PD.610/6/2009 dan
pulau Kalimantan juga dinyatakan bebas dari penyakit brucellosis pada sapi dan
kerbau melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 2540/Kpts/PD.610/6/2009.
Menurut
jurnal ”A Review on Diagnostic Techniques
for Brucellosis” yang diterbitkan oleh www.academicjournals.org, Brucellosis adalah
penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri dari genus Brucella. Penyakit
mempengaruhi banyak spesies mamalia dan dapat menular ke manusia, sehingga
memberikan dampak sosial-ekonomi yang sangat besar. Menetapkan diagnosa Brucellosis mungkin sulit karena gejala
yang dapat diamati tidak spesifik dan demam yang terjadi mirip dengan gejala
penyakit lainnya, tingkat pertumbuhan agen etiologi pada kultur darah
membutuhkan waktu yang lama, serta tingkat kompleksitas metode uji serologis
yang dilaksanakan terhadap agen etiologi tersebut. Diagnosa awal terhadap
Brucellosis dapat ditetapkan dengan menggunakan metode uji serologis terhadap
antibodi Brucella, namun demikian “Gold Standard” terhadap metode uji
Brucellosis tetaplah isolasi dan identifikasi terhadap bakteri. Isolasi dan
identifikasi terhadap bakteri Brucella
pertama kali dilaporkan oleh Bruce dan teman kerjanya., ketika mereka
mengisolasi Brucella mellitensis dari
militer yang bertugas di Malta. Namun demikian, pemeriksaan dengan menggunakan
kultur memakan waktu yang tidak singkat, berbahaya dan tidak sensitif. Meskipun
selama lebih dari satu abad dilakukan upaya untuk dapat menemukan teknik
diagnosa yang definitif terhadap Brucellosis, diagnosa yang sekarang digunakan
masih berdasarkan pada beberapa metode uji untuk menghindari hasil negatif
palsu.
Brucellosis merupakan
penyakit dengan jumlah gejala klinis yang tidak sedikit sehingga membuat
diagnosa menjadi perkerjaan yang tidak mudah untuk dilaksanakan. Semenjak
laporan uji serologis terhadap pertama kali dilaksanakan, teknik diagnosa yang
definitif menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Metode yang paling luas
digunakan adalah metode serologi, yang mengukur kemampuan serum (antibodi) yang
dapat mengaglutinasi Brucella abortus yang mengandung rantai O yang telah
dilemahkan dalam jumlah yang memenuhi standar. Metode-metode uji ini adalah
paling jamak dilaksanakan karena metode-metode ini adalah metode-metode yang
aman untuk dilaksanakan. Namun demikian, metode-metode uji ini paling rentan
terhadap hasil positif palsu karena terjadi reaksi silang dengan bakteri
lainnya, dan juga karena metode-metode uji ni tidak begitu membantu dalam
program deteksi terhadap Brucella canis
dan Brucella ovis yang memiliki
rantai O yang sedikit. Uji-uji lain yang sangat bermanfaat termasuk pemeriksaan
langsung terhadap cairan yang didasarkan kepada dugaan yang mengarah kepada diagnosa brucellosis yang meliputi
pembuatan ulasan dari swab vagina, plasenta, atau janin yang di abortuskan,
diwarnai dengan menggunakan metode Ziehl-Nielsen yang telah mengalami
modifikasi pada bagian penandaannya. Mikroorganisme yang secara morfologis
memiliki kemiripan dengan Bucella abortus seperti misalnya Chlamydia psittacii,
Chlamydophila abortus atau Coxiella burnetti dapat menjadi differensial
diagnosa, sehingga, sangat direkomendasikan untuk melaksanakan uji-uji
konfirmasi dengan menggunakan kultur yang tepat dan media yang bersifat
selektif. Kultur dan isolasi organisme dari sample yang berupa darah atau
jaringan merupakan metode yang “tegas” namun memiliki sensitivitas yang rendah,
dan hasilnya sangat bervariasi bergantung kepada tingkat kemampuan laboratoris
individu pengujinya, dan juga seberapa aktif dalam mengejar hasil kultur.
Inokulasi pada hewan laboratorium menjadi metode yang sangat berguna, namun hal
ini akan terganggu dengan asam lambung. Baru-baru ini, telah diketemukan metode
Polymerase Chain Reaction (PCR) yang merupakan metode yang sangat membantu dan
lebih sensitif, namun belum divalidasi untuk dapat digunakan sebagai standar
pada laboratorium.
METODOLOGI
Metodologi
dalam yang digunakan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini adalah dengan
pendekatan kajian literatur. Adapun literatur yang menjadi acuan bagi penulis
adalah sebagai berikut :
- A Review on Diagnostic Techniques for Brucellosis ;
- Bovine Brucellosis Trends in Malaysia between 2000 and 2008 ;
- Diagnosis of Brucellosis in Livestock and Wildlife ;
- Sensitivity and Specificity of Various Serological Test for Detection of Brucella spp. Infection in Male Goat and Sheep ;
- A Comparison of Standard Serological Test for the Diagnosis of Bovine Brucellosis in Canada
- OIE Terrestrial Manual 2009 Chapter 2.4.3 – Bovine Brucellosis ;
- Application of Different Serological Test for the Detection of the Prevalence of Bovine Brucellosis in Lactating Cows in Khartoum State, Sudan.
- Undang-undang No. 16 Tahun 19922 tentang Karantina Hewan Ikan dan Tumbuhan
- Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan
- Keputusan Menteri Pertanian No. 3238 Tahun 2009 tentang Penggolongan Jenis-jenis Hama Penyakit Hewan Karantina, Penggolongan dan Klasifikasi Media Pembawa
BAB III
PEMBAHASAN
Brucellosis
adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri dari genus Brucella.
Penyakit mempengaruhi banyak spesies mamalia dan dapat menular ke manusia,
sehingga memberikan dampak sosial-ekonomi yang sangat besar. Menetapkan
diagnosa Brucellosis mungkin sulit karena gejala yang dapat diamati tidak
spesifik dan demam yang terjadi mirip dengan gejala penyakit lainnya, tingkat
pertumbuhan agen etiologi pada kultur darah membutuhkan waktu yang lama, serta
tingkat kompleksitas metode uji serologis yang dilaksanakan terhadap agen
etiologi tersebut. Diagnosa awal terhadap Brucellosis dapat ditetapkan dengan
menggunakan metode uji serologis terhadap antibodi Brucella, namun demikian
“Gold Standard” terhadap metode uji Brucellosis tetaplah isolasi dan
identifikasi terhadap bakteri. Isolasi dan identifikasi terhadap bakteri Brucella pertama kali dilaporkan oleh Bruce dan teman
kerjanya., ketika mereka mengisolasi Brucella mellitensis dari militer yang
bertugas di Malta. Namun demikjian, pemeriksaan dengan menggunakan kultur
memakan waktu yang tidak singkat, berbahaya dan tidak sensitif. Meskipun selama
lebih dari satu abad dilakukan upaya untuk dapat menemukan teknik diagnosa yang
definitif terhadap Brucellosis, diagnosa yang sekarang digunakan masih
berdasarkan pada beberapa metode uji untuk menghindari hasil negatif palsu.
Diagnosa
Brucella Spp. pada hewan ternak dan hewan liar adalah kompleks dan hasil
pengujian secara serologis perlu untuk
dianalisa secara hati-hati. Brucella abortus S-19 dan Brucella mellitensis
Rev-1 adalah pilar utama dalam melaksanakan program pengendalian pada ternak
sapi dan ruminansia kecil. Tidak tersedia vaksin untuk babi dan hewan liar.
Dalam kondisi ketiadaan vaksin brucellosis untuk manusia, pencegahan
brucellosis pada manusia bergantung pada keberhasilan pengendalian brucellosis
pada hewan.
Brucellae
adalah gram-negatif, bakteri intraseluler fakultatif yang dapat menginfeksi
banyak spesies hewan dan manusia. Sepuluh spesies diakui dalam genus Brucella.
Ada 6 spesies klasik: Brucella abortus, Brucella melitensis, Brucella suis,
Brucella ovis, Brucella canis, dan Brucella neotomae. Klasifikasi ini
didasarkan terutama pada perbedaan patogenisitas dan preferensi hospes.
Pembedaan antara spesies dan antara biovars dari spesies tertentu saat
dilakukan dengan menggunakan tes diferensial berdasarkan karakterisasi fenotipe
lipopolisakarida (LPS) antigen, karakteristik phague, sensitivitas terhadap
pewarna, kebutuhan CO2, produksi H2S, dan karakterisasi metabolik.
Spesies
patogen utama di seluruh dunia adalah B. abortus, bertanggung jawab untuk
brucellosis sapi; B. melitensis, agen etiologi utama domba dan kambing; dan B.
suis, bertanggung jawab untuk brucellosis babi. Ketiga spesies brucella
tersebut menyebabkan aborsi ("badai aborsi-abortion storm" pada sapi
dara), dan ketika brucellosis terdeteksi dalam suatu populasi, kawanan,
wilayah, atau negara, peraturan veteriner internasional memberlakukan pembatasan
terhadap pergerakan hewan dan perdagangan, sehingga mengakibatkan kerugian
ekonomi yang besar. Ini adalah alasan mengapa program untuk pengendalian atau
eradikasi brucellosis pada sapi, ruminansia kecil, dan babi telah dilaksanakan
di seluruh dunia.
B.
Ovis dan B. canis masing-masing bertanggung jawab terhadap kejadian
epididimitis pada kambing dan brucellosis pada anjing. Dalam kasus B. neotomae,
hanya strain yang di isolasi dari tikus kayu gurun (Neotoma lepida) di Amerika
Utara yang telah dilaporkan. Terakhir, terdapat 4 spesies baru dari Brucella
yang telah diumumkan : Brucella pinni-pedialisand dan Brucella ceti, yang
masing masing berhasil di isolasi dari anjing laut dan Ordo Cetacea,
masing-masing; Brucella microti, di isolasi dari tikus umum (Microtus arvalis),
tanah, dan rubah (Vulpes vulpes); dan Brucella inopinata, terisolasi dari
implan payudara.
Terdapat
suatu pola pembatasan secara umum diantara spesies Brucella, yang berarti bahwa
setiap spesies Brucella memiliki preferensi hospes yang berbeda-beda. Bahkan
dalam satu spesies Brucella suis, setiap biovar memiliki preferensi hospes
hewan yang berbeda-beda. Memang, biovar 1 dan biovar 3 dari Brucella suis menginfeksi famili Suidae, biovar 2
menginfeksi famili Suidae dan kelinci
eropa (Lepus europeanus), biovar 4 menginfeksi rusa kutub (Rangifer tarandus
tarandus) and rusa caribou (Rangifer tarandus granti), dan biovar 5 telah
berhasil diidentifikasi dari hewan pengerat di Rusia.
Semua
spesies brucella memiliki kemungkinan untuk dapat menginfeksi spesies hewan
liar. Spesies brucella klasik telah berhasil diisolasi dari berbagai macam
hewan liar seperti bison, elk, babi hutan, rubah, kelinci, kerbau afrika, rusa
kutub, dan rusa caribou. Dalam rangka mengimplementasikan tindakan pengendalian
yang tepat untuk mengatasi brucellosis pada satwa liar, sangat penting untuk
membedakan antara penularan yang berasal dari hewan domestik dengan infeksi
berkelanjutan. Pada kejadian berikutnya, perhatian dari industri peternakan
tertuju pada pencegahan terhadap re-introduksi infeksi pada ternak (penularan
kembali), khususnya pada daerah-daerah atau negara-negara yang secara resmi
telah dinnyatakan bebas dari brucellosis. Apabila terjadi kehilangan status
“bebas brucellosis” maka hewan domestik harus diuji sebelum diperdagangkan,
yang akan semakin memperbesar biaya yang harus dikeluarkan. Kondisi ini
dicontohkan dengan kejadian terakhir dimana ternak terinfeksi B. abortus yang
berasal dari elk di daerah Dataran Yellowstone di Amerika Serikat dan kejadian
di Perancis dimana ternak babi diluar rumah tertular B. canis biovar 2 yang
berasal dari babi hutan.
Brucellosis
telah ditetapkan sebagai penyakit zoonosis : infeksi telah dinyatakan berkaitan
dengan setidaknya 5 dari 6 spesies Brucella klasik pada mamalia darat. Kajian
dari seluruh bagian dunia mengindikaiskan bahwa eliminasi terhadap hewan yang
menjadi reservoir brucellosis akan menurunkan dengan nyata tingkat kejadian
penyakit ini pada manusia. Pada saat sekarang ini, para petugas laboratorium
merupakan obyek yang sering terpapar infeksi. Brucella strain mamalia laut
dilaporkan telah menjadi penyebab terjadinya infeksi pada petugas laboratorium
di Inggris, begitu juga pada kasus infeksi alami yang terjadi di Peru dan New
Zealand.
Spesies Brucella dan
biovar, preferensi hospes dan patogenesitas bagi manusia digambarkan pada Tabel
1.
Tabel 1.
Spesies dan biovar-biovar Brucella, preferensi hospes dan patogenesitas
terhadap manusia (Seagermen et al)
|
PENGAMBILAN SPESIMEN UNTUK DIAGNOSA BRUCELLOSIS
Untuk
keperluan diagnosa terhadap brucellosis, organisme dapat diambil dari beberapa
organ yang biasanya bergantung kepada gejala klinis yang timbul. Pada hewan,
bagian placenta adalah bagian yang paling banyak terkena infeksi dan memiliki
konsentrasi bakteri yang paling tinggi ; diikuti kemudian dengan nodus
lympatikus dan susu ; dan darah jika pada manusia. Selanjutnya, organ lain yang
mengandung konsentrasi organisme yang tinggi adalah isi perut, limpa dan
paru-paru dari janin yang digugurkan, swab vagina, semen dan cairan arthritis
atau hygroma dari hewan dewasa. Dari karkas hewan, jaringan yang memiliki
potensi untuk kegiatan pembuatan kultur adalah Glandula mammae, nodus
limpatikus supramammary, illiaca medial dan illiaca internal, retropharyngeal,
parotis dan prescapular, serta limpa. Semua spesimen harusr dikemas secara
terpisah dan dengan segera dibawa ke laboratorium dengan menggunakan kontainer
yang anti bocor. Untuk manusia, sampel darah untuk kultur merupakan material
yang bersifat pilihan, namun spesimen harus diambil pada awal terjadinya
penyakit. Sampel harus disimpan dalam kondisi beku sampai dengan digunakan
untuk pembuatan kultur. Tidak ada sampel yang ideal untuk isolasi Brucella dari
mamalia perairan, kecuali ditemui lesi spesifik pada jaringan. Namun demikian,
organ yang direkomendasikan untuk dapat menemukan organisme Brucella adalah
nodus lympatikus pada limpa, glandula mammae, mandibularis, lambung (gastrium),
illiacus internal dan external, colorectal, testis dan darah.
GAMBARAN METODE DIAGNOSA
Bagian
ini akan mengulas berbagai metode yang digunakan dalam melaksanakan diagnosa
kejadian brucellosis pada ternak dan hewan liar. Uji diagnostik dapat
diterapkan untuk tujuan yang bervariasi ; diagnosa konfirmasi, kajian dalam rangka
skrining atau mengukur prevalensi, sertifikasi, dan, dalam sebuah negara yang
mana brucellosis telah di eradikasi, uji diagnostik diterapkan sebagai metode
untuk menghindari reintroduksi brucellosis yang mungkin mengancam melalui
kegiatan importasi hewan ataupun produk hewan yang terinfeksi. Validasi
terhadap uji diagnostik seperti ini masih menjadi kendala, terutama pada hewan
liar.
Metode-metode
diagnostik termasuk uji langsung, melibatkan analisa mikrobiologi atau deteksi
DNA dengan menggunakan metode berbasis PCR dan uji tidak langsung, yang
dilaksanakan secara in vitro
(terutama untuk susu dan darah) ataupun in
vivo (tes alergi). Pemilihan
terhadap strategi pengujian tertentu tergantung pada kondisi epidemiologis
kejadian penyakit brucella pada hewan yang rentan (ternak dan satwa liar) pada
suatu negara atau suatu daerah. Isolasi atau deteksi terhdap Brucella spp. DNA dengan PCR merupakan
satu-satunya metode yang memungkinkan untuk didapatkannya kepastian dalam
mendiagnosa. Pengidentifikasian biotype memberikan informasi berharga yang
memungkinkan untuk melacak kembali ke sumber asalnya di negara-negara dimana
beberapa biotipe berada secara bersama-sama. Namun demikian, ketika salah satu
biovar tertentu berada dalam posisi sangat dominan teknik identifikasi dengan
menggunakan metode klasik akan menjadi tidak berguna karena tidak mereka
tidak mengizinkan differensiasi isolat
milik biovar yang sama dari spesies tertentu. Pada konteks ini, metode metode
penelusuran yang baru seperti analisa variabel multipel locus, yang mengukur
jumlah tandem yang berulang pada lokus
yang tersedia dan analisa sequence multi
lokus bisa mendifferensiasikan isolat-isolat pada biovar yang diberikan. Metode
ini memiliki level keberterimaan yang lebih luas dan hampir pasti pada
masa-masa yang akan datang akan digunakan sebagai metode identifikasi yang
rutin digunakan untuk tujuan epidemiologi molekuler.
Metode
diagnosa laboratoris terhadap brucellosis pada masa sekarang ini menjadi identifikasi
agen penyebab dan uji serologis. Beberapa metode yang termasuk dalam identifikasi
agen penyebab adalah :
- Staining (pewarnaan)
- Culture (biakan)
- Molekuler
Beberapa
metode uji serologis dalam mendeteksi penyakit brucellosis adalah :
- Rose Bengal Plate Test (RBPT)
- Buffered Plate Agglutination Test (BPAT)
- Complement Fixation Test (CFT)
- Enzym-linked Immunosorbent Assay (ELISA)
- Flourenscence Polarisation Assay (FPA)
- Brucellin Skin Test (Skin Test)
- Serum Agglutination Test (SAT) Milk Test
Identifikasi Agen Penyebab
Pewarnaan (Staining). Metode
karakterisasi pewarnaan masih sering digunakan meskipun teknik ini tidak
spesifik karena agen abortus lainnya seperti Chlamydophila abortus (sebelumnya
Chlamydia psittaci) atau Coxiella burnetiiare akan memberikan hasil warna merah
juga seperti Brucella. Teknik seperti ini akan memberikan informasi yang
berharga dalam hal analisa terhadap material yagn diabortuskan. Brucella spp.
berbentuk coccobacillus dengan panjang
0.5-0.7 µm dan lebar 0.5-0.7 µm. Biasanya mereka beraksi secara tunggal dan dapat diamati dalam dua atau lebih
kelompok. Brucella spp. adalah baklteri gram negatif yang mampu untuk bertahan
dengan perlakuan asam yang lemah dan hal itu yang menimbulkan warna merah setelah
dilakukan pewarnaan khas (Seagerman et al, 2010 ; 298). Marin
dkk, (1996) melaporkan bahwa dugaan diagnosa bakterologis awal terhadap Brucella bisa dibuat dengan menggunakan
pemeriksaan mikroskopik terhadap preparat ulas yang berasal dari swab vagina, placenta atau fetus yang
diabortuskan, diwarnai dengan menggunakan metode modifikasi dari metode
pewarnaan Ziehl-Nielsen. Namun demikian, mikroorganisme yang terkait secara
morfologis, semisal Chlamydophila
abortus, Chlamydia psittaci dan
Coxiella burnetti, dapat menjadi differensial diagnosa karena
kesamaan pada bagian superfisial. Dengan demikian, isolasi Brucella melitensis pada media kultur yang sesuai seperti media
selektif Farrell direkomendasikan
untuk akurasi dari diagnosa. Swab vagina
dan sampel air susu adalah sampel terbaik untuk dapat digunakan dalam upaya
mengisolasi Brucella melitensi pada
kambing dan domba (Kaltungo et al 2014 ; 3).
Biakan (Culture). Isolasi
bakteri selalu diperlukan untuk mengelompokkan strain (liat “Metode Molekuler”
dibawah). Untuk diagnosa definitif brucellosis, pilihan sample yang akan
diambil bergantung pada gejala klinis yang diamati. Dalam kasus Brucellosis
klinis, sample yang harus diambil adalah janin yang di abortuskan (perut, limpa
dan paru-paru), selaput janin, cairan vagina, kolostrum, susu, sperma, dan
cairan yang dikumpulkan dari arthritis atau higroma. Pada individu yang disembelih,
untuk tujuan mengkonfirmasi terhadap
kasus dugaan brucellosis akut atau kronis jaringan yang dianjurkan untuk
diambil sebagai sample adalah nodus
limphatikus area genital dan oropharyngeal, limpa, dan glandula mammae serta nodus lymphatikus terkait. Untuk isolasi terhadap bakteri Brucella spp., medium yang paling sering
digunakan adalah medium Farrel, yang mengandung antibiotik yang mampu untuk
menghambat pertumbuhan bakteri lain yang ada di dalam sampel. Beberapa spesies Brucella, seperti tipe Brucella abortus yang ada di alam liar
(biovar 1 – 4), perlu CO2 untuk pertumbuhan, sementara yang lain, seperti tipe Brucella abortus yang ada di alam liar
(biovar 5,6,9), vaksin Brucella abortus strain S19,
Brucella melitensis, dan Brucella suis, tidak. Unutk sampel yang
memiliki konsistensi berupa cairan, sensitivitas pengujina akan meningkat
apabila menggunakan media biphasic seperti media Castaneda, pada awalnya digunakan untuk
kultur darah manusia. Pertumbuhan mungkin akan nampak setelah – hari, tapi
biakan/kultur akan dianggap negatif setelah 2-3 minggu masa inkubasi.
Identifikasi Brucella spp. didasarkan
kepada morfologi, pewarnaan dan profil metabolisme (katalase, oksidase dan
urease) (Seagerman et al, 2010 ; 298).
Prosedur
ini dapat dilaksanakan dengan melaksanakan kultur terhadap jaringan tubuhatau
sekret seperti darah, air susu, dan cairan kelamin. Sensitivitas yang lebih
tinggi dan waktu kultur yang lebih cepat dapat dicapai pada pasien yang telah
mengalami treatment sebelumnya dengan
menggunakan antibiotik, ketika dilaksanakan kultur terhadap sunsum tulang
belakang. Spesies Brucella dapat juga
dikultur dengan menggunakan sampel yang berasal dari pus, cairan cerebrospinal dan
cairan pleura, sendi dan ascites. Pertumbuhan bakteri pada media
kultur merupakan bukti yang tegas terhadap proses infeksi yang terjadi. Kultur
darah hanya akan berguna pada hewan yang mengalami bakteremia, yang mana tidak
selalu terjadi. Namun demikian, dengan melaksanakan metode uji ini, sering
diketemukan bakteri ini pada sampel air susu. Sampel berupa nodus lymphatikus, liver, limpa, ambing dan organ yang lain yang diambil pada kondisi post-mortem dapat memberikan hasil
positif dengan menggunakan metode uji kultur namun memberikan hasil negatif
ketika diuji dengan metode serologis. Dalam hal ini, metode kultur telah digunakan
secara luas dalam dunia penelitian. Identifikasi spesies Brucella dalam kultur bergantung kepada banyak faktor fenotipe
seperti : kebutuhan CO2, karakter phague,
dan uji-uji biokimia yang mana, diantara masalah lainnya, termasuk waktu,
keamanan, personel terlatih dan kemampuan interpretasi terhadap hasil yang agak
ambigu. Untuk kulturorganisme Brucella,
media kaldu maupun agar dapat dibuat dari bahan yang berbentuk tepung. Pada
kondisi dimana konsentrasi organisme Brucella
pada darah atau cairan lainnya hanya sedikit, lebih direkomendasikan untuk
menggunakan media kaldu atau media biphasic. Namun demikian, untuk spesimen
lainnya, media solid dengan kandungan agar 2,5% dapat membantu pengenalan
koloni dan mencegah disosiasi bakteri. Kondisi pH yang optimum bagi pertumbuhan
bakteri Brucella bervariasi antara
6,6 – 7,4,dan medmia kultur harus dikondisikan sehingga memiliki pH pada
kisaran 6,8 untuk dapat menghasilkan pertumbuhan yang optimum. Temperatur yang
optimum bagi pertumbuhan bakteir adalah 36-38°C. Namun demikian, strain kebanyakan akan tumbuh pada suhu 20-40°C.
Kebanyakan dari strain Brucella,
terutama Brucella abortus biovar 2
dan Brucella ovis akan tumbuh lebih
baik pada media kultur dengan kandungan serum steril (dari kuda atau sapi)
5-10%, dan bebas dari antibodi Brucella.
Untuk menghindari tumbuhnya kontaminan yang merupakan kendalan umum dalan
penanganan sampel dari lapangan, maka harus digunakan media selektif. Media
selektif yang paling banyak digunakan adalah Kuzdas dan Morse dan media selektif
Farrel. Media selektif Kuzdas dan Morse menggunakan jenis antibiotik seperti
disebutkan berikut beserta jumlah per liter medium basal : 100 mg cycloheximide
(fungistat), 25.000 unit of
bacitracin (aktif melawan bakteri gram positif)
dan 6.000 unit polymyxin B (aktif melawan bakteri gram negatif). Media
selektif Farrel dipersiapkan dengan menambahkan antibiotik seperti disebutkan
berikut beserta jumlah per liter medium basal : bacitracin (25 mg), polymyxin B
sulphate (5 mg), asam nalidixic (5 mg), nystatin (100,000 unit), vancomycin (20
mg), natamycin (50 mg). Sebagai media selektif, Farrell bersifat sedikit
menginhibisi beberapa strain dari Brucella
abortus, Brucella mellitensis dan Brucella
ovis, media Thayer Martin yang telah dimodifikasi dapat digunakan bersamaan
dengan media selektif Farrell untuk dapat meningkatkan pertumbuhan dari
spesies-spesies tersebut. Media ini dipersiapkan dengan menggunakan media GC
sebagai media basal ditambah dengan 1% hemoglobin dan sejumlah antibiotik dalam
ukuran per-liter sebagai berikut : Colistin methane-sulphonate (7.5 mg),
vancomycin (3 mg), nitrofurantoin (10 mg), nystatin (100,000 unit) dan
amphotericin B (Kaltungo et al 2014 ; 3).
Metode Molekuler (Moleculer Methods)
Teknik-teknik
baru yang memungkinkan untuk identifikasi dan penentuan tipe Brucella secara cepat telah dikembangkan
dan digunakan pada laboratorium diagnostik tertentu.
Identifikasi.
Telah dikembangkan beberapa metode dengan mendasarkan kepada metode PCR. Metode-metode
validasi yang terbaik adalah yang berdasarkan pada deteksi sequence spesifik dari Brucella
spp., seperti gen 16S-23S, insersi
sequence IS711 atau gen bcsp31 akan mengkode sebuah protein
31-kDa. Pada awal mulanya teknik ini dikembangkan pada isolat bakteri dan pada perkembangannya juga digunakan untuk
mendeteksi Brucella spp. DNA pada
sample klinis. Perlu dievalusi dalam hal ekstraksi DNA yang dapat menurunkan
sensitivitas uji PCR. Perlu dicatat bahwa sebagian besar teknik ini telah
divalidasi pada sampel manusia, namun beberapa laporan mengevaluasi
penerapannya bagi sample klinis veteriner. Baru-baru ini satu teknik telah
dievaluasi dengan baik untuk mendiagnosa Brucella
suis biovar 2 pada sample klinis babi hutan yang berasal dari Swiss. Menjadi
hal yang sulit untuk memberikan perkiraan sensitivitas dan spesifitas terhadap
teknik teknik ini karena protokol-protokol uji menjelaskan bahwa masing-masing
artikel tidaklah sama. Namun demikian, sebagai aturan umumn teknik PCR Brucellosis menunjukkan sensitivitas
diagnostik yang lebih rendah daripada metode kultur, meskipun spesivitas mereka
mendekati 100 %. Sejauh ini hasil terbaik dihasilkan dengan menggabungkan
metode kultur dan deteksi menggunakan PCR pada sampel klinis (Seagerman et al,
2010 ; 299).
Identifikasi
Molekuler. Untuk
dapat menentukan tipe dari Brucella spp.,
AMOS PCR multipleks, dinamai berdasarkan penggunaannya yang untuk mendeteksi
spesies abortus, mellitensis, ovis, suis.
PCR ini beserta dengan protokolnya memungkinkan untuk dapat membedakan berbagai
macam spesies Brucella dan membedakan
antara vaksin dengan strain yang berasal dari alam liar. Namun demikian mereka
tidak dapat membedakan semua biovar dari semua spesies Brucella. PCR multiplex “Bruce
Ladder” adalah metode pertama yang di desain untuk mengidentifikasi dan
mendifferensiasikan semua spesies Brucella
yang telah dikenal dan strain vaksin pada uji yang sama. Kekurangan dari
metode-metode yang dikembangkan dengan berdasar kepada PCR adalah dalam
membedakan biovar-biovar dalam satu spesies Brucella
yang mana hal ini memicu perkembangan teknik dan metode dalam menentukan
tipe molekuler untuk Brucella spp.,
seperti metode analisa RFLP (restriction
fragment Length Polymorphism) dengan berdasar kepada insersi sequence dengan nomor IS711. Namun demikian, metode ini
belum terbukti sebagai metode yang
sangat berguna. PCR RFLP dengan berdasar kepada analisa restriksi terhadap gen Brucella dalam mengkode protein membran
luar adalah metode yang sederhana untuk diterapkan, namun tingkat polimorfismenya
rendah dan tingkat ketahanannya lemah. Beberapa teknik identifikasi terbaru
tampak menjanjikan untuk dapat mendifferensiasikan isolat dari biovar yang sama
dari satu spesies yang ada : singler-nucleotide
polymorphism, polimorfisme nukleotida tunggal, yang mendeteksi perbedaan
nukleotida tunggal dalam urutan DNA dari satu spesies : MLSA, yang mendeteksi
variasi sequence DNA dalam satu set
gen-gen pemelihara tubuh, dan mengkarakterisasikan strain melalui profil unik
allel mereka ; dan MLVA yang menganalisa
variasi lokus-lokus yang mengandung sequence
yang diulang. Untuk lebih singkatnya, metode identifikasi tipe secara klasik
dapat membedakan biovar-biovar dari Brucella,
namun, sebentar lagi singler-nucleotide
polymorphism, MLSA, dan MLVA akan menjadi teknik identifikasi yang secara
rutin dilaksanakan untuk dapat membedakan strain pada level biovar yang sama,
yang memungkinkan analisa epidemiologi molekuler (Seagerman et al, 2010 ; 299).
PCR
adalah metode yang baru dan menjanjikan yang memungkinkan untuk dapat
mendapatkan diagnosa Brucellosis secara
cepat dan akurat tanpa keterbatasan yang dimiliki oleh metode-metode
konvensional. Telah dikembangkan beberapa sistem PCR yang spesifik terhadap genus tertentu menggunakan pasangan
primer yang menargetkan sequence 16SRNA
dan gen-gen dari protein membran luar. Uji terhadap Brucellosis dengan mendasarkan kepada PCR pertama kali dikenalkan
pada tahun 1990. PCR multiplex pertama yang spesifik terhadap spesies disebut
uji Abortus-Melitensis-Ovis-Suis (AMOS-PCR), yang digunakan untuk
mengidentifikasi dan mendifferensiasikan Brucella
abortus biovar 1, 2 dan 4, Brucella melitensis, Brucella ovis dan Brucella suis biovar 1. PCR didasarkan kepada sifat polimorfisme
yang timbul dari insersi sequence
yang spesifik pada setiap spesies dalam kromosom Brucella. Teknik PCR memiliki kekurangan yaitu ketidakmampuannya
dalam mengidentifikasi Brucella canis dan
Brucella neotomae.
Lebih
jauh lagi, beberapa biovar dalam satu spesies tertentu dapat memberikan hasil
negatif. Uji PCR multipleks “Tangga-Bruce” juga dikembang untuk identifikasi
dan differensiasi spesies Brucella dan
strain vaksin dalam satu langkah. PCR semakin ditingkatkan untuk
mengidentifikasi Brucella microti dan
Brucella innopinata. Namun demikian,
uji ini tidak mendifferensiasikan pada tingkat biovar atau pada level yang
lebih bawah lagi dari biovar. Baru-baru ini, uji PCR multipleks (suis ladder) dikembangkan untuk dapat
mendifferensiasikan biovar 1 – 5 dari Brucella
suis (Kaltungo et al 2014 ; 7).
Metode Uji Serologis
Uji
ini berasal dari penelitian yang telah dilaksanakan terutama pada diagnosis
brucellosis pada sapi. Sebagian besar uji dapat juga dilaksanakan pada kambing
dan domba, kecuali Milk Ring Test,
yang mana tidak dapat dilaksanakan pada kambing dan domba karena terlalu banyak
memberikan hasil positif palsu. Pada babi, pada beberapa daerah tidak jarang
diketemukan infeksi oleh Yersinia
enterocolitica serotipe O : 9 (YO9), terutama di Eropa. Semenjak YO9 dan Brucella berbagi sebuah rantai O polisakarida,
antigen Brucella spp. yang digunakan
dalam uji serologi bereaksi sama baiknya dengan permukaan halus LPS dari YO9
dan sehingga antigen tidak dapat membedakan antara 2 patogen ini. Dengan
demikian, seperti yang telah ditentukan oleh OIE, tak satupun dari uji serologi
konvensional yang digunakan untuk mendiagnosa brucellosis babi dapat diandalkan untuk mendiagnosa babi secara
individual. Beberapa kajian serologi terhadap brucellosis telah dilaksanakan pada hewan liar dan juga pada hewan
koleksi kebun binatang, dengan tujuan untuk melihat keberadaan atau penyebaran
spesies Brucella spp. dalam spesies
liar yang berbeda dan untuk mengelompokkan spesies atau individu sebagai
individu terpapar atau non-terpapar. Pengujian serologis terhadap brucellosis
biasanya dilaksanakan dengan menggunakan antigen yang sama dengan antigen yang
digunakan untuk pengujian serologis pada ternak karena antigen brucella yang bersifat immunodominan,
berkaitan dengan LPS halus, yang mana memiliki jangkauan yang luas yang dimiliki
oleh hampir semua biovar alami dari spesies B.
abortus, B. melitensis, B. suis , B. neotomae, B. ceti, B. pinnipedialis, dan
B. microti. Kebanyakan uji serologis terhadap brucellosis telah diadopsi
aplikasinya pada spesies hewan liar, tanpa adanya validasi, dari populasi
ternak domestik, yang mana dalam kegunaannya juga tidak pernah dilaksanakan
validasi. Untuk memvalidasi uji serologis, harus dilaksanakan analisa
berdasarkan status infeksi yang sebenarnya dari hewan yang bersangkutan.
Keberadaan antibodi anti-Brucella
mengindikasikan adanya paparan terhadap Brucella
spp., namun tidak mengisyaratkan spesies brucella yang mana yang merangsang produksi antibodi tersebut.
Terlebih lagi, kondisi seropositif tidak selalu berarti bahwa hewan yang
bersangkutan sedang terjangkit atau terinfeksi secara aktif pada saat
dilaksanakan pengambilan sampel. Bahkan, kajian terhadap infeksi eksperimental
dan alami menunjukkan bahwa hampir semua spesies hewan rentan terhadap infeksi Brucella dapat kehilangan titer antibodi
mereka. Ini berarti bahwa prevalensi brucellosis sesungguhnya mungkin lebih
tinggi dari yang ditunjukkan oleh skrining antibodi. Oleh karena itu, "gold standard" pada penyakit
brucellosis tetap isolasi Brucella spp.
Jika ada dugaan terjadinya brucellosis pada ternak dan hewan liar yang berdasar
kepada hasil pengujian serologis, adalah wajib untuk untuk mengisolasi
organisme dan harus selalu dilaksanakan (Seagerman et al, 2010 ; 299-300).
Cairan
tubuh semisal serum, cairan uterus, mukosa vagina, air susu, atau plasma semen
yang berasal dari hewan tersangka bisa jadi mengandung jumlah konsentrasi
antibodi isotipe M, G1, G2 dan A yang berbeda-beda yang digunakan dalam melawan
proses infeksi Brucella. Hewan yang
terinfeksi bisa jadi tidak selalu menghasilkan semua jenis isotipe antibodi
dalam kuantitas yang mampu untuk dideteksi ; sehingga, hasil dari beberapa uji
serologis harus disimpulkan sebagai dugaan awal terhadap kejadian ifeksi.
Selain itu, bergantung kepada sensitivitas dan spesifitas yang dimiliki, uji serologis dapat digunakan
sebagai uji skrining atau uji konfirmasi terhadap brucellosis. Secara
tradisional, uji skrining adalah murah, cepat dan memiliki sensitivitas yang
tinggi, namun kebanyakan dari mereka memiliki spesifitas yang rendah. Namun, diperlukan
uji konfirmasi untuk untuk menjadi lebih sensitif dan spesifik, sehingga
mengeliminasi hasil positif palsu. Uji serologis yang umum dilaksanakan
meliputi Milk Ring Test (MRT), uji
agglutinasi serum (SAT), standard plate
agglutination test (SPAT), complement
fixation test (CFT), 2-mercaptoethanol
test (2-MET), buffered
antigen test (BPAT), and Rose
Bengal plate test (RBPT). Yang lainnya termasuk card test (CARD), Rivanol test, Coombs test, indirect
immuneflourescent test (IFAT), heat
inactivation test (HIT), skin test, uji immunitas dan teknik
biologi molekuler (Kaltungo et al 2014 ; 3-4).
Rose
Bengal Plate Test
(RBPT) RBPT
adalah teknik tempat agglutinasi yang juga dikenal dengan sebutan uji kartu
(card test) atau tes buffered Brucella antigen. Uji ini menggunakan larutan sel
halus Brucella abortus yang diwarnai dengan rose Bengal, dengan larutan
penyangga sampai dengan pada pH 3,65. Pada pH netral, uji ini dapat mengukur
keberadaan igM, IgG1 dan IgG2. Namun, IgM nampak sebagai bagian yang paling
aktif. RBPT, pada yang disangga yaitu 3,5 , mencegah agglutinasi dengan IgM,
dan tampaknya hanya mengukur IgG1. Uji ini dianggap selain memberikan hasil
negatif palsu, juga akan memberikan hasil positif palsu, mungkin terjadi
karena, sebagian besar bereaksi dengan IgM pada hewan yang sebelumnya mengalami
vaksinasi. Pada kondisi dimana vaksinasi dilaksanakan secara rutin, hasil dari
uji ini dapat memberikan informasi yang sangat berharga tentang paparan hewan
terhadap organisme Brucella. Metode ini adalah uji yang direkomendasikan secara
internasional sebagai uji skrining pada ruminansia kecil, namun tidak memiliki
derajad standarisasi antigen. pH yang rendah dari antigen akan meningkatkan
spesifitas dari uji ini, sedangkan tempertur antigen dan temperatur lingkungan
tempat dilaksanakannya pengujiandapat mempengaruhi sensitivitas dan spesifitas
dari uji ini. Corbel pada tahun 1972 mengamati bahwa sensistivitas dari uji
terkait dengan fraksi yang mengandung IgG, terutama IgG1 (Kaltungo et al 2014 ;
5). RBT
sangat sensitive. Namun demikian, seperti halnya uji serologis lainnya,
terkadang RBT memberikan hasil positif karena vaksinasi dengan menggunakan
strain S-19 atau reaksi serologis positif palsu. Sehingga hasil pengujian
dengan metode RBT yang positif harus di uji lagi dengan uji konfirmasi dan/atau
strategi tambahan (termasuk aplikasi dengan menggunakan uji lainnya dan
investigasi epidemiologis). Reaksi negatif palsu sangat jarang terjadi, seringkali
terjadi karena efek prozone dan
terkadang dapat dideteksi dengan melarutkan serum sample atau dengan menguji
kembali setelah 4-6 minggu. Namun demikianRBT dirasa cukup memadai sebagai uji
skrining dalam mendeteksi kawanan ternak yang erinfeksi atau untuk menjamin
ketiadaan infeksi pada ternak yang dinyatakan bebas dari brucellosis (OIE
Terrestrial Manual, 2009 ; Chapter 2.4.3 ; 12)
Buffered
Plate Agglutination Test (BPAT). Metode
pengujian RB (Rose Bengal) dan BA (Buffered Plate Agglutination) adalah metode
uji antigen Brucella dengan larutan penyangga yang sudah umum dikenal.
Pengujian-pengujian ini adalah uji aglutinasi secara cepat yang membutuhkan
waktu 4 menit sampai dengan selesai pada sebuah glass plate dengan bantuan
suatu antigen dengan larutan penyangga yang bernuansa asam (pH3.65 ± 0.05).
Pengujian-pengujian ini telah dikenal di beberapa negara sebagai uji skrining
standar karena sangat sederhana dan dianggap lebih sensitif dibandingkan dengan
SAT. OIE mempertimbangkan uji ini sebagai “test yang direkomendasikan dalam
dunia perdagangan (Seagerman et al, 2010 ; 300). Seperti
RBT, metode uji ini juga sangat sensitive, terutama jika untuk mendeteksi
antibody yang diinduksi oleh vaksin, dan sampel yang memberikan hasil positif
harus di uji ulang dengan menggunakan metode uji konfirmasi dan/atau uji
komplemen lainnya (OIE Terrestrial Manual, 2009 ; Chapter 2.4.3 ; 12).
Complement
Fixation test
(CFT). Kemampuan
CFT terutama dalam mendeteksi isotipe antibodi IgG1, sedangkan sebagian dari
IgM hancur pada saat dilaksanakannya proses inaktivasi. Karena antibodi tipe
IgG1 muncul setelah didahului dengan kemunculan antibodi tipe IgM, pengendalian
dan surveilans terbaik dilaksanakan dengan menggunakan metode SATdan CFT. Uji
ini menunjukkan hubungan yang baik dengan diketemukannya organisme Brucella
pada hewan yang dimasukkan organisme Brucella kepadanya ataupun pada hewan yang
terinfeksi secara alamiah. Walaupun uji dapat dilaksanakan secara cepat dan
mampu memberikan hasil yang akurat, namun uji ini tidak mampu membedakan tipe
antibodi akibat infeksi dan tipe antibodi akibat vaksinasi. Kendala lainnya
adalah bahwa diperlukan banyak reagen dan kontrol untuk dapat melaksanakan uji
ini. Terlebih, setiap kali dilaksanakan pengujian dengan metode ini, dibutuhkan
banyak titrasi, dan interpretasi terhadap hasil bersifat subjektif bergantung
kepada teknik. Sesekali, terdapat aktivasi langsung komplemen oleh serum
(aktivitas anti komplementer) dan ketidakmampuan uji ini untuk memberikan hasil
dari serum yang sudah mengalami hemolisis. Negara berkembang sulit untuk
menerap uji ini dikarenakan kondisi prasyarat laboratoium dan kemampuan laboran
yang harus dipenuhi agar dapat bekerja melaksanakan pengujian dan memberikan
hasil yang valid. CFT juga dapat digunakan untuk menguji suatu hasil positif
palsu, ketika antibodi IgG2 menghambat terjadinya fiksasi komplemen. Meskipun
melekat beberapa masalah tadi, CFT adalah uji yang digunakan secara luas dan
telah dianggap sebagai yang paling spesifik dan merupakan uji serologis yang diterima
untuk mendiagnosa Brucellosis. Dengan demikian, CFT adalah uji yang
direkomendasikan untuk diterapkan pada perdagangan internasional (Kaltungo et
al 2014 ; 5).
CFT
(Complement Fixation Test) memungkinkan untuk mendeteksi antibodi anti-Brucella
yang mampu untuk mengaktifkan komplemen. Immunoglobulin sapi yang dapat
mengaktifkan komplemen adalah IgG dan IgM. Merunut pada beberapa literatur,
metode uji ini tidak memiliki sensitivitas yang tinggi namun memiliki level
spesifitas yang tinggi. Dikarenakan metode ini sulit untuk distandarisasi,
secara progressif digantikan dengan metode uji ELISA. OIE mempertimbangkan uji
ini sebagai “test yang direkomendasikan dalam dunia perdagangan” (Seagerman et
al, 2010 ; 300 – 301).
Biasanya
CFT bersifat sangat spesifik. Namun demikian, seperti halnya semua metode uji
serologis lainnnya, CFT dapat memberikan hasil positif terhadap hewan yang
divaksinasi dengan menggunakan strain S-19 atau hasil positif palsu. Sehingga
terhadap reaksi positif harus dilakukan investigasi dengan menggunakan metode
konfirmasi atau metode komplemen lainnya yang sesuai. Pada saat seekor betina
yang berumur 18 bulan atau lebih divaksinasi dengan menggunakan strain S-19,
jikalau di uji pada 3 sampai dengan 6 bulan setelah vaksinasi makan akan memberikan
hasil yang positif apabila serum yang digunakan memberikan fiksasi positif pada
titer 30 atau lebih (OIE Terrestrial Manual, 2009 ; Chapter 2.4.3 ; 14).
Enzym-Linked
Immunosorbent Assay (ELISA) Metode
ELISA dibagi menjadi dua kategori, metode tidak langsung ELISA (iELISA) dan
metode ELISA kompetitif (cELISA). Kebanyakan iELISA menggunakan LPS halus
dimurnikan sebagai antigen tapi ada kemungkinan yang lebih bagus dengan
menggunakan immunoglobulin konjugat anti-sapi. Kebanyakan iELISA mendeteksi terutama
sub-kelas IgG atau IgG. Kualitas utama mereka terletak pada tingginya
sensitivitas yang mereka miliki, tetapi mereka juga lebih rentan terhadap
reaksi non-spesifik, terutama yang disebabkan oleh infeksi YO9. Reaksi silang
yang terlihat di iELISA mendukung pengembangan cELISA. Rantai dari LPS halus
Brucella mengandung epitop tertentu yang tidak dibagi dengan LPS dari YO9. Oleh
karena itu, dengan menggunakan antibodi monoklonal yang ditujukan terhadap
epitop tertentu dari LPS Brucella, sehingga pengembangan cELISA menjadi lebih
spesifik telah dimungkinkan. Uji ini lebih spesifik, tetapi kurang sensitif,
dibandingkan dengan iELISA. OIE mempertimbangkan uji ini sebagai “test yang
direkomendasikan dalam dunia perdagangan” (Seagerman et al, 2010 ; 301).
Competitive
enzyme immunoassays dikembangkan untuk mengeliminasi beberapa, namun tidak
seluruh masalah yang timbul dari residual antibodi vaknisasi, dan juga dari
antibodi penyebab reaksi silang, pengujian dilakukan dengan menyeleksi suatu
antibodi monoklonal dengan affinitas yang sedikit lebih tinggi terhadap antigen
daripada kebanyakan antibodi yang timbul dari vaksinasi atau reaksi silang,
namun dengan affinnitas yang lebih rendah daripada antibodi yang timbul dari
kejadian infeksi. Level spesifitas dari competitive enzyme immunoassays sangat
tinggi dan mampu untuk mendeteksi seluruh isotipe antibodi IgM, IgG1, and IgG2
dan IgA). Namun demikian, uji ini sedikit kurang sensitif jika dibandingkan
dengan indirect enzyme immunoassay. Uji ini adalah uji konfirmasi yang sangat
baik dalam mendiagnosa Brucellosis pada kebanyakan spesies mamalia (Kaltungo et
al 2014 ; 7).
Dengan
menggunakan metode i-ELISA seperti yang ditetapkan prosedurnya oleh OIE atau
metode i-ELISA yang lainnya harus dikalibrasi terhadap serum standar ELISA OIE
seperti telah dijelaskan dalam Terrestrial
Manual OIE 2009, sensitivitas uji diagnostik ini seharusnya sama atau lebih
tinggi jikja dibandingkan dengan BBAT-Buffered
Brucella Antigen Test (RBT/BPAT) dalam menguji ternak yang telah
terinfeksi. Namun demikian, seperti halnya uji serologis yang lain, uji ini
dapat memberikan hasil positif yang disebabkan oleh vaksinasi dengan
menggunakan strain S-19 atau reaksi positif palsu. Reaksi positif harus di
investigasi dengan menggunakan uji konfirmasi atau strategi komplemen yang
sesuai seperti halnya pada uji CFT (OIE
Terrestrial Manual, 2009 ; Chapter 2.4.3 ; 16).
Kompetitif
ELISA (C-ELISA) menggunakan antibodi monoklonal (MAb) yang spesifik untuk salah
satu epitop dari Brucella sp. OPS (Polisakarida O) telah terbukti memiliki
spesifisitas yang lebih tinggi tetapi sensitivitas lebih rendah dari I-ELISA.
Hal ini dilakukan dengan memilih MAb yang memiliki afinitas yang lebih tinggi
dan tidak menimbulkan reaksi silang terhadap antibodi. Namun, telah terbukti
bahwa C-ELISA menghilangkan beberapa tapi tidak semua reaksi (FPSR-False Positive Serological Reactions-Reaksi
Serologis Positif Palsu) terhadap bakteri yang menyebabkan reaksi silang. C-ELISA
juga mampu menghilangkan sebagian reaksi yang ditimbulkan oleh antibodi sisa
yang dihasilkan dalam menghadapi vaksinasi dengan strain S-19. Pemilihan MAb serta
spesifitas dan afinnitas uniknya akan memberikan pengaruh yang berbeda pada
karakteristik kinerja diagnostik pengujian tersebut. Seperti halnya uji yang berbasis
MAb, ketersediaan dari MAb atau hibridoma juga harus diperhatikan sehubungan
dengan keberterimaan secara internasional dan penggunaan secara luas (OIE
Terrestrial Manual, 2009 ; Chapter 2.4.3 ; 16).
Flourescence
Polarization Assay
(FPA) FPA
didasarkan pada fakta bahwa, ketika cahaya terpolarisasi menarik molekul
flourescence, molekul flourescence akan memancarkan cahaya terpolarisasi. Dalam
larutan, tingkat polarisasi cahaya yang dipancarkan berbanding terbalik dengan
kecepatan rotasi molekul, yang dipengaruhi oleh tingkat viskositas larutan,
temperatur absolut, volume molekul dan konstanta gas.Dalam, hal serologi
terhadap Brucellosis, berat molekul subunit kecil OPS diberikan label dengan
menggunakan fluorescein isothiocyanate
dan digunakan sebagai antigen. Ketika sedang menguji serum, darah atau air
susu, jika ada antibodi terhadap OPS, laju rotasi antigen yang berlabel; akan
menurun sampai pada level yang sebanding dengan jumlah antibodi yang ada. Uji
FPA sangatlah akurat, dan tingkat spesifitas maupun sensitivitasnsya dapat
diatur dengan mengubah kisaran nilai reaksi antara hasil positif dan negatif
untuk dapat memberikan hasil uji skrining yang memiliki tingkat sensitivitas
yang tinggi atau memiliki tingkat spesifitas yang tinggi ketika digunakan sebagai
uji konfirmasi. Uji FPA dapat membedakan antibodi yang timbul dari kegiatan
vaksinasi pada sebagian besar hewan yang divaksinasi, dengan antibodi yang
timbul sebagai akibat dari reaksi silang dari mikroorganisme yang menjasi
penyebabnya (Kaltungo et al 2014 ; 7).
FPA
(Fluorescence Polarisation Assay) berdasar kepada prinsip fisik : seberapa
cepat suatu molekul berputar pada suatu media cair dikaitkan dengan massa
molekul tersebut. Molekul dengan ukuran yang kecil akan bergerak lebih cepat
dan lebih mendepolarisasikan cahaya polar yang jatuh kepadanya, dan molekul
yang berukuran lebih besar akan bergerak lebih lambat dan akan
mendepolarisasikan cahaya polar lebih sedikit. FPA mengukur level depolarisasi
dalam unit minipolarisasi. Selama pengujian serum sampel di inkubasikan dengan
antigen specifik Brucella abortus yang ditandai dengan fluorescein
isothiocyanate. Dalam kondisi adanya antibodi terhadap Brucella spp., banyak
terbentuk komplek flourescen. Pada sampel negatif, antigen yang ada tetap
bertahan tanpa membentuk kompleks. Molekul-molekul kecil ini berputar lebih
cepat menyebabkan depolarisasi cahaya yang lebih besar daripada sampel positif
pada Brucella spp. Uji ini dapat dengan mudah diotomatisasi dan sangat cepat,
karena setelah antigen berlabel bercampur dengan serum pembacaan dapat
dilakukan secara instan. Sensitivitas pengujian ini sepertinya berada di bawah
iELISA. Spesifitasnya bervariasi berada pada kisaran 98.8 – 99.0 %. Uji ini sudah digunakan dalam pengendalian
brucellosis dan digunakan dalam program sertifikasi di Amerika Utara dan di
Eropa. OIE mempertimbangkan uji ini sebagai “test yang direkomendasikan dalam
dunia perdagangan” (Seagerrman et al, 2010 ; 301)
Sensitivitas
dan spesifitas metode uji FPA mirip dengan metode c-ELISA. Spesifitas
diagnostik terhadap ternak yang baru saja divaksinasi dengan menggunakan strain
S-19 adalah 99%. Namun demikian spesifitas FPA dalam mendeteksi hasil positif
palsu belum diketahui. Seperti halnya uji serologis lainnya, reaksi yang
memberikan hasil positif harus di investigasi lebih lanjut dengan menggunakan
uji konfirmasi atau strategi komplemen lainnya. Metode FPA harus distandarisasi
seperti halnya ELISA OIE yang mana serum positif kuat dan lemah sama-sama memberikan hasil
positif yang konsisten pada pengujian yang dilakukan (OIE Terrestrial Manual,
2009 ; Chapter 2.4.3 ; 19).
Brucellin
Skin Test Skin
test (Uji Kulit) menggunakan antigen protein yang berasal dari Brucella (gen
Brucella atau Brucellin). Brucellosis mampu untuk menimbullkan respon selluler
maupun respon yang dimedmiasi oleh antibodi pada tubuh hospes ; sehingga
brucellin skin test (uji kulit brucellin) harus dipertimbangkan penggunaannya
dalam kondisi reaksi serologis yang menghasilkan positif palsu. Uji ini
memiliki tingkat spesifitas yang tinggi sehingga hewan yang terinfeksi secara
laten tanpa menghasilkan level antibodi yang mampu untuk diukur, dan hewan yang
tidak divaksinasi yang memberikan reaksi positif terhadap uji ini, harus
dikategorisasikan sebagai hewan yang terinfeksi. Oleh karena itu, hasil dari
pengujian dengan menggunakan metode ini dapat membantu dalam melaksanakan
interpretasi terhadap dugaan reaksi serologis positif palsu diakrenakan
keberadaan bakteri yang mampu menyebabkan reaksi silang, teruatama didaerah yang
telah dinyatakan secara resmi sebagai daerah bebas Brucellosis. Namun demikian,
baru-baru ini, baik hewan yang divaksinasi maupun hewan yang terinfeksi dengan
mikroorganisme penyebab reaksi silang memberikan hasil positif terhadap skin
test dalam suatu jangka waktu tertentu. Bercovich (1999) melaporkan bahwa, skin
test seharusnya merupakan uji yang dilaksanakan pada negara yang berkembang
karena biasanya ternak sapi pada negara yang berkembang tidak diberikan
pengenal tag, sehingga hasil uji serologis dapat dihubungkan dengan individu
hewan. Uji ini dapai diandalkan sebagai uji dalam rangka survey klinis dan
survei epidemiologis. Uji ini sangat penting untuk dilaksanakan pada area
dengan prevalensi Brucellosis yang rendah atau area yang dinyatakan bebas dari
penyakit Brucellosis. Uji ini dilaksanakan dengan menyuntikkab Brucellin pada
area phlank (panggul) atau intrapalpebrae, kemudian ketebalan kulit pada daerah
yang diinjeksi tersebut diukur. Tidak semua hewan terinfeksi akan memberikan
reaksi, sehingga uji ini tidak dapat diterapkan sebagai uji tunggal, atau untuk
tujuan perdagangan. Hampir mirip, seperti yang dilaorkan oleh Cutler dkk pada
tahun 2005 bahwatingkat spesifitas dari uji ini menurun seiring dengan
vaksinasi, dan keperluan untuk mengunjungi 2 peternakan, ditetapkan selang
waktu untuk pengulangan uji, dan interpretasi hasil yang bersifat subyektif,
membuat uji ini sulit untuk memberikan diagnosa yang efektif (Kaltungo et al
2014 ; 6).
Meskipun
uji intradermal brucellin adalah uji yang paling spesifik terhadap brucellosis
(pada hewan yang tidak di vaksin), diagnosa tidak boleh diambil hanya berdasar
kepada reaksi intradermal yang ditunjukkan oleh beberapa hewan dalam kelompok
ternak, namun harus didukung oleh uji terpercaya lainnya. Inokulasi brucellin
intradermal mungkin akan menyebabkan allergi sementara terkait respon immune
seluler. Sehingga, dianjurkan untuk memberikan jeda selama 6 minggu terhadap 2
uji yang dilaksanakan pada hewan yang sama. (OIE Terrestrial Manual, 2009 ;
Chapter 2.4.3 ; 19).
Serum
Agglutination (SAT) Uji
ini didasarkan kepada reaktivitas antibodi terhadap bagian halus
lipopolisakarida (S-LPS). Konsentrasi antibodi yang terlalu tinggi akan
mengakibatkan terjadinya hasil negatif palsu karena terjadi efek prozone yang
dapat diatasi dengan melakukan pengenceran sampel serum 1 : 2 sampai dengan 1 :
64 yang akan meningkatkan spesifitas uji. Uji ini dilaksanakan pada pH sekitar
netral, yang membuatnya lebih efisien dalam mendeteksi antibodi IgM. Oleh
karena itu, metode uji ini paling baik untuk mendeteksi kejadian infeksi akut.
Uji ini tidak efektif untuk mendeteksi IgG, sehingga uji ini memiliki level
spesifitas yang rendah. Dengan adanya fakta ini, SAT, meskipun sensitif, tapi
pada umumnya tidak digunakan sebagai uji yang berdiri sendiri, namun
dikombinasikan dengan uji-uji yang lain. Dampak yang lainnya adalah adanya
hasil positif palsu ataupun negatif palsu. Pada kondisi iniuji ini hanya cocok
untuk diterapkan pada populasi, bukan untuk menguji individual hewan. Ditambah
lagi, hasil akan menjadi membingungkan ketika bercampur dengan adanya antibodi
yang timbul sebagai respon pasca vaksinasi. SAT tidak dapat diterapkan untuk
menguji Brucella canis dan Brucella ovis karena kedua spesies ini tidak
memiliki rantai O polisakarida pada permukaannya (Kaltungo et al 2014 ; 5).
Meskipun
tidak dikenal sebagai metode uji alternative dan metode uji yang direkomendasikan,
SAT telah sukses digunakan selama beberapa tahun dalam program pengendalian dan
program surveilen terhadap Bovine
brucellosis spesifitas metode SAT meningkat secara signifikan dengan
penambahan EDTA pada antigen (OIE Terrestrial Manual, 2009 ; Chapter 2.4.3 ;
19).
Native
Hapten dan uji Cytosol Protein-based. Uji
Native Hapten merupakan uji yang sangat spesifik pada kontek vaksinasi dengan
strain S-19, dan telah sukses dipergunakan dalam program eradikasi bersama sama
dengan RBT sebagai uji skrining. Sensitivitas optimal (dekat dengan yang CFT
tetapi lebih rendah dari RBT dan S-LPs berbasis I-ELISA) diperoleh dalam sistem
immunodifusi radial terbalik (RID) dimana serum berdifusi ke dalam gel
hipertonik yang mengandung polisakarida. Namun demikian, prosedur difusi gel
ganda ini juga sangat berguna. Anak sapi yang divaksinasi secara sub-kutan
dengan menggunakan dosis standar S-19 pada usia 3-5 bulan akan memberikan hasil
negative dalam jangka waktu 2 bulan setelah vaksinasi dilaksanakan , dan ternak
dewasa yang divaksinasi secara sub-kutan pada 4-5 bulan sebelumnya dengan
menggunakan dosis S-19 yang telah dikurangi tidak memberikan hasil reaksi yang
positifkecuali hewan tersebut terinfeksi dan mengeluarkan vaksin tersebut
kedalam susunya. Vaksinasi pada area konjungtiva (baik pada ternak muda atau
dewasa) mengurangi waktu untuk mendapatkan hasil negatif dalam uji Nativ
Hapten. Karakteristik yang luar biasa dari uji immunodifusi radial (RID) adalah
bahwa hasil positif berkorelasi dengan penyebaran Brucella seperti
diperlihatkan pada ternak percobaan yang terinfeksi dan pada sapi yang
terinfeksi secara alami dan dalam masa pengobatan dengan menggunakan
antibiotic. Uji presipitasi dengan menggunakan Uji Nativ Hapten atau uji
Cytosol Protein-based juga telah menunjukkan untuk eliminasi, pada kebanyakan
kasus, reaksi positif palsu yang disebabkan oleh Yersinia Enterocolitica O : 9
dan positif palsu oleh sebab lainnya (OIE Terrestrial Manual, 2009 ; Chapter
2.4.3 ; 20).
Milk
Test
Milk
Ring Test
(MRT). MRT pada dasarnya adalah uji agglutinasi cepat yang
dilakukan pada susu atau krim. Sel-sel Brucella yang dicat menggunakan
haematoxylin ditambahan ke dalam cairan susu dan diinkubasikan selama beberapa
waktu agar terjadi reaksi. Immunoglobulin yang ada pada air susu sebagian akan
menempel pada bagian Fc pada globuli lemak dari moleku susu. Immunoglobulin
yang dapat dideteksi oleh MRT adalah IgM dan IgA. Uji ini bisa diterapkan pada
hewan secara individual atau pada tempat/tangki pengumpul air susu. MRT rawan
terjadinya reaksi palsu yang disebabkan oleh karena kondisi susu yang tidak
normal dikarenakan penyakit mastitis, produksi kolostrum dan air susu terjadi
pada akhir masa laktasi. Hasil negatif paslu dapat terjadi pada sir susu dengan
konsentrasi antibodi lakteal yang rendah atau kekurangan faktor pembentuk
lemak. Terlepas darmi kendala tersebut, MRT telah menjadi uji yang sangat
efektif, dan biasanya menjadi pilhan dalam menguji kawanan sapi perah, dan
mungkin dapat digunakan sebagai metode untuk melaksanakan kegiatan skrining
dengan biaya yang rendah jika dibandingkan dengan metode uji yang lainnya
(Kaltungo et al, 2014 ; 4)
Pada
hewan dalam masa laktasi, MRT dapat digunakan sebagai uji skrining kelompok
ternak. Pada kelompok ternak yang besar (>100 ternak dalam masa laktasi),
sensitivitas uji ini menjadi kurang dapat diandalkan. MRT dapat disesuaikan
untuk mengkompensasi factor pengenceran dari sampel susu yang sangat banyak dari
kawan ternak yang jumlahnya besar. Reaksi positif palsu dapat terjadi jika ternak
divaksinasi kurang dari 4 bulan dari tanggal dilaksanakannya pengujian, pada
sampel yang mengandung air susu yang abnormal (semisal kolostrum) atau pada
kejadian mastitis. Sehingga, tidak direkomendasikan untuk mengaplikasikan
metode uji ini pada kelompok ternak yang ukurannya sangat kecil yang mana hasil
pengujian memberikan dampak yang lebih besar (OIE Terrestrial Manual, 2009 ;
Chapter 2.4.3 ; 20).
Milk
iElisa. Beberapa
iELISA komersial yang tersedia telah divalidasi dan dipakai secara luas. Dalam hal harmonisasi internasional, 3
Serum Standar ELISA OIE harus dipergunakan sebagai referensi laboratorium
nasional untuk memeriksa atau mengkalibasi terhadap keraguan yang timbul atas
metode uji tertentu. Metode iELISA harus distandarisasi semisal standar positif
kuat ELISA OIE ketika diencerkan 1/125 pada serum negatif dan kemudian
diencerkan 1/10 pada susu negatif harus konsisten memberikan hasil positif.
Metode cELISA tidak boleh digunakan untuk menguji susu, namun dapat digunakan
untuk menguji whey (OIE Terrestrial
Manual, 2009 ; Chapter 2.4.3 ; 20).
Dalam sebuah jurnal
berjudul “Diagnosis of Brucellosis in
Livestock and Wildlife” yang ditulis oleh Seagerman et al, disimpulkan
bahwa diagnosa brucella Spp. pada hewan ternak dan hewan liar
adalah kompleks dan hasil pengujian secara serologis perlu untuk dianalisa secara hati-hati. Brucella abortus S-19 dan Brucella mellitensis Rev-1 adalah pilar
utama dalam melaksanakan program pengendalian pada ternak sapi dan ruminansia
kecil. Para penulis jurnal tersebut telah memperbandingkan sensitivitas dan spesifitas 10 metode uji
diagnosa terhadap brucellosis pada sapi seperti ditunjukkan oleh Tabel 2.