Rabies : Pencegahan, Manajemen, Pengobatan dan Pengendalian

Rabies adalah penyakit yang fatal pada manusia, dan, sampai saat ini, satu-satunya yang selamat dari penyakit ini adalah yang telah menerima vaksin rabies sebelum timbulnya penyakit. Pendekatan manajemen terhadap penyakit rabies biasanya harus menenangkan. Dalam kondisi yang tidak biasa, sebuah keputusan bisa jadi dibuat untuk menggunakan pendekatan secara agresif terhadap pasien yang berada pada fase awal penyakit. Menurut Jackson et al. (2003), tidak ada satu obatpun yang efektif untuk digunakan ketika digunakan tanpa dikombinasikan dengan obat-obat yang lain yang dipandang perlu, termasuk vaksin rabies, immunoglobulin rabies, antibodi monoklonal, ribavirin, interferon-alpha, dan ketamin. tidak boleh menggunakan kortikosteroid. Seiring dengan kemajuan penelitian, mungkin akan ada sediaan baru untuk mengobati rabies pada manusia.

Rabies adalah penyakit menular yang memiliki rasio kefatalan tertinggi dibandingkan dengan penyakit menular lainnya, dan dilaporkan tidak ada kesembuhan secara spontan. Dengan perkecualian yang langka, perawatan dengan kenyamanan, sedasi, dan dengan pemberian terapi suportif mungkin akan dapat memperpanjang hidup, tetapi tidak mencegah kematian.
Sehingga, dalam kebanyakan situasi, pemberian treatmen menjadi sebuah ironi dan biasanya mengacu kepada peralatan medik yang berhubungan dengan kasus gigitan oleh hewan dan pencegahan terhadap reaksi profilaksis pasca paparan. Lebih dari 12 juta manusia setiap tahun terpapar oleh penyakit ini dan menggunakan profilaksis antirabies, namun demikian terjadi kematian terhadap 50 ribu sampai dengan 100 ribu jiwa, terutama disebabkan oleh kasus gigitan oleh anjing yang terinfeksi. Pembelanjaan untuk kesehatan publik tidak dilaksanakan dengan baik. Level morbiditas penyakit pada manusia terhadap reaksi propilaksis yang tidak perlu terjadi dan motalitas yang disebabkan oleh lyssavirus dapat diturunkan secara signifikan dengan survei epidemiologi regional dan peningkatan pengetahuan terhadap perkembangan patogenesa virus terhadap algoritme vaksinasi serta komunikasi resiko terhadap kelompok pada daerah yang berbeda. Mengeliminasi sumber infeksi utama terhadap hospes-hospes penyakit rabies merupakan faktor fundamental terhadap program pencegahan rabies. Kematian manusia dikarenakan penyakit rabies jarang terjadi pada area dimana terdapat program pengendalian rabies pada anjing. Namun demikian, puluhan ribu kasus paparan potensial ditangani setiap tahun di Eropa dan Amerika Utara dikarenakan oleh rabies enzootik pada satwa liar.

Sampai saat ini, tidak ada terapi medis yang efektif yang telah ditetapkan untuk rabies terbuka. Reaksi propilaksis pasca paparan (PEP), yang merupakan vaksinasi untuk melawan rabies harus segera diberikan setelah pasien digigit oleh hewan terduga,langkah ini merupakan jalan satu-satunya mencegah kematian. WHO merekomendasikan untuk sesegera mungkin mencuci luka dengan menggunakan air dan sabun, menggunakan immunoglobulin anti rabies pada manusia dan pemberian vaksin rabies yang berasal dari kultur jaringan pada hari ke 0, 3, 7, 14, 30 dan hari ke-90 pasca paparan. Vaksin sel diploid manusia dan vaksin rabies yang sudah diserap, akan menstimulasi produksi antibodi, dan immunoglobulin rabies pada manusia, yang akan memberikan antibodi yang protektif, yang hampir 100% efektif untuk mencegah perkembangan penyakit dar ilevel I. jika dibiarkan tanpa penanganan biasanya rabies berakibat fatal. Namun, pengobatan dengan vaksin-sel diploid manusia atau vaksin rabies terserap dan dengan menggunakan immunoglobulin rabies pada manusia hampir selalu kuratif jika dimulai di awal masa inkubasi

Langkah-langkah pencegahan dan pengendalian termasuk paparan dari hewan yang sudah divaksinasi, vaksinasi segera, karantina dan investigasi selama 10 hari. Hewan yang tidak divaksinasi dan menerima paparan harus segera dieutanasi. Pada manusia, pertolongan pertama harus diberikan, dan segera berkonsultasi dengan dokter. Metode pengendalian lainnya meliputi: vaksinasi, karantina, memukul dan membunuh anjing liar, satwa liar di sekitar lingkungan harus dibunuh dalam kondisi epidemi, hewan liar jangan sampai dipelihara sebagai hewan peliharaan, dan kemudian vaksin oral harus diberikan kepada hewan liar melalui umpan. Vaksin inaktif virus rabies modern yang dikembangkan dengan metode kultur sel telah dipergunakan dalam program pengendalian.

Tindakan pencegahan pasca terjadinya paparan meliputi perawatan luka dan pemberian vaksin rabies serta immunoglobulin antirabies. Meskipun, dimasukkannya serum antirabies atau immunoglobulin dalam protokol profilaksis bukanlah hal yang baru, namun hal itu jarang terjadi. Sebagian besar kasus pencegahan penyakit rabies pada manusia di Afrika, Asia, dan Amerika Latin adalah dengan vaksin saja, seringkali vaksin jaringan sistem saraf. Vaksin sel diploid manusia (HDCV) yang digunakan di banyak negara yang sudah berkembang dan membentuk standar untuk perbandingan sejarah dengan vaksin saraf Pasteurian dari abad ke-19, termasuk turunannya fenolisasi berikutnya. Vaksin kultur sel yang sudah di inaktivasi dan immunoglobulin, yang merupakan perbaikan besar atas biologi lebih kasar, mengurangi efek samping yang berhubungan dengan respon anafilaksis atau kesakitan serum. HDCV adalah satu dari tiga vaksin sudah berlisensi di Amerika Serikat (CDC, 1999c) baik untuk penanganan penyakit pra atau pasca paparan. Vaksin rabies penting lainnya diproduksi pada fibroblas embrio unggas atau pada sel ginjal monyet rhesus, dengan aluminium fosfat sebagai bahan adjuvan. Produksi HDCV relatif sulit, dengan hasil virus yang terbatas, sehingga biaya produksi yang tinggi. Sel primer dari ginjal hamseter yang digunakan di Cina dan bagian lain di Asia dan vaksin sel vero dimurnikan juga banyak digunakan. Uji coba kemanjuran menggunakan dosis yang berkurang, jadwal imunisasi yang berbeda, dan rute pemberian alternatif (misalnya, administrasi intradermal) telah dilakukan dan telah menunjukkan kemanjuran tinggi dan keamanan.

Pengendalian Rabies pada Hewan

Rabies tidak dianggap sebagai kandidat yang serius untuk pemberantasan penyakit pada saat ini karena banyak dan beragam hospes liar. Korelasi antara rabies anjing dan korban jiwa manusia, namun, telah menyebabkan keberhasilan penerapan vaksin pada hewan domestik, khususnya di negara-negara maju. Sebuah program pada hewan ternak yang komperhensif juga membutuhkan kepemilikan hewan peliharaan yang bertanggung jawab. Program tersebut memerlukan manajemen hewan liar; perubahan aturan terhadap pengekangan hewan ; pembatasan populasi yang humanis (misalnya, program pemandulan); impor hewan, translokasi, dan peraturan karantina ; jadwal untuk vaksinasi pra-paparan terhadap hewan peliharaan ; dan manajemen pasca paparan yang rasional. Tidak seperti penanganan penyakit pasca paparan pada manusia, euthanasi biasanya dianjurkan untuk hewan terkena rabies, tapi ini akhirnya bisa berubah dengan perkembangan biologi yang aman dan efektif dan protokol

Vaksin hewan saat ini lebih kuat daripada vaksin sebelumnya yang dilemahkan dan inaktif. Karena tidak ada vaksin yang 100% efektif, menimbulkan reaksi silang dengan beberapa genotipe, dan karena identifikasi yang benar dari hewan yang telah diimunisasi dengan benar mungkin membingungkan, anjing atau kucing yang divaksinasi tidak dibebaskan dari kurungan dan observasi dari jarak dekat. Periode pengamatan yang ketat ini dari pengamatan hewan menggigit berlaku untuk anjing, kucing, dan, di beberapa negara, ternak, musang. Selain itu, status vaksinasi hewan peliharaan tidak selalu mengubah kebutuhan untuk euthanasia hewan, terlepas dari potensi vaksin atau khasiat, jika diduga terinfeksi rabies

Dalam kondisi penyakit rabies yang terjadi tanpa batasan daerah, pada mamalia non-domestikasi, metode penurunan populasi reservoir rabies telah dilaksanakan selama berabad-abad ; namun tidak dikategorikan sebagai metode yang berprikermanusiaan, jangka panjang, efektive secara pembiayaan maupun secara lingkungan dalam mengendalikan penyebaran lyssavirus. Bagaimanapun, antikoagulan telah sukses digunakan dalam mengontrol kelelawar hematophagous di Amerika Latin. Antikoagulan telah dioleskan ke luka gigitan kelelawar pada ternak, diikuti dengan pengobatan sistemikpada ternak tergigit, dan akhirnya treatmen secara topikal pada kelelawar vampir itu sendiri, untuk mengeksploitasi perilaku diantara mereka pada saat bertengger. Upaya pengendalian ini dapat menghindari kerusakan spesies kelelawar non target yang justru menguntungkan, mungkin suatu hari untuk dapat ditemukan strategi vaksinasi baru

Selama lebih dari empat dekade, upaya telah dilakukan untuk melindungi satwa liar bebas dalam melawan virus virulen yang tersebar luas di alam dengan metode konsumsi oral vaksin yang terkandung dalam umpan.

Vaksin vaccinia rabies glikoprotein (V-RG) adalah vaksin rabies rekombinan yang pertama yang akan dibangun, diuji di lapangan, dan dipertimbangkan untuk ditetapkan di Eropa dan Amerika Utara dalam rangka pengendalianrabies pada satwa liar. Vaksin ini telah ditinjau secara ekstensif untuk memastikan keamanan (diuji di gt 40 spesies mamalia dan burung) dan kemanjuran (terbukti melawan tantangan rabies yang parah pada spesies target). Thermostabilitas vaksin telah dibuktikan dalam kondisi laboratorium dan lapangan. Menyusul keberhasilan vaksin V-RG terhadap rabies pada rubah di Belgia dan Perancis, pada awal uji coba lapangan menunjukkan potensi yang menggembirakan untuk mengontrol rabies pada rakun, rubah, dan coyote di Amerika Serikat. Orthopoxvirus lainnya telah dianggap sebagai vektor bagi antigen lyssavirus, tetapi hal ini belum pernah diuji di lapangan. Dalam beberapa tahun belakangan ini, jutaan virus rabies, umpan yang telah dipenuhi vaksin telah didistribusikan di daerah pedesaan dan perkotaan di Eropa Barat, Kanada timur, dan Amerika Serikat untuk pengendalian rabies pada satwa liar dan sejumlah vaksin rabies yang dilemahkan dan rekombinan telah dikembangkan. Vaksin oral telah berhasil dikembangkan untuk rubah merah Arktik, dan rubah abu-abu; coyote, anjing rakun, rakun, sigung, dan anjing domestik

sumber ada pada penulis