Pengujian Serologis Untuk Memonitor Status Immunitas Terhadap Vaksin Anjing

Uji antibodi sangat berguna untuk mengamati immunitas terhadap CDV, CPV-2, CAV-1 dan virus rabies. Tes antibodi terhada pCDV dan CPV-2 adala htest-tes dengan keuntungan sangat besar dalam melaksanakan pengamatan terhadap immunitas, terlebih lagi setelah melaksanakan serangkaian vaksinasi pada anak anjing. Selama beberapa tahun ini, banyak laboratorium telah melaksanakan standarisasi terhadap metodologi untuk pengujian ini. Terdapat persyaratan hukum yang harus dipenuhi untuk melaksanaan pengujian antibodi rabies bagi hewan kesayangan yang ditransportasikan lintas negara. Pada kenyataan dilapangan pengujian ini mungkin akan lebih populer seiring dengan pengujian yang lebih cepat, lebih mudah dilaksanakan, dan lebih murah semakin

mudah untuk dijumpai di lapangan. Hasil uji yang negatif mengindikasikan bahwa individu hewan terkait hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki antibodi, dan untuk individu hewan dengan kondisi seperti ini direkomendaikan untuk menerima vaksinasi ulang. Beberapa dari anjing-anjing dengan kondisi ini berada dalam keadaan kebal sesungguhnya (in fact immune-negatif palsu), dan tindakan vaksinasi ulang terhadap individu-individu seperti ini tidaklah diperlukan. Inilah mengapa jawan ya atau tidak degnan tegas harus dinyatakan oleh setiap tes. Dengan menggunakan uji CDV dan/atau CPV-2, seekor hewan dengan hasil negatif, terlepas dari uji yang digunakan, harus dipertimbangkan bahwa terdapat kemungkinan akan tiadanya antibodi dan rawan terhadap infeksi.

Ketika seri vaksinasi sudah berakhir pada saat individu anak anjing berumur 14 sampai dengan 16 minggu, seekor anak anjing tersebut harusnya memberikan hasil positif terhadap pengujian yang dilaksanakan, melalui sampel serum yang diambil dalam jangka waktu 2 minggu setelak pelaksanaan vaksinasi atau lebih. Anak anjing yang memberikan hasil seronegatif harus ditindaklanjuti dengan vaksinasi ulang atau pengujian ulang. Jika masih juga memberikan hasil yang negatif, harus dipertimbangkan bahwasannya individu anak anjing yang bersangkutan tidak memiliki respon immun yang mungkin karena ketiadaan kemampuan untuk dapat mengembangkan immunitas sebagai benteng pertahanan terhadap penyakit.
Melaksanakan pengujian terhadap antibodi pada saat ini merupakan metode yang praktis untuk memastikan bahwa sistem kekebalan tubuh anak anjing telah memberikan respon terhadap antigen vaksin yang disuntikkan. Vaksin bisa jadi akan gagal karena berbagai alasan :
  1. MDA (immunitas bawaan) menetralisir virus pada vaksin. Hal ini menjadi alasan yang umum terhadap kegagalan vaksinasi. Namun demikian, ketika vaksinasi terakhir diberikan pada saat anak anjing berumur 14-16 minggu, MDA harusnya sudah berada pada level yang rendah, dan immunisasi aktif akan berhasil pada kebanyakan anak annjing (>98%). 
  2. Vaksin yang digunakan memiliki level immunogenisitas yang rendah Immunogenesitas yang rendah dapat terjadi karena berbagai macam faktor mulai saat pembuatannya di pabrik sampai dengan metode pemberian vaksin tersebut. Sebagai contoh, strain virus, bagian sejarah dari strain virus tersebut atau mungkin kesalahan produksi pada pada perusahaan terhadap batch tertentu dapat menjadi penyebab kegagalan vaksin. Faktor-faktor pasca produksi seperti prosedur penyimpanan yang salah atau transportasi (suhu tidak terjaga) dan penanganan (penggunaan desinfektan) vaksin pada pekerjaan praktisi kedokteran hewan, dapat mengakibatkan inaktivasi produk vaksin MLV.
  3. Hewan penerima vaksin adalah responder vaksin yang buruk (sistem immun intrinsik hewan tersebut gagal mengenali antigen vaksin) Jika hewan gagal dalam mengembangkan respon antibodi terhadap vaksinasi ulangan, harus dipertimbangkan untuk menggolongkannnya ke dalam kelompok non-responder. Dikarenakan sifat non-responsif secara imunologis dikendalikan secara genetik pada spesies lain, ras tertentu anjing diduga memiliki level respon yang sangat rendah. Dipercayai (tapi belum terbukti) bahwa kepekaan yang tinggi terhadap CPV-2 pada beberapa Rotweillers dan Doberman di era 1980an (terlepas dari sejarah vaksinasi) mengarah pada prevalensi hewan non-responder yang tinggi. Pada masa sekarang ini di Amerika, jumlah non-responder dari 2 ras anjing ini tidak bertambah banyak seperti anjing ras yang lain, mungkin dikarenakan induk yang memiliki sifat genetik non-responder telah mengalami kematian dikarenakan infeksi CPV-2. Beberapa hewan dari ras ini bersifat non-responder atau bahkan tidak memiliki respon immun terhadap antigen lainnya. Seperti misalnya di negara Inggris dan Jerman, jumlah sifat fenotip non-responder pada anjing ras rotweiler dan doberman adalah tinggi terhadap CPV-2 dan virus rabies sebagai studi terkini menunjukkan bahwa anjing ras ini memiliki proporsi yang lebih tinggi dalam hal kegagalan untuk mencapai titer antibodi yang diperlukan sebagai hewan yang ditransportasikan lintas negara.